"Hai!" Zen menyapa.
Lusi tampak kikuk, "Hai," Lusi tersenyum tipis, "gue duluan, ya," Lusi menghindar, ia berjalan mendahului Zen, tapi lengannya segera di tahan olehnya hingga membuatnya terhenti.
Zen memutar badan Lusi, "Lo ngehindar dari gue?"
Lusi hanya menatap matanya, tak tahu harus menjawab apa.
Zen mencondongkan badan agar lebih dekat dengannya, "Dengerin gue," kata Zen, "gue nggak minta apa-apa dari lo, gue cuma mau selalu ada dideket lo. Jadi, gue harap lo masih nganggep gue sebagai temen."
Lusi mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba mencerna kalimat yang diucapkan olehnya.
Jadi dia nggak minta jawaban dari gue? batin Lusi.
Zen menunggu jawaban Lusi, ia sangat berharap Lusi masih mau berteman dengannya. Baginya menunggu jawaban dari Lusi bagaikan menunggu jawaban atas hidup dan matinya, sungguh dramatis.
Lusi mendongak untuk menatapnya, ia segera disambut oleh mata teduh Zen yang masih menatapnya. Lusi dapat melihat kelembutan di mata itu.
"Can we be friends?" Zen berucap, suaranya sangat lembut. Bahkan itu kalimat terlembut yang pernah dikatakan Zen padanya.
Lusi mengulum senyum, ia mengangguk pelan.
Sedetik kemudian Zen mengukir senyum di bibirnya, ia terlihat sangat senang sampai tak sadar memeluk Lusi, "Thanks."
Lusi terperangah mendapat perlakuan itu, di saat bersamaan ia merasa jantungnya barpacu cepat. Kenapa ia sampai berdebar? dan kenapa juga Lusi peduli dengan itu?
"Emm, sorry. Kita masih temen, kan? Bukannya pacar?" Lusi menepuk punggung Zen, mencoba mengingatkan.
Kontan saja Zen tersadar, perlahan ia melepas pelukannya, "Sorry," ia menggaruk tengkuknya sembari memandang Lusi, gadis itu terlihat tersipu. Zen tersenyum melihatnya, itu ekspresi langka yang pernah Lusi tunjukkan padanya.
"Oke, kita berangkat bareng sekarang," Zen mengacak puncak kepala Lusi gemas, lalu berjalan mendahului.
Lusi langsung kesal diperlakukan seperti itu sebab rambutnya jadi kusut, padahal ia sudah bersusah payah untuk meluruskannya dengan catokan. Ya, dia ingin ganti gaya rambut agar yang melihatnya tak bosan, ia sendiri sudah bosan melihat rambutnya yang selalu berombak di bagian ujungnya. Terkadang ia sampai kesulitan saat menyisir rambutnya.
"Kebiasaan!" Lusi berjalan menyusul.
"Rambut lo jelek!" Zen mencibir, ia mempercepat langkahnya.
Lusi mengekor di belakang. Dengan patuh mengikuti langkahnya.
***
"Ciyeee, yang rambutnya ganti style di tahun yang baru," Rere menyoraki Lusi yang baru saja mendaratkan diri di kursi.
"Ish! Apa sih!" Lusi tersipu, "yang lain jadi ikutan lihatin gue kan," Lusi mengedarkan pandangan, memperhatikan beberapa pasang mata yang tertuju padanya. Tentu saja ia merasa tak nyaman.
"Lo jadi kelihatan makin cantik, deh. Bikin iri tahu!" Rere sebal.
"Emang cocok, ya? Rada nggak PD sih gue," Lusi bertanya.
Rere cemberut, "Lo mah kebiasaan nggak percaya diri. Emang tadi nggak ngaca, Neng?"
Pertanyaan Rere hanya disambut kekehan Lusi.
Kriiiing! Kriiiiiiiiing!
Bel pertanda masuk berbunyi menandakan pelajaran pertama akan dimulai.***
Sudah sekitar lima belas menit sejak bel pertanda pulang berbunyi, tetapi Lusi masih berada di kelas, dia sedang piket seperti biasa.
"Lu, gue udah dijemput sama Abang gue. Gue udah buang sampahnya, tinggal hapus papan tulis, lo aja ya? Ntar keburu Abang gue marah lagi," teman piket Lusi berkata, dia adalah Nindi.
Lusi menghentikan aktivitasnya merapikan meja guru, "Iya. Duluan aja, gue hapus sendiri, lagian yang lainnya juga udah selesai," Lusi menjawab. Sebenarnya ia sedikit bosan hanya piket bersama Nindi sebab terasa lama. Mau bagaimana lagi? yang lainnya malah langsung pulang tanpa piket, mungkin karena mereka laki-laki makanya susah melakukan tugas piket yang mereka pikir hanya cocok untuk kalangan perempuan. Sangat tidak adil.
Sepeninggal Nindi, Lusi mengambil penghapus papan tulis, menuntun kakinya sampai ke papan tulis. Dengan gerakan santai ia menghapus tulisan spidol berwarna hitam itu, menghapusnya sampai jangkauan tangannya saja.
Merasa lelah akhirnya Lusi berhenti, ia memandang papan tulis itu dengan tatapan lelah, "Nggak nyampe," Lusi berdecak pelan.
"Kurang tinggi, sih!" sebuah suara memecah keheningan membuat Lusi melayangkan pandangan ke sumber suara.
Lusi mengangkat alis heran sebab melihat Fero di depannya, padahal ini sudah terlalu sepi, ia pikir semua orang sudah pulang karena biasanya memang begitu, tetapi ternyata tidak.
"Kenapa ngelihatin? Minta dibantu?" Fero terkekeh, lucu saja melihat ekspresi Lusi yang terlihat lelah bercampur heran.
"Mentang-mentang tinggi," Lusi cemberut, "nggak, gue bisa sendiri," ia berjalan menuju kursi, mengangkatnya dengan susah payah tak menghiraukan Fero yang masih mencoba membantu.
"Kalau lagi kesel lo makin kelihatan lucu," kekeh Fero, dia mengacak pelan poni Lusi menandakan betapa gemasnya ia padanya. Ia mengikuti Lusi sampai di depan papan tulis.
Setelah mendaratkan kursi itu, Lusi memijakkan kakinya ke atas kursi, berdiri dengan mantap lalu menghapus papan sampai terlihat putih sempurna. Lusi tersenyum bangga, akhirnya pekerjaannya selesai.
Saat akan turun dengan santainya Lusi menapakkan kakinya ke samping, lupa jika masih berdiri di atas kursi, jadilah ia terhuyung. Untung saja Fero ada di sampingnya, refleks ia menopang badannya, kalau tidak pastilah Lusi sudah terjungkal.
Berada dalam dekapan Fero lantas mampu membuat jantungnya berdebar tidak keruan, apalagi dengan jarak sedekat itu, Lusi sampai bisa merasakan deru napasnya.
Damn! Dia ganteng banget, batin Lusi.
Fero menatap Lusi, wajahnya terlihat tenang, "Lo nggakpapa?"
Mendengar pertanyaan Fero, langsung membuatnya tersadarkan diri, otomatis Lusi membenarkan posisinya untuk berdiri, "Gue nggakpapa," Lusi cengengesan, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
Tanpa embel-embel apapun Fero langsung bertanya, "Mau pulang bareng?"
***
Cyiiiit!
Suara motor Fero yang berhenti di depan rumah Lusi.Dengan gerakan perlahan Lusi turun dari motor, "Makasih," katanya saat sudah mendaratkan kedua kakinya di samping Fero, tak lupa ia menyunggingkan senyum.
"Nanti malam ada acara?" Fero mematikan motornya.
Tanpa sadar Lusi membulatkan mata, ia sadar akan pertanyaan itu namun, tak tahu harus menjawab apa. Baginya itu semacam bumerang yang bisa membuatnya meledak kapan saja.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
I Choose You![COMPLETED]
Teen FictionSemuanya berawal dari sikap menyebalkan seorang Zen. Bagi Lusi, dia tak lebih dari seorang cowok yang sangat menyebalkan. Lusi memang tak mengenalnya, tapi Lusi tetap merasa terganggu dengan keberadaannya. Tapi setelah tahu sesuatu dari lelaki itu...