Begitu sampai di toilet Siska mendengar suara isak tangis Lusi, lampu toilet pun padam. Ia panik sebab mengkhawatirkan keponakannya, ia tahu betul Lusi punya phobia pada kegelapan.
Karena gelap Siska jadi geram sebab tak bisa melihat apapun di sekitarnya. Tangannya meraih ponsel di saku dan menyalakan senter.
Siska mengedarkan pandangan untuk mencari, matanya menangkap sebuah pintu yang ganggangnya terhalang oleh sapu. Dari dalam masih terdengar isak tangis Lusi.
"Lu, dont cry. I m here," Siska menenangkan. Tangannya menyingkirkan sapu itu.
Mata Lusi yang sedari tadi tertutup lantas terbuka. Lusi menengadah mendengar suara Siska, "Tante?" ia masih terisak. Ia melihat pintu terbuka bersamaan dengan cahaya putih yang menyilaukan mata, ia sampai menutupinya dengan telapak tangan.
Meski mendengar Lusi memanggilnya dengan sebutan itu, tapi Siska mengabaikannya, ia lebih mementingkan keponakannya kali ini. Mata Siska tertuju pada kepala Lusi yang terlihat kuyup, terlebih di lantai terdapat banyak sampah bergeletakan, di sana ada genangan air kotor yang baunya tak mengenakkan hidung. Seketika Siska iba, ia bener-benar tak tega melihat keadaan Lusi.
Lusi langsung menghambur dalam pelukannya, ia menangis terisak dan terus berkata takut. Saat itu pula emosi Siska menaik, ia mengumpat dalam hati dan berusaha menenangkan diri untuk tak segera menanyai Lusi siapa yang tega berlaku buruk padanya.
Siska mengelus punggungnya, "Hei ... tenang, Lu. Gue di sini, tenanglah."
Untuk beberapa saat Siska membiarkan Lusi memeluknya. Dapat ia rasakan badan Lusi yang tadinya gemetar berangsur tenang, tangisnya mulai terhenti, perlahan ia memundurkan badannya, tak lupa tangannya mengarahkan senter pada gadis malang itu.
"Tenang, oke? Gue di sini," Siska mengusap lembut pipi Lusi yang digenangi air mata.
Lusi mengangguk kecil. Ia masih berusaha menahan tangisnya agar tak jatuh lagi.
Tangan Siska terulur ke depan, "Pegang tangan gue. Kita pulang."
Lusi mengenggam jemari Siska erat. Ia menunduk agar tak melihat kegelapan di sekitarnya.
***
Di dalam kamar Lusi masih mengurung diri. Meski pintu kamarnya terbuka tetap saja ia enggan keluar. Pikirannya masih kacau, ia merasa takut, kesal, dan gelisah. Setelah pulang dari mall ia memang segera mandi dan berganti baju namun, sepertinya ia masih memikirkan tentang Si peneror itu sampai lupa menyisir rambut. Ia juga tak menghiraukan Siska yang sudah dua kali memanggilnya dari bawah, padahal Siska mengajaknya turun untuk makan malam.
Siska berjalan menaiki tangga. Ia berharap Lusi mau menceritakan masalahnya padanya.
Di belakang Lusi sudah ada Siska yang berdiri di depan pintu. Siska memandangnya gelisah. Ia melangkah memasuki kamar Lusi, menuju meja rias dan mengambil sisir berwarna putih. Siska mendekati Lusi dan duduk bersila di belakangnya, pelan-pelan ia menyisir rambut hitam keponakannya, ia melakukannya dengan penuh kasih sayang.
Lusi yang baru menyadari keberadaan Siska sedikit terjingkit, tapi ia kembali diam dan menurut mendapatkan perlakuan itu.
Siska terus menyisir rambut Lusi,
"Lu ... gue tahu, gue bukan Mama buat lo, gue juga bukan Papa buat lo, gue ini cuma seorang tante yang selalu pengen dipanggil kakak sama lo. Gue tahu gue kadang nyebelin, cerewet, dan pemarah. Tapi gue sayang banget sama lo, sayang banget, Lu," Siska menghentikan aktivitasnya.Lusi berbalik dan menatap mata Siska yang hampir basah, "Jangan nagis, Kak."
Siska mengelus puncak kepala Lusi, "Gue cuma punya lo, Lu. Nenek sama Kakek udah pergi, orangtua lo udah pergi, yang tersisa cuma gue sama lo, cuma kita. Gue nggak mau ngelihat lo sakit ataupun disakiti, karena lo terlalu berharga buat gue. Lo segalanya buat gue. Jadi please, apapun yang lo laluin, apapun yang lo rasain, gue mohon ceritain semuanya ke gue, lo momongin sama gue, gue akan selalu jadi pendengar yang baik," suara Siska terisak. Matanya mengalirkan air mata, begitu deras dan tak tertahan. Ia tak mampu lagi menahannya, Siska terlalu sakit mengingat keadaan Lusi di toilet mall tadi. Baginya itu sebuah pemandangan yang begitu menyakitkan hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Choose You![COMPLETED]
Teen FictionSemuanya berawal dari sikap menyebalkan seorang Zen. Bagi Lusi, dia tak lebih dari seorang cowok yang sangat menyebalkan. Lusi memang tak mengenalnya, tapi Lusi tetap merasa terganggu dengan keberadaannya. Tapi setelah tahu sesuatu dari lelaki itu...