Hanya suara bising dan ramai yang terdengar diantara Lusi dan Fero. Deru napas Fero terasa di wajah Lusi, keduanya memang dalam jarak yang sangat dekat. Lusi masih mematung dalam ketidak sadarannya, terjebak dalam imajinasi yang dianggap mimpi.
"Lusi? Lu?" Fero mengguncang bahu Lusi pelan. Wajahnya terlihat tegang, namun sorot matanya mengisyaratkan sedang menunggu.
Bagai disambar petir, Lusi tersadar dari pikirannya, "I-iya? Apa Fer?"
Bodohnya Lusi! batin Lusi merutuki diri sendiri.
Lusi sadar kalimat yang diucapkannya terdengar bodoh bahkan ia yakin saat ini tingkat kebodohannya sudah mencapai ke tingkat luar biasa. Bukannya seharusnya ia berkata I love you too atau semacamnya?
"So," Fero terdiam sejenak. "Be mine, Lu."
***
Terdengar gema musik di kamar Lusi, udara yang semakin dingin tidak dapat mengusiknya. Ia masih mengenakan handuk di kepalanya. Ya, benar sekali, Lusi baru saja mencuci rambut sebab berharap bisa mendapat satu jawaban untuk Fero, tentu saja dia bingung. Setelah Fero mengatakan itu ia merasa kehilangan kewarasannya hingga saat ini, itu dibuktikan dari melihat tingkat kesadarannya yang dirasa semakin menipis.
Sejenak ia teringat perihal kemarin, setelah tahu Lusi tak bisa langsung menjawabnya, Fero mengantarkan Lusi pulang. Dan parahnya lagi dalam perjalanan pulang Lusi hanya diam, bahkan Lusi yakin saat itu Fero menganggap dirinya sedang membonceng sosok hantu, ada tapi tak terasa keberadaannya. Hari ini untuk kedua kalinya Lusi bersedia mengakui kebodohannya.
"Gue harus jawab apa? Jawab apa?" tanya Lusi pada diri sendiri. Ia menatap cermin dan berharap pantulan dirinya dapat membantunya memberi solusi.
Lusi melirik jam berukuran kecil di sampingnya, jarum jam menunjukkan pukul 08.00. Lusi semakin gusar, kecemasannya semakin menjadi sebab Rere tak kunjung datang.
"Lusi?!" seru Rere yang tiba-tiba membuka pintu kamarnya secara tak sabaran. Ia langsung menghambur ke arah Lusi, memeluknya erat karena gemas, atau lebih tepatnya karena terlalu gembira, ia sampai melonjak tak keruan tanpa melepaskan pelukannya.
"I cant breath, dear," Lusi menepuk punggung Rere beberapa kali. Ia memang sudah menduga akan mendapat perlakuan seperti ini, tapi Lusi merasa lega atas kehadiran Rere, mungkin dia bisa membantu kebingungan yang melanda dirinya.
Kontan Rere melepas pelukannya, berlalih menatap Lusi dengan tatapan haus, haus akan cerita sepenuhnya atas kejadian tadi malam.
"C'mon, c'mon! Just tell me!" Rere menarik Lusi untuk duduk di ranjang empuknya, memaksa Lusi untuk segera bercerita.
Lima menit berlalu.
"Ounch, romantisnya," Rere memeluk diri sendiri, merasa dirinya berada dalam posisi Lusi.
"Rere, gue harus gimana? Gue sampai nggak bisa tidur semaleman," Lusi mengguncang bahu Rere, berusaha menyadarkannya dari ilusi yang dibuatnya sendiri.
"Oke, dengerin," Rere mengubah mimik wajahnya menjadi serius.
Lusi menggigit bibir, menunggu ucapan Rere yang memang sedari tadi ditunggunya.
"Satu pertanyaan buat lo sebelum nentuin pilihan," Rere mengangkat telunjuk ke depan, menunjukkan angka satu. "Tanya ke hati lo sendiri, lo suka Fero atau enggak? Tapi," Rere menutup mulut Lusi yang hendak berucap.
"Sebelumnya gue pengen tahu ... sebenernya selama ini lo hanya bikin diri lo suka sama Fero, atau lo beneran suka sama dia?"
Lusi mencerna kalimatnya dengan benar, matanya berkedip pelan beberapa kali, Lusi mencoba mencari jawaban dalam diri. Selama ini Lusi memang mengagumi Fero, menganggap sosok sempurna Fero sebagai cinta pertama dalam hidupnya, ia sampai menggilai sosok Fero dalam waktu yang cukup lama. Apa itu yang disebut cinta?
"Gue," Lusi menimang ucapnya, sementara pikirannya berada dalam ingatan beberapa waktu di belakang. Bibirnya akan tergerak namun, Rere menghentikannya.
"Stop it! Its done. I have to go, babe. See, ya." Rere memeluk Lusi sejenak, lalu menghambur pergi.
"God. Damn you!" Lusi sebal, bahkan ia belum puas bertanya.
"Gue udah ada janji, Lu. Shon nungguin gue di luar!" terdengar seruan Rere dari kejauhan membuat Lusi hanya bisa mengerang sebal.
***
Suara decitan burung terdengar nyata di telinga Lusi, udara terasa dingin, membuat hidungnya terasa beku dan mati rasa. Perlahan ia membuka mata, melirik jam kecil di sebelah ranjang. Jarum jam menunjukkan pukul 05.10.
"Astaga!" Lusi memekik, ia sampai terduduk dari posisi tidurnya yang tengkurap. "Gue telat! Telat!" dengan gerakan spontan Lusi meloncat dari kasurnya menuju toilet. Karena saking paniknya, Lusi hampir jatuh terjengkang saat berlari melewati keset toilet, untungnya tangannya sigap memegang kusen pintu.
Lima menit kemudian Lusi sudah berlari menuruni tangga, seperti biasa Lusi dapat mendengar teriakan Siska dari dapur, tantenya itu melarangnya untuk tidak berlari.
"Buru-buru, Kak. Lusi berangkat!" Lusi memelesat keluar rumah.
"Tumben lama? Baru bangun, ya," goda Fero yang sudah berdiri di tempat biasanya, di depan gerbang rumah Lusi. Ia sedang memegang sepedanya.
Lusi melengkungkan senyum, ia merasa tak enak hati membuat Fero menunggu.
"Baru aja gue mau masuk. Eh, Tuan Putrinya udah keluar duluan."
"Apa sih?" Lusi tergelak.
"Mau ketawa mulu apa mau sepedaan?" Fero menoel pipi Lusi, seperti biasa Lusi langsung merasa pipinya memanas.
"Mau sepedaan, tapi bannya bocor kayaknya," Lusi mengingat bannya yang kemarin dipompa namun, tak kunjung melembung.
"Yaudah, kita lari-lari aja. Sepedanya ditaruh sini."
"Lari?" Lusi mengulang.
"Ya," Fero mengangguk lalu meletakkan sepedanya di dekat pagar. "Ayo!" Fero menarik tangan Lusi.
Keduanya mulai berlari kecil, setiap pagi memang mereka bersepeda sebelum sekolah, menghirup udara segar di pagi hari bersama adalah kesenangan untuk keduanya.
Beberapa lama kemudian Lusi berhenti berlari, kelelahan lebih tepatnya. Ia membungkuk dan terengah sambil menyeka keringat di dahi.
Fero ikut berhenti di depan setelah tak mendengar hentakan kaki Lusi.
"Capek? Duduk dulu deh," Fero menghampiri, menarik tangan Lusi lalu menuntunnya duduk di tepian jalan.
Ketika duduk Lusi menatap ke seberang jalan, pandangannya terkunci pada satu titik yaitu pada sosok lelaki berkulit putih yang mengenakan kaus tanpa lengan dengan celana selutut. Kepalanya tertutup tudung kaos putih yang dikenakannya, perlahan tangan lelaki itu melepaskan headset di telinga, ia menatap Lusi dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia adalah Zen.
Menerima tatapan seperti itu membuat Lusi mematung sampai lupa berkedip apalagi bernapas. Ia merasakan sesuatu saat melihat Zen di seberang sana, entah kenapa ia merasa ingin menghampiri dan menyapa, padahal ia masih bersama Fero. Bukankah itu sudah lebih dari cukup? Tapi hatinya berkata lain. Ia seperti mendengar suara Rere yang mengatakan kalau dia hanya membuat dirinya menyukai Fero, bukan sungguh-sungguh menyukainya.
Lalu gimana dengan perasaan ini? Kenapa gue ngerasa sakit lihat Zen di sana sendirian? Dan kenapa gue harus pusingin hal kayak gini? Gue bahkan belum memberikan jawaban pasti buat Fero, batin Lusi penuh gejolak.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
I Choose You![COMPLETED]
Novela JuvenilSemuanya berawal dari sikap menyebalkan seorang Zen. Bagi Lusi, dia tak lebih dari seorang cowok yang sangat menyebalkan. Lusi memang tak mengenalnya, tapi Lusi tetap merasa terganggu dengan keberadaannya. Tapi setelah tahu sesuatu dari lelaki itu...