29 Mei 2016,
Musim Semi; Seoul.Tertulis untuk temanku, Park Jimin.
Jimin, sudah cukup lama, ya? Aku masih belum bisa percaya kau tak lagi ada di sini. Aku masih sering melihat bangku-bangku kosong di kelas kita dulu dan berharap kau datang terlambat dari balik pintu.
Aku seringkali memerlambat langkahku menuju rumah sakit tempatmu dirawat terakhir kali hanya agar aku bisa melihat kaca-kaca jendela, berharap kau ada di sana dan aku bisa melihatmu dari jauh.
Aku masih cukup terbiasa datang ke rumahmu untuk sekadar membawa catatan Matematika yang tidak kumengerti.
Terkadang, tanpa kusadari, aku mulai menyukai lagu-lagu yang dulu kau sukai. Lagu-lagu bermusik sendu yang selalu kau dengarkan.
Aku mulai menari kembali, dengan harapan kau bisa menari bersamaku, menemaniku di sini dan tersenyum kembali. Bersamaku, bersama kita.
Kau tahu? Kau selalu terlihat bersinar ketika menari. Aku selalu mengagumimu akan hal itu. Sampai hari ini, kau masihlah penari terbaik yang pernah kutemui.
Jimin, maafkan aku karena terlambat mengenalimu, maaf karena tidak memberimu kesempatan memerkenalkan diri. Maaf karena telah membuang banyak waktu.
Maaf. Aku menyesali diriku karena tak mengenalimu lebih awal. Aku bukan teman yang baik, aku bahkan tidak menepati janjiku tempo hari, janji untuk tidak menangis di hari kematianmu.
Kau tentu tahu kalau aku sempat mengurung diri berhari-hari, menyelesaikan buku-buku yang belum sempat kau selesaikan. Aku masih menyambangi ibumu dan mengambil beberapa buket bunga akasia yang kau titipkan padanya.
Jimin, aku baik-baik saja sekarang.
Tak banyak yang ingin kusampaikan melalui catatan ini, aku tahu bahwa kau tak akan pernah membacanya. Aku menulis ini sebagai upaya bedamai. Berdamai denganmu dan berdamai dengan diriku yang penuh ketidaktahuan.
Aku sedikit menyesali diriku. Karena tak cukup banyak berterima kasih padamu, karena tak bisa menyembuhkan lukamuㅡsementara aku, sepenuhnya sembuh dari rasa sakitku. Karenamu, karena kebaikanmu.
Jimin, aku belum banyak memanggilmu dengan nama itu. Sampai detik ini aku masih belum bisa membiasakan diri. Aku mencari artinya, 'sebijak langit yang tinggi'. Indah sekali. Sekarang aku tahu kenapa kau sangat menyukai langit.
Jimin, aku belum sepenuhnya memaafkanmu. Seharusnya namamu bisa kupanggil sebanyak-banyaknya. Seharusnya, aku tak melewatkan banyak kesempatan memanggil namamu selama kau berada di sini. Seharusnya aku tak perlu merasa bersalah di hari-hari selepas kau berpulang.
Jimin,
Ketika kau pergi, sebagian dari diriku menyadari bahwa aku tak lagi memiliki temanku, aku kehilangan separuh duniaku yang berporos padamu.
Kau pasti geli mendengarnya. Tapi sungguh, jika seandainya kita bertemu lagi untuk kali ketiga, aku akan memberitahu banyak hal padamu. Aku akan memulas senyum terbaikku dan menjadi teman yang baik untukmu.
Jimin,
Aku ingin berterima kasih sekali lagi.
Terima kasih karena telah berada dalam titik krusial, hari tersial, juga saat-saat parsial dalam lingkaran pendewasaan kita. Terima kasih karena pernah ada, selalu ada, dan tak pernah tiada dalam saat-saat paling kubutuhkan.
Terima kasih karena telah mengembalikan senyum ibuku, terima kasih karena telah membuat semestaku berputar kembali. Terima kasih karena pernah ada dalam hari terburukku. Terima kasih karena bersedia mengerti aku.
Terima kasih, terima kasih banyak karena telah menjadi temanku.
Aku tak akan melupakan kita. Aku akan mengenangmu dalam catatan kosong yang tersisa.
Aku akan melepaskanmu, sungguh. Aku tak ingin menahan bayang-bayang persahabatan kita dalam sisa pijakan kosong yang seharusnya sedikit demi sedikit terisi mulai dari sekarang.
Berbahagialah, sampaikan salamku pada Jihoon adikmu. Ucapkan terima kasih padanya karena telah menjadi kawan terbaikku. Sampaikan padanya jika aku selalu merasa lebih baik ketika mendengar namanya.
Untuk kalian berdua, selamat bertambah usia. Kudoakan semua yang terbaik di dunia. Sebagai hadiah, aku menuliskan catatan di lembar kelima puluh satu ini tanpa menangis.
Aku tak menangis, sebab aku ingin menepati janji terakhirku, untuk tak lagi terluka, dan tak lagi ada air mata di hari selepas kematianmu.
Selamat tinggal, sampai jumpa di lain waktu. Aku rindu.
Ditulis oleh Park Woojin; temanmu.[]
ㅡ
Dengan chapter ini, Jurnal Woojin kajins nyatakan selesai. Untuk kalian yang sudah membaca cerita ini, kajins ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Terima kasih karena sudah mendukung karya-karya kajins:")
Oh iya, untuk yang udah ninggal vomment juga makasih banyak ya. Makasih untuk super apresiasi kalian, kajins terharu cerita ini banyak yang suka:")
Eh iya, untuk chapter terakhir ini, kalian boleh gak, ninggalin pesan dan kesan kalian untuk cerita Jurnal Woojin? Gapapa, buat yang malu-malu nampakin diri di komentar, di chapter ini aja, kasih kajins kesan dan pesan kalian, biar kajins tahu apa yang harus kajins benahi.
Puple you.💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Woojin; Tentang Jihoon✔
FanficJurnal Woojin [Catatan Tertinggal Tentang Jihoon] Woojin tak ingin banyak bercerita. Ada ribuan hal yang ia rahasiakan. Nyaris sama banyaknya dengan rahasia yang bersembunyi dari cerita tentang temannya. 18 Maret 2018, Kajins. (NO BXB)