Kena

71 26 3
                                    

Lusi memainkan jemarinya, memandangi jari lentiknya serta menggigit bibir dengan perasaan bingung. Sedari tadi Siska terus membujuknya agar mau bercerita, tapi ia masih ragu sebab tak ingin membuat Siska kesusahan atau semakin membuatnya lebih kuatir lagi.

"Emm," Lusi berguman, ragu untuk berucap.

"Lo ragu? Kenapa?" Siska bertanya, "lo bisa cerita apa aja ke gue. Gue mau bantu lo, Lu. Atau seenggaknya bikin beban lo sedikit berkurang."

Lusi menghembuskan napas sambil memejamkan mata, perlahan Lusi membuka mata lalu menatap Siska, ia berusaha memantapkan hati.

"Sebenarnya aku nggak mau sampai Kakak tahu tentang ini karena nggak mau bikin kuatir, tapi nyatanya waktu itu Kakak tahu dengan sendirinya."

Siska tersenyum mendengar kata-kata Lusi, ada rasa bangga kala mendengarnya namun, ada rasa kuatir juga yang terbesit di hati. Takut kalau ada banyak hal yang disembunyikan Lusi darinya.

"Kita keluarga, Lu," Siska menggenggam tangan Lusi, "gue janji bakal selalu ada buat lo."

Lusi tersenyum, "Makasih, Kak."

Mereka saling tatap, masing-masing merasakan hal yang sama yaitu bahagia dan merasa bersyukur karena masih memiliki keluarga, tempat berbagai untuk keduanya.

"Lo jadi cerita, kan?"

"Emm ... yeah, tapi aku bingung ceritanya dari mana," Lusi mengakui. Sebenarnya ia memang tak pandai dalam hal bercerita.

Siska menepuk dahi, menandakan ia menyerah dalam keadaan ini.

***

Lusi melamun di dalam kelas, ia sibuk memikirkan kata-kata Siska kemarin malam.

Lu, gue tahu dia itu semacam apa, dia cuma stalker yang beraninya nyerang dari belakang. Dia selalu ngikutin kemana pun Fero pergi, makanya dia sampai tahu kalau lo selalu di deket Fero dan itu bikin dia makin liar buat ngerjain lo.

"Bener juga. Gue harus lakuin apa yang disuruh Tante," Lusi bergumam. Ia beranjak dari kelas sambil membawa tas di punggungnya.

"Lu!" terdengar suara Rere di belakangnya. Ia baru saja dari kantin.

Rere menghampiri karena Lusi berbalik menghadap padanya.

"Mau kemana pakai bawa tas segala?" Rere menatap Lusi penuh tanya.

"Ke perpustakaan."

"Aih, kirain kemana. Mau borong buku, ya?"

Lusi hanya tersenyum untuk menanggapi, "Gue duluan, ya?!" Lusi menghambur pergi setelah Rere menganggukkan kepala.

Dengan langkah mantap Lusi menuntun kakinya menuju perpustakaan, sekitar beberapa menit ia sudah berada di depan perpustakaan. Perlahan ia melepas sepatunya yang berwarna putih dengan tiga garis emas di bagian pinggirannya, Lusi meletakkan sepatu itu di rak sepatu.

Lusi memasuki perpustakaan seraya menoleh kanan dan kiri, begitu sepi dari biasanya. Ia mengambil satu buku yang biasa ia baca lalu terus berjalan hingga menemukan Fero yang sedang membaca sendirian di dekat jendela.

"Hai?" Lusi menyapa saat Fero menatapnya.

Fero tersenyum, "Hai, Lu. Duduk sini," Fero menepuk kursi di sebelahnya.

Lusi menurut dan meletakkan tasnya di atas meja.

"Kenapa bawa tas?" Fero melirik tas Lusi.

"Emm, gue mau pinjem banyak buku kayaknya."

Fero mengangguk paham.

"Lagi baca apa?" Lusi bertanya, ia melirik buku tebal yang dipegang Fero.

"Baca ini," ditunjukkannya buku itu pada Lusi.

Lusi ber-oh-ria saja, ia melihat ke sekeliling mencari seseorang yang mungkin saja sedang mengintainya.

"Nanti pulangnya mau bareng?" Fero bertanya. Ia menutup buku tebal bersampul hijau itu, meletakkannya di meja.

"Tapi kita kan nggak searah," Lusi menanggapi.

"Nggakpapa. Gue bawa motor, sekalian juga ke rumah Zen."

Lusi tersenyum tipis, "Nanti gue bareng sama Rere pulangnya. Kasihan dia jalan sendirian," Lusi menjelaskan.

Fero mengangguk, "Tapi kalau berubah pikiran langsung hubungi gue, ya?"

Lusi mengiyakan ucapan Fero.

"Permisi," seseorang menepuk bahu Lusi dari belakang.

Lusi menoleh begitu pula dengan Fero, keduanya menatap seseorang itu namun, seseorang itu menundukkan kepala seolah malu untuk menatap mereka. Dia gadis yang sama yang waktu itu memberi Lusi surat.

"Ada apa?" Lusi bertanya.

Sementara Fero merasa seolah pernah melihat gadis itu sebelumnya, ia sampai tak sadar terus menatap gadis itu begitu lama.

"Bisa bicara bentar sama gue?" seseorang itu bicara sambil menutupi hidungnya.

Ini baru kedua kalinya gue ngelihat dia. Apa jangan-jangan dia orang itu? batin Lusi.

"Bisa," Lusi berucap.

"Ikutin gue," suruh seseorang itu lalu berjalan mendahului.

"Gue ke sana dulu," pamit Lusi pada Fero, ia berjalan menyusul.

"Ini buat lo, isinya nggak ada hubungannya sama gue," diulurkannya sebuah surat.

Lusi menerimanya sambil memperhatikan seragam gadis itu, terlihat kebesaran dan tak ada nama di bagian depannya.

"Gue pergi dulu," ucapnya setelah Lusi menerima surat itu.

"Makasih," Lusi menatap punggung gadis itu penuh curiga saat ia berjalan pergi.

Buru-buru Lusi mendekati meja, menyahut tasnya sampai tak menghiraukan tatapan bingung Fero.

"Gue duluan," Lusi meninggalkan Fero begitu saja, padahal Fero belum sempat menjawab kata-katanya.

Lusi mengintip di jendela. Tepat seperti dugaannya, gadis itu menunggunya di depan perpustakaan. Ia terlihat sedang memainkan ponsel.

Perlahan Lusi menarik napas kemudian mengembuskannya, ia berharap rencananya berjalan sesuai seperti yang diharapkan.

Lusi mengeluarkan ponsel dan berjalan keluar, mengenakan sepatu lalu berjalan menuju toilet. Ia berusaha memancing gadis itu untuk mengikutinya, dan benar saja gadis itu memang membuntuti secara diam-diam, Lusi bisa melihatnya dari pantulan layar ponsel.

Begitu di depan toilet Lusi segera membuka tasnya lalu menutup pintu toilet. Ia sedang menunggu apa yang akan dilakukan oleh gadis itu.

Tap! Tap! Tap!
Langkah kaki terdengar mendekat.

Kena kan lo! batin Lusi.

Byurr!
Air kotor jatuh dari atas Lusi namun, ia tak kotor atau basah sebab Lusi menutupi diri dengan payung yang sedari tadi ada di tasnya.

Langkah kaki itu segera menjauh, lantas saja Lusi membuka pintu toilet dan mengejarnya, tak menghiraukan payungnya yang tergeletak di toilet.

Gadis berkacamata itu tak sadar jika Lusi membuntutinya. Larinya begitu cepat membuat Lusi kuwalahan mengikuti. Ia berlari dan berhenti di loker khusus putri.

Sementara Lusi bersembunyi di balik tembok, ia mengintip secara hati-hati agar gadis itu tak menyadari keberadaannya.

Gadis berkacamata itu terlihat tergesa-gesa membuka lokernya. Lusi menyempatkan diri melirik sepatu gadis itu.

Dia! Dia pakai sepatu itu! batin Lusi geram.

Mata Lusi membelalak, "Itu bukannya loker milik ...," Lusi berujar pelan. Sungguh ia terkejut setengah mati, terlebih melihat gadis berkacamata itu melepas kepangan rambutnya dan melepas kacamata bundar itu.

Deg!
Jantung Lusi terasa berhenti berdetak.

Dia kan, batin Lusi.

Lusi menggeleng tak percaya.

*****

I Choose You![COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang