Ketahuan

141 39 1
                                    


"Lo ngapain di sini?" tiba-tiba terdengar suara Zen di telinga Lusi.

Lusi terkejut sampai pundaknya menegang, jantungnya berdebar cukup cepat dengan mata membulat. Tertangkap sudah dirinya, padahal ia pikir Zen tak mengetahui keberadaannya.

Karena takut dan malu, Lusi segera mengelaknya,
"Gue nggak denger apa-apa." ucapnya bohong, ia tersenyum kaku lalu melarikan diri tanpa sempat mendengar ucapan Zen.

Zen menghela napas sambil terus memandangi punggung Lusi yang kian menjauh hingga tak terlihat.

***

Lusi bergumam sendiri di kamarnya. Sedari tadi ia tengkurap dan menutupi kepalanya dengan bantal, padahal tiga puluh menit lagi ia sudah harus berangkat sekolah. Sepertinya Lusi masih mengingat dan menyesali perbuatan memalukannya kemarin saat di taman komplek. Jika ini cerita dalam novel, mungkin ia akan menghapus bagian memalukan itu supaya Zen tak mempermalukan dirinya atas kejadian itu. Tapi sayang sekali ini bukan novel, apalagi komik.

"Duh. Gimana, nih?" Lusi mengubah posisinya menjadi duduk bersila, rambut hitam panjangnya yang bergelombang tampak begitu kusut, "kenapa kemarin pake ketahuan sih?" Lusi kesal, "tapi salah gue juga emang, ngapain coba ngintipin si maling itu? Nanti kalo ketemu dia gimana? Terus belum lagi kalau dia marah ke gue, "Lusi mengehela napas, "lagian kemarin itu kayaknya urusan pribadinya, deh. Ugh! Bodoh ah, ntar aja dipikirin lagi," Lusi beranjak dari ranjangnya, ia menuntun kakinya menuju kamar mandi.

Lima belas menit kemudian.

Setelah berpamitan pada Siska, ia bergegas berangkat sekolah. Di perjalanan ia masih menggerutu hanya untuk menyalahkan diri sendiri.

Ketika melewati taman komplek tiba-tiba langkahnya terhenti, matanya membulat, bibirnya pun bungkam begitu melihat sosok yang dikenalnnya berada tak jauh darinya. Lusi mengunci pandangannya pada satu titik yaitu di bangku taman yang berada di tepian jalan. Lebih parah lagi, bangku itu sedang diduduki oleh seseorang yaitu Zen. Ia sedang sibuk memainkan ponselnya hingga tak mengetahui keberadaan Lusi di dekatnya.

Merasa situasi cukup aman, Lusi berinisiatif untuk melarikan diri. Pelan-pelan ia berjalan melewatinya namun, baru beberapa langkah Lusi berjalan, Zen sudah melihat ke arahnya.

Lusi tersentak saat Zen menangkap basah dirinya, meski begitu Lusi tetap melontarkan senyum walau terlihat kaku,
"Hai," Lusi menyapa, sedetik kemudian ia berlari untuk menghindar. Namun, malang nasibnya sebab dengan sigap tangan Zen menarik tas di punggung Lusi, membuat gadis itu tak bisa bergerak apalagi berlari.

Dengan santainya Zen menarik tas Lusi sampai membuatnya ikut terseret. Begitu Lusi berdiri berdiri di depannya, Zen menyungingkan senyum selebarnya, manis sekali.

Meski terpaksa Lusi tetap membalas senyuman Zen. Wajah cantiknnya malah terlihat imut, terlalu imut bahkan untuk Zen.

"Hai, Lu-ser?" Zen menyapa.

Bukannya membalas, ia malah menepuk dahi,
"Aduh. Gue telat nih, bentar lagi udah masuk. Gue duluan, ya?!" Lusi berusaha lari, tapi usahanya sia-sia sebab Zen masih memegang erat tas punggungnya.

Melihat tingkah Lusi seperti itu, Zen hanya memasang wajah datarnya tanpa berkata apapun. Dalam hati ia menertawakan sikap lucu gadis itu.

Sementara Lusi yang sudah pasrah dengan keadaannya hanya bisa memasang wajah datarnya pula,
"Oke, gue minta maaf. Gue kemarin nggak ada maksud jelek kok. Cuma sedikit penasaran aja, dan gue nyesel udah ngelakuin itu. Jadi maafin gue, ya?" tuturnya terdengar tak begitu ikhlas.

Zen masih menatapnya,
"Dengerin gue ya, Lu-ser. Tentang apa aja yang lo dengerin kemarin, gue nggak mau lo sampai kasih tahu ke orang lain. Ngerti?"

I Choose You![COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang