thirty one

249 15 1
                                    















Boi, lihatlah mereka yang katanya bahagia padahal tiap malam berduka. Lihatlah mereka yang katanya senang-senang padahal mereka hidup dalam bayang.
Miris, boi.

Kau sadar tidak? Bahwa aku, kau, mereka itu sama saja; kita sudah terpengaruhi oleh standar sosial—kita sudah termakan oleh dunia luar yang seolah-olah mengharuskan kita untuk terlihat glamor nan liar. Seolah-olah kita dituntut untuk memenuhi kepuasan mereka-mereka si pengikut kita di jejaring sosial.

Tidak jarang dari kita yang menemukan keharusan dan kehausan akan sebuah komentar dan pujian. Seakan-akan kau gelisah jika belum ada satu dari mereka yang kau terima. Untuk apa, boi? Untuk apa? Seakan-akan kau haus akan atensi lalu muncul "Like, komen IG, dong!" di ruang obrolanmu.

Tidak sedikit juga dari kita yang mendapat—atau memberi cemooh.
Atau, mungkin, memolesnya dengan pujian-pujian kecil. Dan anehnya, aku pun pernah begitu. Miris, boi.

Kau tahu, aku sering menemukan diri ini lemah dan patah. Karena apa? Karena aku selalu melihat potret-potret gadis seusiaku, lalu aku—dengan bodohnya—membandingkannya dengan diriku sendiri. Dan apa yang aku dapat? Aku mendapat gelisah dan ketakutan yang menghampiriku.

Aku merasa kurang. Aku kurang. Aku kurang. Aku kurang dan aku ingin lebih dari gadis itu! Aku merasa takut. Aku takut. Aku takut tersaingi!

Miris, boi. Aku pun tahu.
Bagaimana cara menghentikannya?
Aku pun masih mencari tahu.

— Luar Bumi










LUAR BUMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang