(34)

1.9K 98 0
                                    

Pertemuan sudah terjadi, antara rindu dan juga marah mendera dalam hatiku. Setelah beberapa bulan tak bertatap wajah cinta pertamaku, kini dia tepat di hadapanku.

Tapi yang kulakukan hanyalah diam mematung, menyesal atas pertemuan yang terjadi hari ini. Ayah tidak menyambutku, dia menatapku tapi tidak dengan senyuman, dan yang lebih kusesali adalah dia tidak menangis, apakah Ayah tidak merindukanku? Betapa sakitnya hatiku saat dia hanya menatapku saja. Satu bulan yang lalu Kak Ara pergi menemui Ayah karena beliau sedang sakit, Ibu membujuk agar Kak Ara mau pergi, mungkin dengan kedatangan anaknya Ayah bisa sembuh. Kak Ara menceritakan semuanya padaku, tentang pertemuannya dengan Ayah, tentang tangisan Ayah di pelukannya.

Begitu pilu yang kurasa ketika Ayah malah memelukku saat ini, dia tidak menangis, apakah Ayah hanya rindu Kak Ara saja? Apa Ayah tidak merindukanku?

Seandainya dulu ulangan harian tidak diadakan di kelas, mungkin aku akan ikut dengan Kak Ara. Tapi penyesalan teramat sakit ketika Ayah hanya memeluk dan menanyakan apa kabarku. Benarkah Ayah tidak rindu padaku? Aku sama sekali tidak bertemu dengannya selama tiga bulan, dan kenapa Ayah tidak menangis?

Aku menangis dalam pelukan Ayah. Menangis karena rindu pelukannya, menangis karena rindu suaranya, dan menangis pilu karena Ayah tidak ikut menangis.

Ayah mengelus puncak kepalaku yang tertutup jilbab, dia mengucapkan kata maaf. Bukan itu yang kuinginkan Yah, bukan kata maaf. Aku ingin Ayah menangis, menangis bersamaku. Melepas rindu dengan putri kecilmu.

"Ayra dengan siapa kemari?" tanya Ayah.

Dengan tangisan yang belum mereda dan masih sesegukkan aku menjawab, "Kak Ara.. Dia menunggu di mobil."

Ayah mengangguk, "Ayo masuk!" Ayah mempersilahkan aku masuk ke dalam rumah Omku, sepupu Ayah yang rumahnya ada di Palu.

Aku enggan masuk, takut jika tanpa sengaja bertemu dengan istri barunya. Ayah yang mengerti kegelisahanku berkata jika mereka berdua sudah berpisah.

Aku terkejut. Apa secepat itu? Tidak mungkin mereka berpisah ketika ada tanggung jawab yang harus Ayah penuhi.

Tidak ingin mempedulikannya aku masuk ke dalam rumah, duduk di ruang tamu dan menunggu Ayah mengganti pakaian.

Aku terisak lagi, bertanya dalam hati kenapa Ayah tidak menangis?

Tak lama terdengar suara Kak Ara yang khawatir menghampiriku.

"Kamu kenapa Ayra?" tanyanya.

Aku menggeleng sambil mengusap air mataku.

"Kakak mengerti perasaanmu yang terlanjur rindu sama Ayah. Tapi kita tidak bisa lama disini, Ibu sudah menunggu di mobil untuk pulang." Ya, Ibuku juga ikut. Namun yang Ayah tahu hanyalah aku dan Kak Ara yang menjenguknya. Dua minggu setelah pertemuan Kak Ara dan Ayah. Ibu memintaku untuk menemuinya juga, sedangkan Kak Rizky tetap tidak ingin menemui Ayah.

Akhirnya aku mempersiapkan diri, berulang kali kutanyakan dalam hati 'apa yang harus kulakukan ketika bertemu dengan Ayah nanti?'. Tapi nyatanya hanya tangis membisu yang terjawabkan, aku menangis sendirian, tidak ditemani oleh tangisan Ayah. Itu sebabnya aku diam, membisu dalam tangisan padahal ingin berbicara lewat air mata.

Ayah keluar dari kamar dan menemuiku dan Kak Ara di ruang tamu.

"Apa kalian berdua sudah makan?" tanya Ayah. Terlihat jelas kecanggungan antara anak dan orang tua yang selama ini dekat tapi harus ada jarak setelah masalah terjadi.

Kak Ara mengangguk. "Sudah Yah. Bagaimana kondisi Ayah?"

"Ayah baik-baik saja. Ayra?"

Aku terkejut ketika tiba-tiba Ayah memanggilku, "Iya?"

Gadis Kecil Ayah [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang