"Ayah, tapi Ay maunya masuk pesantren, gak mau di sekolah negeri." rengekku saat Ayah memberikan kertas berisi formulir pendaftaran SMP untukku.
Sedari SD aku memang sudah merencanakan untuk masuk pesantren. Kenapa? Karena pada saat itu aku sudah berhijrah dari masa-masa jalan sesatku.
Tapi kebutuhan ekonomi keluarga kami yang tidak mencukupi harus menghapus harapan itu dari hatiku."Tidak ada bedanya Ay, di Sekolah Negeri kamu juga akan diajarkan pelajaran agama Islam, di rumah juga masih bisa menghafal Al-Quran, kan?" Ucap Ibu yang baru saja datang dari arah dapur.
Aku menghela napas panjang tak ingin berkomentar dan membantah. Sejenak mataku melihat jam dinding yang bergantungan di tembok rumahku. Pukul 2, itu berarti kurang lebih empat jam lagi waktu berbuka puasa tiba.
Aku beranjak dari samping Ayah dan memutuskan untuk merebahkan diri di kamarku dan Kakakku Arafah. Oh iya, panggil saja Kakak perempuanku itu Ara.
Aku langsung menghentakkan badanku dengan kasar ke ranjangku.
"Pelan-pelan dikit napa." ucap Kak Ara yang sudah berbaring di ranjang. Namun aku menghiraukannya.
"Kenapa lagi sih sama mukamu itu? Habis dimarah Ayah?"
Aku diam.
Masih diam.
Sangat lama aku tak menjawab pertanyaannya. Dan akhirnya aku memutuskan untuk berbicara."Kak, kalau kita sekolahnya di Pesantren dengan sekolah di negeri itu bedanya apa?" Aku tak menjawab pertanyaan Kak Ara, karena bagiku itu tidak penting untuk kujawab.
"Kamu pengen sekolah di pesantren? Emang ada biaya buat kamu masuk kesana?"
Pertanyaan Kak Ara membuatku berpikir puluhan kali dengan kondisi ekonomi kami. Walaupun Ayahku seorang PNS namun itu tidak membuat gajinya berlipat-lipat juta. Apalagi dengan Ibuku, dia hanya seorang wiraswastawan yang menitipkan kue-kue di tiap kios.
Aku menghela napas sejenak, "Nanti Kak Ara, ya, yang nganterin Ay pendaftaran. Soalnya panas Kak, mana lagi puasa, kan capek kalau jalan dari rumah ke sekolah."
Kak Ara hanya mengangguk malas. Aku membalikkan tubuhku dan membelakanginya, kantukku tiba dan akhirnya aku tertidur.
•••
"Ay, Bangun Ay! Ay banguuunn.. AYRA!!" suara menggelegar Kak Ara membangunkanku dari tidur. Aku memasang raut wajah kesal kepadanya.
"Apa sih? Kalau bangunin tanpa teriak bisa gak?" Aku bangkit dari tidurku lantas memperbaiki rambutku yang acak-acakan karena kusut saat tidur.
"Gak bisa," balasnya sewot. "Udah jam 3, buruan masak sana!" titahnya lagi.
"Iih Kak Ara bangunin Ay cuma buat masak? Kan masih tiga jam lagi buka puasanya. Udah ah, mau lanjut tidur." Aku kembali merebahkan tubuhku namun urung saat Kak Ara memukulku dengan bantal.
"Aww.. Sakit Kak."
"Biarin. Suruh siapa tidur lagi? Udah buruan bangun, nanti Ibu marah kalau kamu gak masak."
Mendengar kata Ibu marah aku langsung bangkit dan bergegas mencuci muka dan mulutku.
Aku kembali ke dapur setelah mengeringkan wajahku dengan handuk.
"Hari ini masak apa Bu?" tanyaku saat melihat Ibu memotong daun bawang.
"Perkadel jagung."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Kecil Ayah [SUDAH TERBIT]
Non-Fiction[Cerita diangkat dari kisah nyata] Mereka bilang cinta pertama mereka adalah Ayah. Mereka bilang laki-laki yang tidak pernah menyakiti adalah seorang Ayah. Tapi kenapa tidak denganku? Kenapa justru Ayah adalah patah hati pertama dalam hidupku? Satu...