Enggak! Gue nggak bisa kayak gini terus, batin Lusi resah.
Ia seperti kehilangan arah dan semakin kepikiran tentang Zen, bahkan hal itu terus berputar di kepalanya. Lusi masih terduduk di ranjang empuknya, menggigit bibir, dan memeluk erat boneka kesayangannya. Meski perutnya berontak sebab lapar ia tidak mempedulikan itu, padahal siang tadi Lusi tak sempat makan siang. Dan yang semakin membuatnya frustrasi ialah kenapa Zen tak kunjung memberikan kabar? Padahal Lusi sudah mengirim chat, pesan singkat, dan telepon berulang kali. Sudah dua hari Zen menghilang, sungguh ini sangat mengusik ketenangan Lusi, ia bahkan tidak tahu apakah Zen akan kembali atau tidak.
Lo dimana, sih? Nggak biasanya lo kayak gini, Lusi membatin, ia semakin putus asa.
"Jangan pergi," Lusi berucap lirih. Jemari lentiknya meremas rambutnya sendiri karena lelah. Sebelum merasa dirinya semakin tidak waras perlahan Lusi menghirup oksigen, melakukannya berulang kali, setidaknya sampai ia merasa lebih baik.
"Apa gue harus ke rumahnya?" Lusi menurunkan kedua kakinya ke lantai, "ya, harus!" semangat Lusi seperti kembali mencuat. Sedetik kemudian ia beranjak, berlari ke bawah, dan menuruni tangga dengan tak sabaran.
"Lusi!" Lengkingan suara Siska terdengar dari sudut dapur. Seperti biasa Siska paling tak suka jika Lusi berlarian seperti itu.
"Kak, aku keluar bentar," Lusi berseru, ia langsung berlari menuju pintu depan agar Siska tak menahannya. Ini sudah terlalu sore untuknya, ia tahu benar jika di waktu seperti ini Siska melarangnya keluar rumah selain bersama dengannya.
Sedangkan Siska yang sedang memasak di dapur hanya menghembuskan napas lelah, "Dasar anak ini!"
***
Lusi sedang berdiri di depan rumah Zen, menatap rumah megah di depannya dengan penuh harapan. Hanya ini tempat yang diketahui Lusi, tempat yang ditinggali Zen, tapi ia tak tahu apakah Zen ada di dalamnya atau di tempat lain.
Tangan Lusi terangkat, mengarahkan telunjuknya ke bel rumah, memencetnya perlahan. Satu kali, dua kali, hingga tanpa sadar ia sudah melakukannya berulang kali namun, tetap hening tiada jawaban. Ia merasa putus asa. Lusi membalikkan badan, memunggungi pintu bercat putih itu dengan perasaan getir.
Air matanya sudah menggantung di pelupuk mata seakan ingin menumpahkannya sebab tak lagi tertahan. Kakinya terasa gemetar, hilang sudah harapan terakhirnya, ia jatuh terduduk di depan pintu. Untuk saat ini Lusi hanya bisa menunduk putus asa tanpa berkata apapun.
Tap! Tap! Tap!
Langkah kaki terdengar.Seakan tahu itu adalah Zen, ia segera mendongak, mengunci pandangannya pada seseorang di depannya. Matanya semakin berkaca-kaca saat seseorang itu tersenyum padanya, bahkan senyuman yang dilihatnya sangat berbeda dari biasanya, ia terlihat begitu rapuh. Lusi tidak pernah membayangkan seseorang itu bisa memasang raut seperti itu, sangat menyakitkan untuk Lusi.
Sekejap saja Lusi berdiri, lalu menghambur ke dalam pelukannya, "Jangan tinggalin gue, jangan lakuin ini lagi. Gue mohon, Zen." Lusi terisak.
Zen merapatkan pelukannya, mengelus puncak kepala Lusi halus seakan menenangkannya.
"Never, my little Lu."
Lusi melepaskan tangannya di pinggang Zen. Ia mendongak menatap wajahnya, dan sekali lagi ia disambut oleh tatapan itu, tatapan yang terlihat rapuh.
Zen menghapus air mata Lusi, mengusap pipi Lusi dengan sangat lembut.
"Mama lo-"
"Koma," Zen memotong ucapan Lusi.
Bagai disambar petir badan Lusi kembali melemas, kakinya gemetar, dengan perasaan hancur. Sungguh Lusi tidak ingin mendengar berita seperti ini, bahkan ini terasa menyakitkan untuknya apalagi untuk Zen.
"Please, jangan nangis," Zen mengusap air mata Lusi yang kembali menetes. "Padahal gue ke sini mau nagih imbalan waktu itu."
Lusi mengerjap mencerna ucapanya, ia sungguh tak mengerti dengan ekspresi Zen yang kini terlihat tersenyum lucu.
"Bercanda," kata Zen sambil terkekeh pelan, ia berusaha menghibur Lusi meski dia sendiri masih bersedih.
Lusi ingin berhenti menangis, tapi air matanya malah mengalir deras, ia masih tidak bisa menahannya. "Apa sih?! Masih aja bercanda," Lusi memukul dada lelaki itu.
"Gue nggak mau lihat pacar gue nangis lagi."
Deg!
Jantung Lusi seakan mendadak terhenti.Pacar? Lusi membatin, tanpa disadarinya air matanya tak lagi menetes.
"I love you, my little Lu." Zen menarik tangan Lusi, kembali memeluknya erat seakan menjadikan Lusi sandaran untuk bisa bertahan di keadaan yang seperti ini.
***
Lusi berjalan beriringan bersama Zen, sedari tadi ia menatap Zen meski yang diperhatikan hanya menatap ke depan. Ia masih merasakan kehangatan dari tangan Zen yang terus menggenggam jemarinya.
Keduanya berjalan melewati lorong rumah sakit, hanya hening yang menyelimuti. Sampai di sebuah kaca berukuran besar Zen berhenti membuat Lusi otomatis terhenti. Di situlah keduanya menatap ke kaca bening, di baliknya ada sebuah ruangan yang ditempati oleh seorang pasien wanita yang saat ini sedang terbaring lemah. Wanita itu berparas cantik, berkulit pucat dengan luka biru di beberapa bagian tubuhnya, perban di kepala, jarum suntik yang menempel di tangan, dan mata yang tertutup, hidungnya pun ditutupi selang oksigen. Wanita itu tidak lain ialah Zoezenita.
Lusi tak sanggup menatapnya, sungguh terlihat tidak berdaya, menatapnya saja sudah membuatnya sangat sesak. Lusi beralih menoleh pada Zen, ia mencoba membaca ekspresinya saat ini.
Sangat rapuh, gue tahu lo menahan rasa sakit itu sendirian. Dan bodohnya gue yang nggak tahu apa-apa, batin Lusi.
Tangan kanan Zen terangkat, telapak tangannya menyentuh kaca seolah ingin menyentuh Mamanya secara langsung, tatapan matanya redup seakan mengatakan semua kecemasan dalam diri.
Lo sangat berbeda dari biasanya, sosok ceria lo, sikap gentle, dan sikap cuek lo berganti seperti anak kecil polos yang sangat ingin memeluk ibunya, yang berharap ibunya segera sembuh, batin Lusi.
"I m sure, she'll be okay," Lusi menyadarkan kepalanya di bahu Zen, ia memeluk tangan Zen, berusaha menenangkan.
"I know," Zen mencium kening Lusi.
"Lusi?!" suara Siska terdengar di telinga Lusi membuatnya seketika menoleh.
Oh, Tuhan, batin Lusi. Ia sampai tak sadar membeku di tempatnya.
Siska berjalan mendekati, langkahnya lebih cepat. Sementara Zoey berjalan di belakangnya dengan jarak dua jengkal.
Merasa diperhatikan lantas Lusi melepas tangannya dari Zen. Ia sampai kesulitan menelan ludah saat mata Siska beralih menatapnya.
"Kenapa lo ke sini?" sergah Siska begitu berdiri di depannya, menatap Lusi dan Zen bergantian.
Lusi akan menjawab namun, Zen segera memotong ucapannya.
"Dia ke sini karena-"
"Gue nggak nanya lo." Siska memotong. Ia beralih menatap Lusi, menatapnya seakan meminta jawaban.
*****

KAMU SEDANG MEMBACA
I Choose You![COMPLETED]
Teen FictionSemuanya berawal dari sikap menyebalkan seorang Zen. Bagi Lusi, dia tak lebih dari seorang cowok yang sangat menyebalkan. Lusi memang tak mengenalnya, tapi Lusi tetap merasa terganggu dengan keberadaannya. Tapi setelah tahu sesuatu dari lelaki itu...