Pada tiap kisah-kisah pilu yang membiru, kedua anak manusia itu terkungkung dalam lilitan benang-benang cendala. Masing-masing dari mereka terluka, nestapa, bersalah, dan tak pernah menemukan bahagia.
Mereka terkurung dalam peti-peti yang dibuat kedua orang tua dan kawan-kawan lama, bermetamorfosa menjadi sosok lain yang diri mereka sendiri tak bisa kenali, bersembunyi dalam dinding-dinding bertameng luka sengsara, berlari dari apa yang seharusnya mereka hadapi, melupakan apa yang seharusnya tak terlupakan, kehilangan jati diri, lalu kehilangan diri mereka sendiri.
Begitu seterusnya, sampai keduanya menemukan ruang sendiri, berbagi, menangisi perpisahan mereka, menunaikan janji yang belum sempat usai, dan kisah-kisah usang dari dua di antaranya.
Pada akhirnya, satu yang tersisa hanyalah salam perpisahan dan kehilangan yang menyakitkan mereka.
***
25 November 2002;
Musim dingin, Busan.Kedua bocah kecil itu berlari-lari di halaman rumah, menapak rumput-rumput basah yang dingin bertelanjang kaki, ada tumpukan salju yang menusuk, ditemani aroma hangat kue-kue pie dan cokelat panas buatan sang ibu di balik dinding-dinding rumah yang hangatnya menyamai senyum miliknya. Pagi yang dingin itu beraroma embun yang suhunya menembus kulit tipis di balik lapisan kain-kain tebal, terasa sedikit lebih hangat sekalipun titik-titik salju mulai jatuh satu persatu di atas bahu kecil mereka yang berguncang.
Tak apa, bukan anak laki-laki namanya jika tidak berani berjalan di tengah salju tanpa sepatu hangat pelindung tungkai-tungkai mungil kemerahan itu. Keduanya antusias hendak menjemput sang ayah yang baru saja pulang sehabis menyelesaikan beberapa pekerjaan di luar kota. Tentu saja untuk sekadar bertegur sapa, menyambut kepulangan rumah mereka yang kembali ke rumah.
Keduanya jarang sekali melihat sang ayah. Tentu saja sebab seorang tentara seringkali tak pulang karena perintah. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, mereka berlari seadanya ke dalam pelukan tubuh laki-laki tinggi berseragam loreng yang mereka sangat rindukan itu, melepaskan rindu, juga sekadar bertanya kabar, bertukar keadaan, berbagi cerita-cerita tentang rasa rindu yang membuncah, tentang kartun-kartun yang mereka gemari dan tentang buah tangan yang mereka tunggu.
"Ayah, Jimin rindu ayah, rindu sekali." Satu dari keduanya berujar pelan, tepat di dekat daun telinga, hampur setengah berbisik.
"Ayah, Jihoon juga! Jihoon juga rindu ayah. Rindu, rindu sekali. Sekali, sekali, sekali. Jihoon tidak bisa tidur, rindu Jihoon sebesar ini!"
Bocah mungil itu merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, menggambarkan seberapa besar ia merindukan sang ayah. Senyum di antara garis wajah yang menua itu terpatri, memeluk keduanya dalam dekapan, mengacak puncak kepala dengan aroma buah yang manis, juga mengecup pipi dan bibir kedua bocah ciliknya bergantian, yang dari sana beraroma lebih manis lagi.
"Ayah juga rindu pada Jihoon dan Jimin. Nanti siang, kita pergi ke taman hiburan bersama ibu. Jadi, kalian harus bersiap sekarang. Ayah juga punya hadiah untuk Jihoon, untuk Jimin akan ayah berikan nanti."
Jiminㅡsatu di antara kedua bocah itu menarik guratan kesal pada wajahnya. Kesal karena lagi-lagi hanya Jihoon yang mendapatkan hadiah. Kesal karena ia tak mendapatkan apa-apa. Kesal karena sang ayah selalu memberi hadiah untuk adiknya.
Jimin mendecak, melepas genggaman tangan ayahnya dan berlalu meninggalkan euforia yang sempat terjadi sepersekian menit lalu.
"Nanti, ayah akan berikan hadiah untuk Jimin nanti."
Sang ayah mengeluarkan gelang perak bertuliskan nama Jihoon dari saku bajunya, mengaitkan kaitannya pada tangan mungil Jihoon yang manis, lantas mengusap puncak kepala anak bungsunya sekali lagi, kemudian memeluknya erat seolah Jihoon adalah hartanya yang paling berharga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Woojin; Tentang Jihoon✔
FanfictionJurnal Woojin [Catatan Tertinggal Tentang Jihoon] Woojin tak ingin banyak bercerita. Ada ribuan hal yang ia rahasiakan. Nyaris sama banyaknya dengan rahasia yang bersembunyi dari cerita tentang temannya. 18 Maret 2018, Kajins. (NO BXB)