"Lusi? Pssst, sstt," Rere berbisik, ini sudah yang kesekian kali. Menyerah sebab terabaikan, akhirnya ia memutuskan untuk melempar Lusi dengan pulpen.
Pletak!
"Aww!" Lusi berteriak, membuat semua mata sesaat tertuju padanya. Tetapi hal itu langsung menyadarkannya jika masih berada dalam kelas, tentu saja dia sedang melamun. Sejak awal pelajaran Lusi sudah seperti itu, beruntung Pak Gunto memiliki pendengaran yang lemah, sebab jika tidak pastilah ia diusir dari kelas dengan teriakan beliau yang menggema dan akan terdengar sampai ke kelas sebelah.
Lusi menoleh ke arah Rere serta melotot tajam, mengabaikan beberapa sorotan mata yang masih menatap ke arahnya. Lusi melihat Rere yang sedang menyatukan tangan pertanda meminta maaf.
Lusi memutar bola mata jengah, "Apa?" tanyanya setengah berbisik.
Rere menunjukkan ponselnya, menggerakkannya seakan memberi sinyal agar Lusi melihat ponselnya pula, "Baca chat gue."
Lusi menaikkan sebelah alis, sedetik kemudian ia baru memahami dan langsung mengeluarkan ponselnya, membaca chat dari Rere.
Rere
Ke toilet bentar, kuy?! Gue duluan. Lo nyusul, yak?
Lusi mengalihkan pandangan ke arah Rere, menatapnya penuh tanda tanya.
Rere berdiri dari kursi lalu menunjuk ke arah luar. Setelah mendapat anggukan dari Lusi secepat kilat ia berjalan mendekati Pak Gunto, berpamitan ke toilet.
Sepeninggal Rere dengan sedikit ragu Lusi berdiri dari tempat duduknya lalu berjalan perlahan, langkahnya terlihat ragu-ragu, ia takut Pak Gunto melarangnya sebab bisa saja beliau mencurigai Rere dan dirinya melarikan diri dari pelajaran secara sengaja. Lusi tak biasa melakukan ini.
Lusi berdiri di belakang beliau, mulutnya akan tergerak namun, tak jadi sebab Pak Gunto segera berbalik, berhadapan dengannya.
"Ada apa?" tanya beliau.
"Ke toilet, Pak," Lusi menundukkan kepala. Tanpa sadar Lusi memainkan jemari, menandakan ia sedikit cemas.
"Jangan lama-lama." Pak Gunto memberi izin.
Lusi merasa lega, "Permisi, Pak," ia berpamitan lalu berlarian kecil Lusi menyusul Rere.
Duk!
Lusi menabrak seseorang yang tiba-tiba muncul di persimpangan jalan. Ia beruntung sebab tak sampai jatuh meski sempat oleng sedikit.
"Makanya nggak usah pake lari, Lu-ser," tanpa melihat pun Lusi tahu siapa orang itu, orang yang biasa memanggilnya dengan sebutan terjelek. Siapa lagi kalau bukan Zen.
Lusi mendongak, "Sakit tahu!" ia kesal. Tangannya memegang bahu kanannya.
"Fer, tunggu!" terdengar suara familier di telinga Lusi.
Suaranya Santi, kan? batin Lusi.
Saat Lusi berusaha mengintip di balik badan Zen, ia ditarik oleh Zen untuk bersembunyi, gerakannya bahkan terlalu cepat sampai membuatnya hampir terjatuh. Lusi sudah ingin mengomel namun, Zen membekap mulutnya.
Zen menempelkan telunjuk di bibir, mengisyaratkan untuk diam.
"Ada apa?" terdengar suara Fero bersamaan dengan hentakan kakinya yang terhenti.
"Jadi, jawaban lo apa?" Santi bertanya.
Lusi mencoba melepaskan tangan Zen yang masih membekapnya, tapi Zen malah melotot, melarangnya untuk berbicara agar tidak ketahuan Fero dan Santi.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Choose You![COMPLETED]
Teen FictionSemuanya berawal dari sikap menyebalkan seorang Zen. Bagi Lusi, dia tak lebih dari seorang cowok yang sangat menyebalkan. Lusi memang tak mengenalnya, tapi Lusi tetap merasa terganggu dengan keberadaannya. Tapi setelah tahu sesuatu dari lelaki itu...