Bahagia?

109 32 12
                                    

Zen memasuki rumah Lusi, ia tersenyum saat Siska menatapnya tajam. Zen masih diam saja saat Siska memandanginya dari atas hingga bawah, susah payah ia mempertahankan senyumnya.

"Ikut gue!" Siska berbalik lalu berjalan menuju ruang tamu.

Zen segera mengikuti di belakangnya bersama Lusi, ia mengamati Lusi yang sedari tadi memainkan jemarinya, terlihat sekali jika gadis itu dilanda gelisah.

"Nggak usah takut," Zen mengelus puncak kepala Lusi.

"Duduk sini!" Siska memanggil setelah duduk di sofa.

***

Tiga bulan kemudian...

"Ya ampun Kak Siska cantik deh. Sukaaa!" Rere berteriak kegirangan seolah lupa jika di sekitarnya masih ada banyak orang. Bahkan ia tak menghiraukan mereka yang sedang menatapnya jengkel akibat mendengar suara cemprengnya.

"Re, udah. Mau berapa kali coba bilang kayak gitu?" Lusi menepuk dahi.

Rere cenggengesan, "Foto yuk?!" Rere mengapit tangan Lusi.

Dengan cepat Lusi menggeleng, "Malu, ada Fero di sana."

Namun, Rere mengabaikan ucapannya dan malah menyeret Lusi sampai gadis itu terpontang-panting.

"Iyalah ada Fero, dia apanya Kak Rei coba? Menurut lo adik pengantin prianya nggak boleh dateng ke pernikahan kakaknya?" Rere memutar bola mata jengah.

Langkahnya terhenti begitu Zen tiba-tiba berdiri menghadang keduanya. Zen melontarkan senyumnya, ia merentangkan tangan seolah siap dipeluk Lusi.

"Najis, sana pergi! Lo nggak dibutuhin di sini. Lusi udah gue sewa!" Rere kesal, pasalnya sudah bertahun-tahun rasanya ia memendam kekesalan pada Zen sebab meninggalkan Lusi begitu saja.
"Kayaknya dendam banget lo sama gue," Zen terkekeh pelan.

Rere menarik sebelah sudut bibirnya pertanda meledek, "Ngaca dong, lo lupa penyebab gue punya dendam ke lo?"

"Gue tahu itu."

***

Santi berjalan pelan menembus kerumunan tamu di pernikahan Siska dan Rei, dari kejauhan ia melihat Lusi sedang bersama Zen, dan Rere, ia memutuskan mendekati mereka. Padahal tadinya ia tak ingin datang sebab tak enak hati dengan Lusi, tapi karena Fero meneleponnya akhirnya ia memutuskan untuk datang, ia berjalan dengan langkah ragu tanpa mengalihkan pandangan dari mereka, hingga tanpa sadar ia membeku saat beradu tatap dengan Lusi. Ia mengatur napasnya supaya kembali tenang.

Sedangkan Lusi hanya diam sambil menatap Santi, membuat Zen ikut menoleh ke arah yang sama.

Zen langsung berdiri saat melihat Santi berdiri di belakangnya. Ia membelakangi Lusi seakan mencoba melindunginya dari serangan yang bisa datang kapan saja.

"Mau apa lagi? Nggak puas selama ini lo kasar sama Lusi?" Zen memicing, ia mendengus pelan. Ia masih menganggap Santi sama seperti dulu.

Berbeda dengan Lusi, ia malah menyapa Santi, memintanya mendekat pula. Tindakannya itu membuat Zen melayangkan tatapan bingung padanya.

Rere menyenggol sikut Lusi kesal, "Ngapain panggil dia coba?"

Lusi hanya melontarkan senyum untuk membalas Rere. Ia kembali menatap Santi, "Ke sini sendirian?" Lusi bertanya. "Mau duduk?" ditepuknya pelan kursi di sebelahnya. Ia yakin Santi tersadar setelah hari itu, dapat dilihat dari matanya yang tak lagi menyorotkan kebencian seperti sebelumnya, sangat berbeda.

Santi mengangguk, ia mendekat dan perlahan duduk di sana, meletakkan tangannya di pahanya, ia menggerakkan jemarinya karena gugup, "Gue ke sini sendirian," ia menjawab. Dengan gemetar tangannya terulur, meminta Lusi menjabat tangannya. Ia memang sedikit risi dengan tatapan Zen dan Rere yang terlalu mengintimidasi namun, ia tetap memantapkan hati untuk meminta maaf.

I Choose You![COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang