(13)

1.7K 100 4
                                    

*1 bulan telah berlalu*

Pernahkah kalian berpikir jika ulang tahun tanpa kehadiran orang tua atau tanpa mereka yang pertama mengucapkan begitu amat sedih bagi kita? Hatiku menjawab ya, di saat ulang tahun, tidak ada kebahagiaan yang terpancar dari wajah manisku. Bangun pagi-pagi hanya ingin mendengarkan ucapan pertama dari Ayah. Namun alam sadar ku teringat jika kemarin Ayah tidak pulang ke rumah lagi. Alasannya selalu sama 'urusan kantor'. Aku menghela napas panjang dan bangkit dari tidurku, kakiku melangkah ke kamar Ibu. Kulihat dia masih shalat. Aku masuk dengan langkah pelan,

"Bu." ucapku saat Ibu selesai shalat.

"Kamu nggak sholat?" tanyanya sambil melepas mukena.

Aku menggeleng "datang bulan."

"Oh, terus kenapa kesini? Belum mandi?"

"Ayah kapan pulang?" tanyaku keberkian kalinya. Saat dua hari sebelum ulang tahunku, aku selalu bertanya kepada Ibu kapan Ayah pulang. Aku terlalu biasa dan mengistimewakan ucapan ulang tahun dari Ayah, tidak pernah sekalipun Ayah absen untuk mengucapkannya. Bahkan saking Ayah ingat, sehari sebelum ultahku saja dia sudah ucapkan. Aku begitu merindukannya.

"Ibu juga tidak tau. Kenapa? Apa ada sesuatu?" Ucap Ibu sambil membelai pelan pucuk kepalaku.

Aku menghela napas "apa Ibu tidak ingat ini hari apa?" tanyaku yang ingin menyadarkan Ibu jika hari ini adalah hari pertama kali aku melihat dunia.

Ibu nampak bingung namun detik selanjutnya dia berkata "hari jum'at, kenapa?"

Aku menghela napas gusar "nggak apa. Aku mau mandi." ucapku cuek lantas melangkah keluar kamar Ibu.

Namun urung saat Ibu mengatakan sesuatu, "Hari ini ulang tahunmu, hari dimana Ibu memperjuangkan nyawamu dengan tenaga, hari pertama engkau mendengar kalimat Allah dari bibir Ayahmu, hari dimana semua orang bahagia atas kelahiranmu. Selamat ulang tahun sayang."

Aku menatap mata Ibu yang sudah menitikkan air mata, segera saja kudekap tubuhnya yang terasa hangat.

"Kenapa Ibu menangis? Bukankah hari ini putrimu sedang ulang tahun, seharusnya kita bahagia. Bukan bersedih." ucapku sambil menyandarkan kepala di dada Ibu.

"Ibu tau apa yang kamu rasakan dan pikirkan. Kamu mengingat Ayah yang belum kunjung memberi kabar untukmu dan mengatakan ucapan selamat ulang tahun. Seharusnya Ibu yang berbicara seperti itu, hari ulang tahunmu harusnya bahagia bukan bersedih seperti ini." ucap Ibu lirih.

Aku mendongakkan wajah menatap Ibu, "Ibu jangan berpikir seperti itu. Aku tetap bahagia karena telah mendapatkan ucapan dari orang yang special dalam hidupku. Dari orang yang telah mempertaruhkan nyawanya untukku, orang yang rela membawaku dalam kandungan dengan jerit payahnya. terima kasih karena Ibu sudah mengingatnya. Mungkin Ayah belum mengatakannya karena masih sibuk, pasti dia akan pulang." ucapku berusaha tersenyum dihadapannya.

Naluri Ibu tidak pernah salah atas batin anaknya. Dia yang selalu mengerti arti mata ini ketika tidak mampu berbicara, dia yang selalu bisa menyimpulkan perasaan yang sulit untuk kuucapkan. Ibu, aku sangat menyayangimu, tapi berdosakah jika aku lebih menyayangi Ayah? Batinku berucap.

"Ay mau mandi dulu."

Ibu mengangguk.

•••

Di sekolah aku hampir saja terlambat, karena berlama-lama berbicara dengan Ibu. Aku berbaris paling belakang saat apel pagi telah dimulai, tadinya aku mau gabung di depan bersama Arinda dan temanku yang lainnya. Namun karena hari ini hampir terlambat, makannya aku berbaris paling belakang.

Gadis Kecil Ayah [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang