OTAK selalu enggan untuk mengucapkan maaf kepada orang lain yang telah kita sakiti. Ga deh, gengsi. Ya, begitu pikirnya. Atau terkdang menerima maaf dari seseorang saja masih dikelabuhi pikiran yang buruk. Ah, paling dia minta maaf ga tulus. Yaudah deh, aku maafin dia lewat ucapan juga. Biar impas. Pokoknya aku ga akan lupain apalagi maafin dia karena udah tega menyakiti aku! Merasa bahwa paling tinggi, mungkin karena letaknya di atas dan tertutup oleh balutan kulit serta terlindungi tulang tengkorak. Tapi berbeda dengan hati.
Hati sukar sekali untuk tidak mengoreksi pribadi. Tadi sepertinya saya salah bicara kepadanya, itu sebabnya dia lantas diam kalau saya tegur. Saya harus segera meminta maaf. Cepat sekali bereaksi jika ada yang salah dengan diri pribadi. Mudah menuntun dan memberi sinyal untuk melakukan hal yang seharusnya. Tapi... Sisi lain (otak) menuntun kita untuk teguh pada pendirian bahwa Kamu ga salah, dia aja yang- (menyebutkan alasan untuk mengelak).
Ya seperti itulah gambaran mengenai perbedaan yang terjadi. Tergantung kita mau menyikapi seperti apa, lebih banyak menggunakan logika atau perasaan? Segera tentukan. Koreksi dan gunjing diri terlebih dahulu, mari memilah dengan bijak, sebab bisa saja kamu terlalu condong ke salah satu dari Otak atau Hati.
Konyol memikirkan atau merasakan, keduanya sama-sama ingin dipilih untuk menentukan tindakan.
P. S: otak dan hati hanya sebuah gambaran, hati tidak menentukan kita bersikap, semua memang kendali pikiran. Pikiran kita terprogram di dalam otak. (lebih lanjut: searching jurnal tentang cara kerja otak manusia, tapi pilah yang valid ya)
17 Juni 2018.
KAMU SEDANG MEMBACA
INTERPRETASI
RandomBukan sebuah kisah, puisi, atau ungkapan manis yang membuat tenggelam dalam khayal sampai kelopak mata mu sulit untuk terpejam. Sekadar asumsi sampah- residu isi kepala yang rasanya mubazir jika dibiarkan larut bersama waktu. Slow update•••• hanya...