Disclaimer: seluruh tokoh milik agensi dan keluarga masing-masing. Tidak ada keuntungan finansial apa pun yang saya dapat dalam membuat fanfiksi ini. Dibuat hanya untuk bersenang-senang
Main pair: Mino/Irene
Selamat membaca...
.
—Lost in New York—
Chapter 22: Who's That Man?
.
Sejak menyatakan perasaanya, kini Mino sering sekali senyum-senyum tidak jelas.
Rasanya seperti ada kupu-kupu yang menggelitik di dalam perut. Tidak peduli akan tatapan para pengawal serta pembantu di rumah—dunia terasa milik berdua, yang lain cuma ngontrak. Mino senang memandangi wajah cantik kekasihnya. Ya, ya, namanya juga sedang dimabuk cinta. Tahi kucing pun terasa seperti cokelat. Untung saja Mino tidak melihat tahi kucing untuk beberapa hari ini (coba kalau dia lihat, bisa-bisa dimakan tahi itu).
"Joohyun, kamu cantik, tapi aku belum mencintaimu."
"Jadi selama ini kamu nggak cinta sama aku?! Terus gunanya kita pacaran itu apa?"
Mino melebarkan mata. Mati sudah, sepertinya dia salah ucap, "Aduh, baby bukannya begitu. Gombalan ini kan sedang terkenal di Indonesia."
"Sudah lewat, dasar kudet!"
Mino hanya mengembuskan napas. Pagi-pagi sudah kena semprot ibu negara. Irene sendiri sedang membereskan dapur sehabis memasak. Sudah cantik, pintar, baik, pandai memasak pula. Benar-benar calon istri idaman. Rasanya Mino ingin cepat-cepat membawa Irene ke pelaminan. Sebuah ide mulai muncul di otaknya. Dipeluknya Irene dari belakang, dikecupi tengkuk dalam—menghirup aroma tubuh sang kekasih yang begitu wangi. Rambutnya halus dan harum, tidak seperti rambut neneknya yang kasar dan bau bangkai.
Mati saja kamu Mino jika nenek tahu apa yang barusan kamu pikirkan di dalam hati.
"Sayang," dijilatinya daun telinga Irene dengan sensual. Irene merinding tiba-tiba, "M—mau apa kamu, hah?!"
"Memangnya tidak boleh bermesraan dengan kekasih sendiri?" Mino mengerucutkan bibir. Terlihat menggelikan menurut Irene—tampang garang macam preman pasar gitu mana cocok bersikap imut.
Irene mematikan keran air, lalu berbalik menatap Mino, "Ini di rumah. Dan—kita bukan suami-istri. Mana boleh bermesraan terlalu sering."
"Kalau begitu kita menikah besok."
Irene langsung mencubit pipi Mino gemas, "Kamu kira menikah itu semudah membalikkan tangan?"
Dapur terlihat sepi. Entah ke mana perginya para pelayan yang lain. Biasanya, Mino tidak betah tinggal di dalam mansion terlalu lama. Tapi—entah kenapa semenjak ada Irene di rumahnya, rasa-rasanya Mino tak ingin menginjakkan kaki pergi ke luar pagar. Mino perlahan kembali mendekatkan wajahnya pada Irene, "Mudah. Tinggal ucapkan janji suci di hadapan Tuhan, lalu berciuman satu sama lain."
"Maksudku—risiko setelah menikah. Kamu harus membiayai hidup istri dan anakmu kelak." ucap Irene.
Iya, menikah itu tidak mudah. Harus dipikir matang-matang. Mencari pekerjaan, membeli rumah, menyewa gedung (kalau perlu), membeli perabotan, menyiapkan peralatan untuk anak-anak di masa depan, biaya sekolah, biaya makan. Hah, susah sekali. Hanya enak ketika malam pertamanya saja. Irene tersenyum, "Kutunggu kamu melamarku di hadapan ayahku."
"Tunggu saja, sayang. Aku akan segera melamarmu."
Irene terkekeh geli mendengar ucapan Mino. Wajah mereka saling berdekatan. Mata mulai terpejam. Mino memiringkan kepala. Sedikit lagi dan—ah, akhirnya bibirnya menyentuh permukaan bibir Irene. Begitu kenyal dan amis. Eh, tunggu, kok amis?
"NENEK APA YANG NENEK LAKUKAN?!"
Mino terbelalak ketika membuka mata. Bukan bibir Irene yang dikecup, malah bibir ikan mati yang ia kecup. Sial betul, pantas saja amis rasanya. Nenek hanya tertawa ngakak sambil memegang perut, "Hahaha rasakan!"
Irene terkekeh geli di belakang, melihat pertengkaran kecil antara Mino dan neneknya sangatlah menarik. Mereka bergurau layaknya teman seumuran—tidak seperti cucu dan nenek. Irene berpikir; pasti asyik sekali bisa bercanda seperti itu. Oh iya, ayahnya Mino juga punya selera humor yang bagus. Pasti jika mereka bertiga berkumpul akan semakin seru.
Ah, ya. Tentang ayah Mino—Irene tidak tahu harus berbuat apa untuk menyatukan mereka berdua.
Suara rusuh terdengar di luar mansion. Seperti ada helikopter yang mendarat di depannya (mansion keluarga Song sangat luas). Semua menengok ke arah luar, "Siapa yang datang?" tanya Mino.
Nenek mengangkat kedua bahu, menandakan tidak tahu. Penasaran, semuanya kini berjalan ke luar mansion—terlihat sebuah helikopter terparkir di pekarangan rumah. Sosok pria bertubuh tinggi dan gagah terlihat turun dari sana—menggunakan pakaian serba hitam dan kacamata hitam. Wajahnya garang (macam Mino). Dia terlihat berjalan, menghampiri Mino.
"Lama tidak jumpa." lelaki itu tersenyum miring, dilepasnya kacamata hitam yang sedaritadi menutupi separuh wajah tampannya.
Mino melotot, lalu berhamburan memeluk pria di depannya, "Apa kabarmu?! Sial, kamu tidak pernah memberiku kabar!"
"Untuk apa aku memberi kabar padamu? Memang kamu istriku?!"
Irene hanya bisa diam melihat keakraban mereka. Nenek terlihat diam, sampai lelaki itu menghampiri mereka, "Halo, Nenek. Lama tidak jumpa."
Nenek awalnya terlihat diam. Matanya beberapa kali mengedip—berusaha mengingat sesuatu, "Ah—ASTAGA KAMU!"
Wanita tua itu beringsut untuk memeluk pria yang Irene tidak kenal. Sumpah, sejak tadi ia hanya diam membatu sambil melihat mereka berpelukan macam Teletubbies. Mungkin jika diibaratkan; pria itu adalah Tinky Winky; Mino adalah Dipsy; nenek adalah Lala; dan Irene adalah Poo. Kenapa Irene memilih dirinya sebagai Poo? Karena Irene memiliki tubuh paling mungil—Irene sendiri heran, keluarga Song memiliki tubuh tinggi bak tiang listrik semua. Irene berasa kurcaci.
Pria itu menatap Irene. Wajahnya tampan. Sumpah, kalau saja ia tidak ingat Mino adalah kekasihnya, mungkin saja Irene berniat berkenalan atau sekadar bertukar nomor handphone, hehe. Pria yang tidak dikenali siapa namanya mulai menghampiri Irene perlahan, menggenggam tangannya lembut, lalu mengecupnya perlahan, "Halo, nona."
Wajah Irene merona, Mino langsung bertindak.
"Dasar jenglot sialan! Beraninya menggoda kekasihku!"
"Haduh, mana kutahu dia kekasihmu. Lagi pula nona ini cantik, aku rasa matanya katarak karena memilihmu sebagai kekasih."
Irene terkikik geli mendengar penuturan pria di depannya. Sedangkan sang nenek sudah tertawa terbahak-bahak sembari menunjuk-nunjuk wajah Mino yang sudah terlihat kusut, "Haha—jangan memasang wajah begitu." ucap Irene pada Mino.
"Joohyun, kenalkan. Dia sahabatku. Namanya Koo Junhoe." Mino memperkenalkan pria tadi pada Irene.
"Hai, nona Joohyun. Namaku Koo Junhoe. Kamu bisa memanggilku sayang."
"Bicara apa kamu, hah?! jenglot!"
Irene terkekeh, lalu berucap, "Hai, tuan Junhoe. Aku Bae Joohyun, kekasih Mino."
Mereka semua masuk ke dalam mansion. Terlihat sangat ramai dan berisik. Tuan Song terlihat senang ketika Junhoe datang. Mino hanya diam; melihat dari kejauhan—seakan tidak berniat menghampiri mereka berdua (lebih tepatnya Tuan Song). Irene sekarang sangat sadar; Mino benar-benar jauh dari ayahnya.
Dalam hati kini ia bertekad, akan mempersatukan mereka berdua.
.
Bersambung
Tangerang, 15 Juli 2018 - 19:59 PM
a/n: nggak nyangka fanfik ini bakal sampai chapter 22. niat awalnya mau buat sampai chapter 12-13 gitu, eh kebablasan sampai 20 lebih haha. untuk besok yang mulai masuk sekolah, selamat menikmati indahnya mandi pagi! karena besok saya masih libur :v hahahaha /ditabok.
![](https://img.wattpad.com/cover/145760238-288-k254847.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost in New York [Minrene; Mino/Irene]
Fanfiction[ Adventure AU ] Liburan musim dingin di negeri Paman Sam yang--seharusnya menyenangkan, malah berbanding terbalik dengan apa yang ada dalam bayangan Bae Joohyun (biasa dipanggil Irene). Ketika sedang mengelilingi kota New York, Irene mendadak terp...