Mataku enggan terbuka, menatap takdir yang sangat sulit untuk kulihat. Jika terbuka, air mata kan menyapanya kembali. Begitu membosankan dan melelahkan jika terus menyekanya, namun apa ini? Tak henti-hentinya dia berkomunikasi denganku, memberitahu seolah hanya dia kekuatanku. Mulutkupun selalu mengatup, sulit berucap, entah kebenaran yang kukatakan atau isi pikiranku. Semuanya begitu kelu, kaku, dan tak berlidah. Organ-organku mati pada perkian detiknya. Hanya napas yang memburu, namun tak ada tanda vital nadi yang bergerak. Bahkan jantungpun rasanya berhenti pada aliran darah yang membeku. Masihkah aku hidup? Masih adakah aku di dunia ini? Atau mimpikah saat ini?.
Jika ini memang masih duniaku, aku menginginkan bumi memarahiku dan mengambilku untuk pergi dari tempat ini. Aku menginginkan matahari membakarku ditempat ini. Aku ingin awan menghilangkan sosokku ditempat ini. Namun itu semua hanyalah inginku, bukan takdirku! Sebilah pisau seperti kugenggam. Tidak! Ribuan pisau telah menancap pada diri ini. Tidak perlu memberitahu tentang sedih, tidak perlu mengingatkan tentang tangis. Cukup apa yang terjadi bisa memberi jawaban atas semuanya. katakanlah hancur pada hidupku, katakan kasihan meratap diriku, katakan, kumohon katakan semua itu padaku. Tidak ada sama sekali bantahan untuk itu, kebenaran dan nyata telah bersatu. Tidak ada yang membela kebohongan, aku menginginkannya. Kebohongan. Hanya itu yang ingin kudengar, tapi kenapa dia malah kalah dengan kebenaran. Katakan, katakan jika itu bohong, Ayah!!!•••
Sendi-sendiku patah dalam waktu sedetik, lutuku luruh di atas dinginnya lantai. Mataku menatap kosong ke arah Ibu yang menangis sangat keras dalam pelukan Kak Ara. Dalam waktu itu juga napasku terhenti, mencoba melihat dan mendengar apa yang baru saja terjadi. Kuharap ini mimpi, kumohon ini hanya mimpi. Batinku.
Aku mencoba membuka mulut namun sangat tak mampu, tubuhku bergetar namun tak ada tangis yang luruh. Sesakit inikah saat menangis dalam hati? Seluka inikah saat hanya mampu diam namun tangisan yang mencoba keluar tapi tak bisa.
Semua seakan buram di mataku, semua seperti ilusi yang tercipta.
"A..ayra, sini sayang." Ibu memanggilku, dia mengulurkan tangannya kepadaku dengan tangis yang belum kunjung reda.
Aku masih mematung di tempatku, menatap mata Ibu tanpa berkedip, mencoba bertanya apa yang telah terjadi? Namun rasanya benar-benar begitu sulit.
Aku menelan dalam-dalam rasa sakitku, mencoba melancarkan lidahku untuk berucap. Aku tidak boleh menangis, tidak!
"Ibu kenapa menangis?" Ucapku dengan suara getar sambil membalas uluran tangannya lalu memeluknya begitu erat.
Ibu tidak menjawabnya, dia hanya mencium pucuk kepalaku.
"Ibu kenapa pulangnya semalam lama banget? Ay kan jadi takut kalau ditinggalin Ibu lama-lama."
"Ibu, ada urusan sayang. Maaf ya?"
Aku mendongakkan wajah, menatap mata merah Ibu yang sudah lama menangis.
Aku tersenyum, mencoba menahan tangis yang kunjung lolos dari pelupuk mataku. Apakah begini rasanya sakit hati saat melihat Ibu menangis di hadapanku?
"Ay nggak marah kok. Ibu istirahatlah," rasanya aku ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi? Namun melihat kondisi Ibu, sepertinya tidak memungkinkan untuk bertanya kepadanya. Biarlah Kak Ara yang pergi dengan Ibu semalam akan menceritakan semuanya. Walaupun tadi aku sempat mendengarkan pembicaraan mereka, tapi aku benar-benar ingin mengetahuinya secara langsung.
"Kamu juga perlu istirahat, kata Kak Rizky semalam kamu juga ikut begadang nungguin Ibu pulang."
Aku hanya mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Kecil Ayah [SUDAH TERBIT]
Non-Fiction[Cerita diangkat dari kisah nyata] Mereka bilang cinta pertama mereka adalah Ayah. Mereka bilang laki-laki yang tidak pernah menyakiti adalah seorang Ayah. Tapi kenapa tidak denganku? Kenapa justru Ayah adalah patah hati pertama dalam hidupku? Satu...