Langkah kaki terdengar bergemuruh di anak tangga, semakin dekat dari tempat Siska yang sedang menonton televisi. Ia berdecak pelan dengan menggelengkan kepala, ia heran dengan sifat Lusi. Bagaimana tidak? pasalnya sudah berkali-kali ia hampir tergelincir ketika menuruni tangga, tetapi tetap saja berlarian saat melewatinya.
"Ngapain lari, sih?" tegur Siska begitu melihat Lusi yang sudah berdiri di depannya. "Kebisaan!"
Lusi melengkungkan senyum, terlihat kaku, "Maaf."
Siska menerima uluran tangan Lusi, ketika Lusi mencium punggung tangannya ia bergidik, "Dingin amat tangan lo?" cepat-cepat Siska menarik tangannya seakan takut akan membeku.
Sejenak Lusi terkekeh pelan, ia semakin salah tingkah, "Abisnya bentar lagi Fero nyampe."
Siska terkikik geli, "Sama Fero aja sampe segitunya. Deg-degan, ya?"
Lusi tersipu, tak dapat menyangkal ucapannya.
"Udah sana berangkat, tapi pulangnya jangan kemaleman."
"Iya, Kak." Lusi menuntun langkahnya ke luar rumah.
***
"Emang seru ya di atas?" tanya Lusi dengan tampang ngeri, ia menunjuk sebuah wahana yang terlihat mengerikan. Wahana itu naik dan turun, gerakannya begitu cepat layaknya menghentakkan semua orang di dalamnya.
"Mau naik?" Fero melayangkan pandangan pada Lusi.
"Nggak ah!" Lusi menolak mentah-mentah. Melihatnya saja membuatnya kesusahan menelan ludah, apalagi untuk naik ke sana.
Fero tersenyum miring, merasa lucu melihat raut takut Lusi, "Naik bianglala mau?"
Matanya berbinar, dengan cepat Lusi mengangguk dan berkata iya bahkan tanpa satu tarikan napas.
Keduanya mulai berjalan beriringan, mereka berhenti di tempat antre wahana memutar yang terlihat besar nan indah itu.
"Rame, Lu. Kita terpaksa antre dulu," Fero menunjuk dengan dagu ke arah barisan orang di depannya.
Seketika Lusi lesu, bibirnya mengerucut namun, matanya melihat ke arah bianglala yang berpendar lampu warna-warni.
"Jangan bosen. Ada gue di sini," Fero menepuk pelan puncak kepala Lusi, ia melontarkan senyum padanya.
"Kalau lama tetep aja bosen," Lusi mendengus sebal. Baginya menunggu adalah hal menyebalkan, ia yakin semua orang berpikir begitu. Seperti dirinya saat ini.
"Lucunya," Fero menoel pipi Lusi gemas, lalu merangkul pundaknya menjadikan Lusi sebagai sandaran.
Dengan perlakuan Fero yang seperti itu malah membuatnya mulai salah tingkah. Bahkan mengingat pisisi ini terbilang terlalu dekat jika disebut jarak, rasanya seperti Fero sedang memeluknya meski secara tidak benar. Sungguh, ini hanya akan membuat Fero menatapnya aneh.
Untuk beberapa saat Lusi mematung di tempatnya, sorot matanya terlihat kosong dengan bibir yang membungkam, dia melongo. Sejenak ia merasa kewarasannya hilang sampai Fero menepuk puncak kepalanya karena gemas, bahkan Fero sampai membungkuk untuk menatap Lusi.
"Kenapa, sih?" Fero mengulum senyum, memandang Lusi dengan tatapan yang masih sama, gemas.
Lusi terperangah, "Nggakpapa," suaranya terdengar buru-buru seolah sedang diburu banyak pertanyaan.
Fero semakin gemas melihat ekspresi Lusi, ia malah semakin senang menggodanya, Fero menoel pipinya, atau sekedar mengacak poni Lusi.
Beberapa saat kemudian.
"Bosen, ya?" Fero mendengus halus. Ia menyandarkan dagunya di puncak kepala Lusi, menganggapnya seperti meja untuk tempatnya melamun, tangannya melingkar di leher Lusi seperti memeluknya dari belakang. Ya, Fero sedang berdiri di belakang Lusi. Badannya yang menjulang terlihat melengkung sebab mengimbangi tinggi badan Lusi. Tapi sungguh ini adalah situasi yang akan membuat Lusi bisa pingsan kapan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Choose You![COMPLETED]
Teen FictionSemuanya berawal dari sikap menyebalkan seorang Zen. Bagi Lusi, dia tak lebih dari seorang cowok yang sangat menyebalkan. Lusi memang tak mengenalnya, tapi Lusi tetap merasa terganggu dengan keberadaannya. Tapi setelah tahu sesuatu dari lelaki itu...