"Emm," Lusi menimang ucapannya, "gue mau ngomong tentang-"
"Nanti aja ngomongnya, gue pergi dulu. Sampe ketemu nanti." Fero menoel pipi Lusi, lalu beranjak pergi.
Sementara Lusi hanya bisa melongo memandang punggung Fero yang semakin menjauh, ia tak bisa menahan lelaki itu.
***
"Lu?" Rere memanggil dari belakang, membuat Lusi refleks menoleh.
"Ya?"
"Lo beneran pulang sama Fero?" Rere menatap Lusi seakan ingin segera mendapat jawaban.
Lusi mengangguk kecil, "Tadi Zen gue hubungi nggak bisa, istirahat tadi juga nggak kelihatan, terpaksa gue ikut Fero, dia udah ngajak tadi," ekspresinya terlihat muram.
"Dasar tuh anak! Masa lupa kalo udah punya pacar!" seketika Rere kesal.
"Nggakpapa, mungkin dia harus buru-buru ke rumah sakit."
"Eh, iya. Gue lupa, entar gue mau ke sana dong kalau lo ke sana," pinta Rere.
"Gue nggak bisa ke sana," Lusi menundukkan kepala. "Tante Siska ngelarang gue ketemu Zen. Rasanya nggak mungkin gue ke sana lagi."
Rere merasa prihatin, "Gue ngerti posisi lo. Sabar ya, Lu?" Rere mengelus bahu Lusi lembut.
Lusi menengadah, ia tersenyum, lebih tepatnya tersenyum getir.
Rere melirik jam di pergelangan tangannya, "God! Adek gue ngambek, nih!" ia menepuk dahi, "Duluan ya, Lu! Ntar dia kelamaan nunggu." Rere segera berlari selepas Lusi menganggukkan kepala, ia lupa jika harus menjemput adiknya yang bersekolah.
Lusi kembali berjalan, ia melewati gerbang sekolah, dan berdiri di depannya. Sekali lagi ia mencoba menghubungi Zen namun, sepertinya ponsel Zen sedang tidak aktif.
"Lu?" Fero memanggil.
Lusi menurunkan ponselnya dari telinga, ia menoleh ke arah Fero yang sedang mengendarai motornya.
"Naik, gih! Tapi jangan ketiduran, ya?" goda Fero ketika menghentikan motor besar itu di samping Lusi.
"Anterin langsung ke rumah, ya?" Lusi menggigit bibir, berharap Fero menganggukkan kepala.
"Maksudnya, kita nggak jadi ke-"
"Gue nggak bisa," potong Lusi cepat. "Gue harus pulang cepet, nggakpapa kan?"
Fero terdiam sejenak, "Ya, nggakpapa. Sini gue anterin pulang."
Lusi langsung menaiki motor Fero, setelah itu Fero melajukan kendaraannya. Dalam perjalanan Fero sesekali mengajak Lusi berbicara, tapi Lusi hanya menjawabnya dengan deheman pelan, anggukan, atau sekadar berkata iya saja. Bahkan Fero sampai bingung sebab tak biasanya Lusi seperti ini, yang diajaknya bicara seperti berada di tempat lain. Beberapa menit berlalu, karena jarak sekolahnya lumayan dekat jadi, mereka cepat sampai. Ketika Fero baru saja menghentikan motornya, Lusi turun begitu saja, seakan tergesa-gesa.
"Fer, gue mau ngomong sesuatu."
"Apa?" Fero memandangi Lusi yang sedang memainkan jemari, terlihat sekali jika Lusi sedang gugup.
Lusi tampak ragu, "Soal yang waktu itu, gue mau jawab sekarang boleh?" tanpa sadar Lusi menggigit bibir.
Fero mengangguk seraya tersenyum, senyumnya sungguh manis seakan tak tahu jika ia akan kecewa setelah mendengar kata-kata Lusi sebentar lagi.
Lusi menelan ludah, "Fer ... gue, gue," ia menarik napas pendek, seolah itu dapat membantunya lebih lancar mengatakannya, "gue nggak bisa terima lo lebih dari sekadar temen." Kata-kata itu meluncur begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Choose You![COMPLETED]
Teen FictionSemuanya berawal dari sikap menyebalkan seorang Zen. Bagi Lusi, dia tak lebih dari seorang cowok yang sangat menyebalkan. Lusi memang tak mengenalnya, tapi Lusi tetap merasa terganggu dengan keberadaannya. Tapi setelah tahu sesuatu dari lelaki itu...