Di dalam kelas diantara kegaduhan yang tercipta hanya Lusi yang saat ini terdiam, padahal jam pelajaraan sedang kosong. Lusi yang biasanya antusias meluangkan jam kosongnya untuk menggambar kali ini hanya menatap ke depan dengan tatapan kosong. Jemarinya meremas erat rok abu-abu selutut yang dikenakannya, pikirannya kalut dipenuhi kalimat ancaman yang tadi tertulis di atas mejanya.
Takut, kesal, sedih, marah. Semua itu berkecamuk dalam dirinya, terasa memberontak hingga ingin keluar. Tapi sekali lagi, Lusi hanya bisa menyimpannya seorang diri.
Lusi menunduk memperhatikan jemarinya yang berwarna putih sebab terkena kapur bekas tulisan tadi. Ya, Lusi segera menghapus tulisan itu sebelum temannya yang lain mengetahuinya, termasuk Rere. Hal ini akan ia hadapi sendiri meski ia tak tahu bagaimana harus menghadapinya.
Lusi mengusap jemarinya hingga bersih. Ingatan tentang sepatu biru kembali terlihat di matanya.
Mungkin aja dia ada di dalam kelas ini, batin Lusi. Ia yakin dengan pemikirannya.
Ia segera mendapatkan sebuah ide. Lusi mengeluarkan pensil dan menjatuhkannya ke lantai.
Tuk!
Pensil itu jatuh, menggelinding tak jauh dari kursinya.Lusi lantas berdiri, ia mendekati pensilnya, gadis itu berjongkok untuk memungut pensil berwarna hijau lumut miliknnya. Sebelum berdiri, Lusi buru-buru melihat ke segala arah untuk mencari siapa yang menggunakkan sepatu biru itu, sayangnya hasilnya tetap nol besar, Lusi sama sekali tak melihat sepatu biru itu. Tak mendapatkan hasil Lusi segera berdiri, ia kembali ke tempat duduknya.
Ia sedikit kecewa, tetapi ia tetap yakin jika Si peneror itu berada di sekitarnya, dan selalu mengawasi Lusi. Lusi meyakini hal itu sebab si peneror telah menulis sebuah ancaman di mejanya sendiri. Kemungkinan hanya murid di kelasnya saja yang dapat melakukannya tanpa dicurigai oleh temannya yang lain, sebab saat Lusi masuk ke dalam kelas yang lainnya masih berada di luar, hanya sedikit yang berdiam diri di kelas, itu pun semuanya duduk di bangku depan. Bahkan tadi saat Lusi memasuki kelas keadaan bisa terbilang normal sebab Lusi tak menerima tatapan aneh seperti sebelumnya.
***
Lusi berada di teras rumah menikmati jus melon ditemani embusan lembut angin malam. Lusi memejamkan mata, menghirup udara sedalam-dalamnya lalu membuangnya perlahan, ia mencoba menenangkan diri.
Jemari Lusi menggenggam erat liontin di lehernya,
"Lusi kangen banget sama Mama, Papa," ungkapnya dengan mata terpejam.Teng! Teng! Teng!
Lusi terjingkit. Matanya terbuka mendengar bunyi khas itu.
"Nasi goreng! Nasi goreng!" teriak Si penjual.
Kruuuk!
Bunyi perut Lusi terdengar keroncongan.Perutnya memang masih kosong sedari tadi siang, sebab ia belum makan apapun. Mau bagaimana lagi? Tantenya masih belum pulang juga meski sudah larut. Biasanya Lusi akan menunggu tantenya memasakan sesuatu untuknya setiap pukul tujuh malam atau kadang Lusi dibelikan nasi di luar namun, hingga saat ini meski waktu sudah menunjukkan pukul sembilan Siska masih belum pulang juga, padahal Lusi sudah teramat kelaparan. Terlebih di lemari es tiada sesuatu yang bisa di makan, telur pun hanya untuk sarapan Lusi tadi pagi, itu pun sudah habis.
Kruuuuk!
Perut Lusi kembali berbunyi.Lusi memegangi perutnya sambil meringis.
Laper! ia membatin.
Teng! Teng! Teng!
"Nasi goreng!" suara Si penjual.Lusi melihatnya melewati gerbang rumah, sontak matanya mengikuti arah perginya Si penjual nasi goreng itu. Ia menelan ludah, rasa laparnya kini tak lagi tertahan, refleks ia berlari mengejar namun, baru dua jengkal berlari tiba-tiba ia menghentikan larinya. Lusi menepuk dahi, ia lupa mengunci pintu rumah, dengan segera ia berbalik dan mengunci pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Choose You![COMPLETED]
Teen FictionSemuanya berawal dari sikap menyebalkan seorang Zen. Bagi Lusi, dia tak lebih dari seorang cowok yang sangat menyebalkan. Lusi memang tak mengenalnya, tapi Lusi tetap merasa terganggu dengan keberadaannya. Tapi setelah tahu sesuatu dari lelaki itu...