Halaman Tiga Puluh Delapan.

1.2K 353 28
                                    

29 Juli 2015,
Masih di Hari Hujan; Busan.

Aku turut membawa serta sepotong kertas yang tempo hari diberikan Jihoon sepulangku mengunjungi makam adiknya. Saat itu kuketahui bahwa namanya Park Jimin. Nama yang bagus untuk seorang anak laki-laki kecil. Bukan, Jihoon tak memberi tahu; kuketahui namanya dari guci di balik kaca, tertulis di sana, rapi sekali.

Kertas itu berisi beberapa bait puisi, tadinya turut tertata di balik kaca, tepat di belakang bingkai foto yang kuceritakan beberapa hari lalu. Tulisannya tak begitu bagus, kertasnya lusuh dan nyaris sobek.

Katanya, itu milik Jihoon. Ia menuliskan catatan itu untuk saudaranya sebagai hadiah di hari ulang tahun Jimin yang ke-empat belas. Tak banyak, tetapi cukup bagus. Aku tak lagi terkejut, Jihoon bisa segalanya.

"Aku memejam sepasang titik hitam
Semestaku mengilang dalam satu dentuman
Aku menghitung satu hingga enam
Parau suaranya mengalun lamat pelan
Duniaku serentak kelam

Aku kehilangan aku
Aku kehilangan diriku
Aku kehilangan ibuku
Ayahku turut tak mengenaliku
Aku kehilangan kau, adik juga kakak yang hanya satu

Kupanjatkan syukur pada hidup yang hancur bersamaan
Dosa besarku tak termaafkan
Terima kasihku hendaknya tersampaikan

Selamat bertambah usia
Kita berdua masih belia
kumohon jangan pernah kembali
Aku bahagia dan nyaris mati."

ㅡ Park, J.

38; ia adalah si penyendiri yang kesepian.

Jurnal Woojin; Tentang Jihoon✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang