22. Hospital

286K 13K 66
                                    


Kini Nasya sedang menunggu Rafka sadar, ia masih terus mengeluarkan air mata. Nasya ingin menghubungi keluarga Rafka, namun ia sendiri tak membawa ponselnya. Walaupun Rafka membawa ponsel itupun mati, mungkin lowbat.

Dalam hati Nasya, ia tak habis pikir kalau Nathan bisa melakukan ini semua sama sahabatnya sendiri. Walaupun Nasya tau Nathan kalau sudah marah seperti orang kesetanan. Tapi tak seharusnya jadi separah ini, bahkan ia hampir saja merenggut nyawa Rafka karena pukulannya.

Nasya terisak sambil terus menggenggam tangan Rafka. "Sayang bangun." Lirihnya.

Nasya mencium tangan kekasihnya berulang ulang.

"Happy Anniv seven month sayang. Aku mencintaimu."

Nasya menghirup udara sebentar lalu menghembuskannya.

"Kamu pernah bilang kan kalau kamu ngga suka lihat aku nangis. Please bangun Raf, hapus air mataku. Aku menunggu itu dari tadi. Tolong bangun."

Nasya menggerakkan tangan Rafka mengusap wajahnya. Kemudian Nasya semakin terisak, rasanya sangat sakit.

"Maafin aku sayang, tolong jangan hukum aku seperti ini. Bangunlah, aku menunggu penjelasan mu. Aku akan mendengarkan itu. Please Rafka."

Tiba tiba saja mata Rafka terbuka perlahan.

"Na-sya." Panggilnya lirih.

Nasya kaget lalu mencari sumber suara itu, ia tersenyum dalam tangisnya ketika melihat Rafka memanggilnya.

"Rafka kamu udah bangun." Nasya mengusap air matanya.

"Bentar ya aku panggil dokter dulu." Ucapnya lalu berlari pergi.

Tak butuh waktu lama Nasya datang dengan seorang dokter disampingnya. Kemudian dokter itu mulai memeriksa Rafka.

"Gimana dok." Tanya Nasya tak sabar.

"Keadaannya mulai membaik, tapi masih perlu istirahat dulu. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, tinggal menunggu tenaganya pulih." Jelas dokter itu.

Nasya mengangguk mengerti. "Makasih dok."

Dokter itu mengangguk lalu pamit keluar.

Nasya kembali duduk dikursi dekat brankar. "Maaf."

Rafka menggelengkan kepalanya lemah. "Makasih udah mau nolongin aku."

"Atas nama Bang Nathan aku minta maaf Raf, aku ngga tau kalau sampai kejadian seperti ini."

Rafka mengusap pipi Nasya. "Gak masalah, asal aku dapat maaf dari kamu."

Nasya tersenyum lalu menggenggam tangan Rafka yang diwajahnya. "Aku udah maafin kamu. Aku percaya sama kamu."

Rafka ingin tersenyum, namun....

"Akkhhh." Ia merasakan sakit menjalar dipipinya.

"Rafka, kamu kenapa? Ada yang sakit? Aku panggil dokter ya."

Nasya hendak melangkah, namun Rafka segera mencekal tangannya.

"Aku ngga papa kok."

"Sayang." Panggil Rafka lembut.

"Hmmmm."

Segitunya ya nangisin aku, sampai mata kamu bengkak gitu." Goda Rafka.

"Rafka apaan sih." Nasya memukul lengan Rafka sampai ia mengaduh kesakitan.

Nasya baru ingat keluarga Rafka harus tau, ia segera menanyakan.

"Rafka, keluarga kamu?"

Rafka menggeleng. "Mereka di Aussie."

"Nata?"

"Dia ikut. Jangan beri tau mereka."

Nasya manggut manggut. "Oh ya, Rafka mau makan apa?"

Ia bertanya, namun ia sendiri bingung mau membelinya pakai apa. Ia tak membawa uang sedikitpun.

Rafka yang tau kegelisahan Nasya hanya tersenyum tipis. "Sayang, dompet aku mana?"

Nasya membuka laci nakas. Ia menyerahkan dompet itu kepada pemiliknya.

Rafka mengambil dua lembar uang seratus ribu. Lalu menyerahkan pada Nasya.
Nasya yang tak mengerti hanya mengernyitkan dahinya.

"Buat beli makan."

"Tapi-"

"Aku tau kamu gak bawa uang."

Pipi Nasya memerah, ia sangat malu sekarang. Ia menerima uang Rafka.

"Rafka mau makan apa?"

"Samain aja."

"Ya udah, aku beli makan dulu ya."

Rafka mengangguk. "Hati hati, udah malam."



****




Dirumahnya, Nathan merasa khawatir dengan keadaan Nasya. Ia tak bisa menghubunginya kerana ternyata ponsel Nasya ditinggal dikamarnya.

"Udah Yang, Nasya pasti baik baik aja kok." Ucap Bella menenangkan.

Yap, tadi Nathan menelfon Bella untuk menemani sekaligus mendengar curahan hati Nathan.

"Aku ngga bisa Bel, gimana kalau terjadi sesuatu sama mereka. Bunda pasti marah besar sama aku." Nathan mengacak rambutnya frustasi.

Bella mendekap Nathan, memberikan ketenangan untuknya. "Percaya sama aku, Nasya itu kuat. Dia pasti baik baik aja."

Nathan melepaskan pelukannya, ia enggan menatap Bella. "Tapi Bella, aku ngga seharusnya kaya gini. Aku kalap, aku-aku lepas kendali. Bagaimana kalau sesuatu terjadi pada Rafka, bagaimana kalau dia- arrkkhhhh. Itu gak boleh terjadi."

Nathan bangkit dan menyambar kunci motornya diatas nakas. Tanpa berpamitan kepada Bella ia langsung pergi begitu saja.

"Nathan. Kamu mau kemana." Bella mengikuti Nathan dengan langkah besarnya karena ia sudah ketinggalan jauh. Namun Nathan tak menghiraukannya.

Kalau pun Bella mengikuti Nathan bisa dipastikan ia sudah tertinggal jauh. Akhirnya Bella kembali masuk kedalam rumah Nathan, ia akan menunggunya disana.




*****




Dalam hati Nathan ia yakin kalau Nasya tak mungkin membawa Rafka ke rumah sakit yang jauh dari rumahnya, mengingat keadaan Rafka yang sudah sangat lemah.

Nathan menyusuri jalan dengan ugal ugalan, ia tak memperdulikan umpatan dari orang orang. Pikirannya sangat kacau. Penyesalan itu terus menghantuinya, ia sudah mencelakai sahabat sendiri.

Nathan sudah sampai dirumah sakit yang dekat dengan rumahnya. Ia segera masuk dan bertanya kepada resepsionis disana. Dan beruntunglah Rafka dirawat disana.

Nathan berjalan dengan langkah besar mencari kamar yang ditunjuk resepsionis tadi. Dan ya, Nathan menemukannya. Saat akan membuka pintu tiba tiba ada yang menepuk bahunya.

Nathan menoleh dan ternyata......

TBC❤

Next?

Ketua OSIS in Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang