[32]

2.7K 497 48
                                    

Lagi nyaman pake pov 3 ehe.

Kedua netranya meredup, memandang kosong ke arah cangkir yang masih mengeluarkan kepulan uap di atas meja. Bekas air mata yang mengering masih meninggalkan jejak di pipi, membuat wajahnya lengket dan beberapa helai rambut menempel di sana. Matanya sembap, lingkar mata hitam juga kian jelas mengingat jam tidur yang semakin tidak teratur.

Satu tepukan di bahu menyadarkannya kembali fokus, kedua matanya mengerjap pelan sembari tangannya meraih cangkir dan mendekatkannya ke bibir, menyesap isinya perlahan.

Cairan hangat melewati kerongkongannya yang terasa kering, manis dan pahit secara bersamaan. Lidahnya menjilat ujung bibirnya, hidungnya menghirup aroma cokelat panas itu dalam.

Keadaan pemuda di sebelahnya sama kacau dengan dirinya. Tak dapat dipungkiri, kehilangan orang terdekat saat sedang ada konflik dengannya adalah pukulan telak yang membuatmu merasakan stres, juga dirudung rasa bersalah.

Pasalnya, konflik itu seharusnya tak pernah ada. Bodoh, memang. Kalau saja keduanya lebih terbuka, pasti keadaannya tidak akan seperti ini.

"Kita harus cepat," ucap Seijuro yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya, sibuk menghubungi orang kepercayaan keluarga Akashi untuk mengurus semua keperluan yang dibutuhkan.

[name] mengangguk, ia mempercepat kegiatan makannya, menyendokkan pasta dalam jumlah banyak dan mengunyahnya singkat. Makanan itu terasa hambar, tak seenak biasanya. Setelah selesai, ia menyilangkan dua peralatan makan dalam posisi telungkup, tanda jika sudah selesai makan, dan langsung mengelap bibirnya dengan tisu.

Suasana di tempat makan itu lumayan lengang, mereka berdua memilih tempat ini karena berjarak cukup dekat dengan rumah sakit sembari menunggu proses pemulangan jenazah.

Gadis itu menangkup kedua pipi kakaknya yang tampak kacau. Menatap matanya dalam, lalu menyunggingkan sebuah kurva manis di bibir. "Kau boleh menangis jika merasa sedih," ucapnya pelan, ibu jarinya mengusap-usap kulit wajahnya yang lembut.

Sempat merasa tertegun, kemudian sang pemuda terkekeh renyah, "Tangisku sudah diwakili olehmu," katanya, jemari panjangnya mengusap bekas air mata yang mengering di pipi [name]. "Kurasa kau perlu mencuci muka, kau terlihat kacau."

"Katakan itu pada dirimu sendiri. Lagipula, siapa yang tidak kacau saat kehilangan orang yang disayangi?" Lirih gadis itu pelan, lalu segera beranjak menuju toilet untuk membasuh wajahnya yang lengket.

Dari tempatnya, pemuda itu memandang nanar punggung adiknya yang menghilang di balik tembok. "Ya, kau benar. Aku sedang kacau," ucapnya berbisik lirih, nyaris tak terdengar bersatu dengan heningnya malam.

•••

Acara televisi dipenuhi oleh berita hangat yang menjadi buah bibir saat ini. Tombol remot yang terus menerus ditekan itu selalu menampilkan siaran bertopik sama, tentang kematian kepala keluarga Akashi, keluarga terhormat yang memiliki pengaruh besar di Jepang.

Jadi, ini alasan gadis itu pergi?

Kageyama menghela napas gusar, merasa bersalah karena telah berspekulasi buruk padanya. Menganggap gadis itu hanya mempermainkan perasaan mereka sebagai seorang teman yang mengisi hari-hari dengan kehangatan, lalu pergi begitu saja tanpa kabar.

Tapi ia akhirnya mengerti, hal semacam itu memang tak bisa diceritakan ke sembarang orang. Mereka masih asing, tak terlalu mengenal satu sama lain, hanya mengetahui nama tanpa cerita masing-masing.

Ponsel yang diletakkan di atas nakas terus menerus bergetar, diambilnya benda pipih itu malas, melihat penyebab benda itu bergetar. Ada banyak notifikasi dari grup voli dan angkatan, membicarakan tentang gadis itu, yang ternyata adalah putri dari keluarga terhormat di Jepang.

HIDE AND SEEKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang