Halaman Tiga Puluh Lima.

1.3K 389 30
                                    

17 Juli 2015,
Musim Panas.

Hari ini Jihoon datang dengan rangkaian bunga akasia kuning, bunga kesukaan ibuku. Ia memintaku menemaninya mengunjungi ibuku. Aku menyanggupi itu.

Langkahku terasa semakin berat, setapak menyusul setapak lagi. Suara detik arloji yang berganti-ganti mengisi kekosongan langkah Jihoon yang berjarak pendek di depanku, dan langkahku yang pelanㅡberbanding terbalik dengan dentum jantungku yang tak beraturan.

Aku bisa merasakan bahwa saat itu, aku benar-benar ketakutan dan gugup. Hingga saat ini, bahkan detik di mana aku menuliskan catatan ini, aku masih bisa membayangkan perasaan itu.

Tangan dingin Jihoon terulur kebelakang, langkahnya berhenti sebentar ketika pintu kamar ibuku tinggal beberapa langkah lagi.

"Aku akan menyapanya sebentar."

Aku melihat ibuku dan Jihoon yang duduk berhadapan dari celah kaca pintu. Ibuku yang menatap Jihoon kosong dan memeluk akasia kuningnya, juga Jihoon yang bertekuk lutut sembari berbicaraㅡaku tidak bisa mendengar keduanya.

Tak lama setelahnya, Jihoon beranjak dan memeluk ibuku, ia memanggilku masuk dengan tatapan kosong.

Hampir tak ada harapan.

Ketika ruangan beraroma obat-obatan itu menyapaku lagi, aku membatu. Tatapan tajam ibuku memaksaku untuk berhenti pada tempatku.

"Woojin ... pergi."

"Pergi ...."

"PERGI."

Aku tahu bahwa ibuku akan mengucapkan itu, aku selalu tahu bahwa kata pertama dan terakhir tiap kali ibuku melihatku adalah; pergi. Merasakannya berkali-kali tidak membuatku terbiasa.

Aku tahu, tetapi rasanya masih sakit sekali.

35; ia sama sepertiku.

Jurnal Woojin; Tentang Jihoon✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang