Lembut

56 26 0
                                    

Siska yang menyadari perubahan raut wajahnya segera mengoreksi ucapannya, "Maksud gue-"

Zoey menggeleng sambil tersenyum, senyumnya sangat tipis sampai hampir tak terlihat membuat Siska tak bisa meneruskan kata-katanya.

"Suruh Lusi ke kantin gih, nemenin Zendy. Dia belum makan dari pagi," Zoey meminta.

Meski tidak setuju dengan permintaan sahabatnya namun, ia terpaksa menurutinya. Mungkin untuk menebus kesalahan mulutnya yang tadi tak bisa dikendalikan. Siska segera menyuruh keduanya pergi ke kantin.

"Kakak nggak ikut?" Lusi bertanya, ia sedikit berhati-hati, takut salah berucap.

"Nanti gue ke sana sama Zoey, gantian."

"Oh, oke," Lusi menjawab, ada nada ragu dalam suaranya.

"Inget jangan macem-macem!" Siska menekan suaranya sambil melayangkan tatapan tajam pada Zen.

Zen hanya tersenyum sambil mengiyakan ucapan Siska.

Sepeninggal keduanya, Siska kembali mendekati Zoey, ia duduk di sampingnya.

"Jadi, lo nggak suka sama Zendy?" Zoey menanyakan.

"Bukannya nggak suka, tapi maksud gue-"

"Dia baik, Sis, " Zoey memotong. "Dia punya sifat lembut meski kelihatannya cuek. Dia peduli, meski nggak pernah mengatakannya."

"Tapi selama ini dia nggak pernah nyamperin ke rumah lo, nggak pernah mau ketemu sama lo, kalau lo ngirim makanan juga dia nggak pernah bilang sesuatu termasuk berterima kasih. Itu yang dinamakan peduli? Lo terlalu sayang deh sama dia, sampai lo nggak perhatiin sikap nggak sopannya dia ke lo."

"Gue nggak marah tentang itu kok. Lo  tahu, Sis? dia sayang banget sama gue, apalagi sama nyokab gue. Kalau dia nggak suka, dia bakal bentak gue, atau semacamnya, tapi nyatanya? Nggak pernah, Sis. Dia bahkan selalu makan makanan yang gue bawain ke rumahnya. Dan yang paling penting sekarang dia masih di sini, dia selalu nunggu sampai lupa makan, nggak tidur, nggak pulang ke rumahnya-"

"I know, but-"

"He's a good boy." Zoey memotong.

***

Lusi sedang duduk di sofa, ia masih menatap lurus ke arah Zoezenita yang terbaring lemah. Tapi sepertinya ia mulai mengantuk, sedari tadi matanya hampir menutup namun, dengan cepat Lusi membukanya. Bagi Zen itu merupakan pemandangan yang lucu, ingin sekali Zen menoel pipinya, tapi ia tak bisa melakukannya. Bagaimana tidak? Siska terus menatap tajam keduanya, membuat mereka hanya bisa saling tatap saja, itu juga jika Siska tidak sedang memandang mereka.

Jujur saja ini merupakan hal yang teramat menyiksa bagi Zen, tetapi setidaknya ia merasa beruntung sebab masih bisa memandangnya meski jarak mereka sedikit jauh.

Sambil mencoba menahan rasa kantuknya, Lusi bersandar di sofa, ia berpangku tangan. Tak lama kemudian akhirnya Lusi menutup mata dengan posisi sekenanya. Ya, Lusi ketiduran, membuatnya semakin terlihat lucu di mata Zen.

Tanpa sadar sudut bibirnya terangkat ke atas membentuk senyuman, sungguh ia gemas sekali. Zen tanpa henti memandanginya, sepertinya itu menjadi hobi barunya untuk saat ini.

"Zendy?" Zoezenita memanggil. Ia baru saja terbangun.

Meski lirih namun, Zen masih mendengar suara lembut itu dengan jelas. Zen segera beranjak menghampiri.

"Ada apa?" Zen menggenggam tangan beliau. Ia tersenyum lembut sambil menatapnya.

"Mama mohon, jangan tinggalin wanita tua ini lagi," ia meneteskan air mata, pasalnya ia sudah ingin mengatakan itu sejak terbangun dari komanya namun, waktu itu dokter belum mengizinkannya untuk bertemu orang lain.

"Nggak akan. Zendy janji akan nurutin semua keinginan Mama."

"Janji?"

Zen mengangguk.

Wanita cantik itu kembali meneteskan air mata haru, "Apapun?"

Sekali lagi putranya mengangguk.

***

Zen tidak bisa tidur semalaman, ia terus memandangi Lusi selagi semuanya tertidur. Ia terus berada di samping Lusi, menggenggam jemarinya dan mengelus puncak kepalanya lembut. Bahkan ia rela menjadikan dirinya sandaran untuk Lusi agar tidur gadis itu lebih nyaman.

Waktu sudah menunjukkan pukul 03.00, Zen mulai mengantuk, tapi ia masih bisa menahannya.

Ia mengelus pipi Lusi lembut,  membuat Lusi terbangun. Padahal ia sama sekali tak menginginkan hal itu.

Lusi membuka mata menyesuaikan cahaya lampu yang masuk ke matanya. Ia segera sadar jika ia sedang bersandar pada Zen.

Sejak kapan posisinya kayak gini? batin Lusi heran, ia membenarkan posisi duduknya.

"Kok?" Lusi memberi jeda. "Kamu nggak tidur?" katanya seraya mengusap mata sekilas, matanya masih memicing.

"Kenapa? Nggak boleh lihatin kamu tidur?"

Lusi tersipu, "Bukan gitu-"

"Boleh minta sesuatu?" Zen memotong ucapannya. Ia menatap Lusi intens.

"Emm, boleh kalo nggak yang aneh-aneh," Lusi menggigit bibir.

Zen terkekeh kecil, lalu kembali menatap Lusi, mendekatkan wajahnya, dan mengecup keningnya.

Satu detik, dua detik, tiga detik, sampai lima detik.

Lusi mulai tak bisa menahannya, tanpa sadar ia mendorong dada Zen menjauh, ia menelungkupkan telapak tangan ke dada, merasakan degup jantungnya yang bergemuruh. Pipinya memerah, ia mematung sampai lupa berkedip.

Dicium lagi? Dan kenapa rasanya sekarang lebih aneh? Terasa lama dan... batin Lusi, ia tak tahu harus menyebutnya apa. Saat ini bahkan ia merasa bahagia, baginya begitu saja sudah lebih dari cukup.

"Lucu," Zen mengusap pipinya lembut, lebih lembut dari sebelumnya. "I love you, my little Lu."

"Kenapa nggak bilang kalo mau-"

"Udah, kok." Zen memotong.

Lusi menaikkan alis, "Kamu bilang kamu mau cium aku? Nggak deh perasaan."

"Kenapa? Mau dicium lagi biar inget?" Zen menatap jail.

Pipi Lusi kembali merona, "Apa sih?"

"Aku sayang kamu, aku cinta kamu, dan selamanya akan begitu."

Lusi sampai merinding mendengar suara lembut Zen, sangat menenangkan, dan membahagiakan seolah ia begitu berharga untuk Zen.

"Aku juga sayang kamu, Zen."

Zen seperti teriris mendengar suara Lusi, suara lembutnya seolah membuatnya ingin berubah pikiran namun, ia tetap tak bisa.

Ia mendekatkan wajahnya lagi, mengikis jarak keduanya berusaha mencium Lusi lagi, dan kali ini Lusi kembali membeku hingga membuatnya tak bisa menghindar. Matanya membelalak merasakan pipinya dicium Zen.

Zen kembali memundurkan badannya, ia menatap Lusi sambil menahan tawanya.

Melihat ekspresinya yang seperti itu membuat Lusi lantas tersadar, "Kamu hobi banget sih nyium nggak bilang-bilang," Lusi cemberut. Ia merasa dicurangi.

Zen hanya terkekeh pelan, ia mengusap pipinya, lalu menangkup wajah Lusi, menatapnya teduh, dan begitu lama menjadikan mata Lusi sebagai pusat utamanya.

"I love you." Entah sudah berapa kali Zen mengatakannya, seolah ia tak bisa mengatakannya lagi setelah ini. Lusi memang menyadari hal itu namun, tak berpikir jauh, ia tetap berharap Zen akan selalu seperti ini, selalu ada bersamanya, dan mengatakannya setiap kali.

"I know." Lusi mengelus tangan Zen dengan lembut.

Sorry, I m so sorry, Zen membatin, rasanya dadanya semakin sesak.

*****

I Choose You![COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang