Lari

82 29 14
                                    

Tap! Tap! Tap! Tap!
Seseorang itu mendekatinya, ia hanya bisa menatap seseorang itu dengan mulut terkunci.

"Hai, lama nggak ketemu," sapa seseorang itu setelah berhenti di depan Lusi. Suaranya lembut, ia tetap tersenyum, sangat manis, tapi menyebalkan.

Lusi hanya menatap seseorang itu dengan wajah tanpa ekspresi, memandangnya tanpa berkedip.

Seseorang itu semakin melebarkan senyumnya, membuatnya semakin terlihat menawan.

Gimana bisa setelah lama pergi, sekarang dia datang lagi? Seakan nggak pernah terjadi apapun. Berani banget dia datang dengan senyum kayak gitu, menjijikkan, batin Lusi. Batinnya terasa pedih, luka lamanya seakan robek kembali, mencuat sampai membuatnya ingin melampiaskan kekesalannya kepada laki-laki itu sekarang juga. Ingin sekali ia menamparnya, memukuli, mencabik, atau melakukan apapun untuk membuat laki-laki itu tersadar sampai tak bisa memamerkan senyuman itu lagi namun, ia tak bisa. Ia tidak bisa melakukannya sebab baginya Lusi tak lagi mengenal laki-laki itu, dia tidak lagi membelenggu hatinya seperti dulu.

"Kamu makin imut, dan cantiknya nambah. Aku suka," seseorang itu mengelus pipi Lusi membuat Lusi refleks menepisnya. Ia mundur satu langkah, Lusi tidak ingin lebih dekat lagi dengannya.

"Kamu nggak kangen aku?" ia terkekeh membuat Lusi semakin muak, tapi Lusi tidak pernah mengalihkan pandangan darinya. Ia melihat banyak perubahan dari lelaki itu, dulu wajahnya terlihat urakan layaknya anak nakal, sekarang berubah menjadi lebih bersinar, lebih dewasa, sorotan matanya terlihat lebih lembut dari terakhir ia bertemu dengannya. Dia adalah Zen, ia telah kembali namun, sungguh Lusi tidak pernah menginginkan ini. Melihatnya lagi seperti ini malah semakin membuatnya merasa sakit hati.

"Aku kangen kamu," Zen memegang jemari Lusi, tapi sekali lagi Lusi menepisnya seakan tak sudi disentuh olehnya.

"Pergi!" nada suaranya terdengar pelan namun, penuh penekanan.

"Hei, aku kembali. Masa kamu nggak mau peluk aku?" Zen menarik Lusi menghilangkan jarak diantara mereka, ia memeluk Lusi begitu erat. Bagi Lusi rasanya seperti dejavu, sama seperti dulu ketika Zen memeluknya untuk yang terakhir kali, hangat dan menenangkan. "I swear, I miss you."

Lusi sampai merinding mendengar suaranya, seakan dirinya kembali ditarik ke masa lalu di saat mereka masih bersama. Tapi ini sudah terlambat untuk Zen, Lusi merasa sakit, terlalu sakit untuk mengingatnya apalagi merasakannya. Hampir saja air matanya jatuh karena Zen memeluknya. Ia rindu, tapi benci, kecewa, dan bahagia di saat bersamaan namun, Lusi berusaha menepis segala pikirannya, yang dipikirkannya hanya satu yaitu menjauhi Zen, itu saja.

Lusi meronta sekuat tenaga sampai terlepas dari tangan kokoh Zen, "Menjijikkan!" Lusi mundur perlahan sambil menatapnya pedih kemudian berbalik, Lusi berlari menjauh.

Meski mendengar Zen memanggilnya tak sedikit pun Lusi menghentikan larinya, padahal ia kesulitan sebab memakai high heels.

Sampai di sebuah kursi di depan sebuah toko kecil, Lusi berhenti. Ia melepaskan high heels-nya.

Melemparnya ke depan, "Gue benci high heels!" Lusi meringis merasakan perih di mata kakinya. Ia merasa menyesal berlari menggunakan sepatu itu.

Entah dari mana datangnya, tetapi Zen sudah berdiri di depan Lusi, memungut sepatu berwarna putih itu, lalu mendekati Lusi, "Kalau benci kenapa dipakai?"

Lusi membuang muka saat bertatapan dengannya.

Damn! Cepet banget, apa karena lari gue lemot? Lusi membatin kesal.

Zen berdiri di depan Lusi menampilkan senyum itu lagi, memandangnya lekat lalu perlahan berjongkok di depan Lusi. Tangannya meletakkan sepatu itu di samping kaki gadis itu, "Aku minta maaf, aku menyesal," Zen berucap tulus.

I Choose You![COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang