Hujan seakan mengerti keadaanku saat ini. Dia turun saat aku masih menceritakannya kepada Nadya, dan harus berakhir karena Nadya harus mengikuti pelajaran. Sedangkan aku? Berdiam diri didekat jendela kelasku sambil memandangi hujan.
Kelasku sedang tidak berlangsung pelajaran, karena gurunya sedang rapat. Akhirnya, aku memutuskan untuk menatap hujan, berkomunikasi dengannya kalau hari ini kehancuranku sudah lengkap. Tapi tenang, masih ada jiwa yang tetap kuat di diri ini. Hanya mengingat Ibu, aku harus membahagiakannya, aku tidak boleh hancur, aku tidak boleh begini!
Aku tersentak kaget ketika melihat perahu kertas berlalu di belakang kelasku. Berenang mengikuti arus air hujan, tapi kemudian dia berhenti, menepi di pinggir pohon jati.
Dulu ada seseorang yang mengatakan kepadaku, entahlah aku lupa siapa. Dia mengatakan jika kita menulis apa yang kita rasakan di perahu kertas dan membiarkannya berlalu di atas permukaan air. Maka hati kita merasa tenang, merasa suatu saat nanti ada yang menemukan perahu itu dan membaca isi surat kita. Setidaknya, ada orang yang perlu tahu cerita kita, dan tidak menganggap kalau kita baik-baik saja.
Ingin rasanya memberi tahu semua orang tanpa berbicara apa yang kita rasa. Tapi mustahil, kita hanya bisa diam dan tersenyum. Mengisyaratkan kalau kita bahagia, tapi nyatanya hancur!
Aku berniat untuk menulis isi hatiku di perahu kertas. Entah hanya murid disini yang membacanya, biarlah. Aku tidak mempedulikannya.
Allah, hari ini orang tuaku bercerai. Aku tahu jika engkau sudah mengetahuinya sebelum ini terjadi. Tapi izinkan aku menceritakan segalanya, karena engkaulah satu-satunya pengaduku.
Allah, hari ini masih sulit untuk kuterima, masih sulit untuk kupercaya, tapi kenapa semuanya terlihat begitu jelas di ingatanku. Pernyataan Kak Ara masih terngiang di telingaku, tangisku di bahu Nadya masih terasa di pelupuk mataku.
Allah, bisakah hari ini aku bertemu dengan orang tuaku? Ya, Ayah dan juga Ibu. Aku ingin menceritakan kepada mereka, kalau perpisahan mereka berhasil membuatku seperti ini. Tapi mustahil ya? Nyatanya Ayah tidak pernah pulang, dan tidak bisa untuk pulang. Kenapa Allah membiarkan Ayah disana? Di istana barunya sehingga meninggalkan istana lama disini?
Aku ingin bercerita kepada mereka berdua, bukan ingin menyalahkan, tapi ingin melepas semua yang dibenakku. Mengatakan jika selama ini aku hancur, tapi masih ada engkau yang membuatku kuat untuk melewati semuanya.Aku ingin Ayah mengecup keningku untuk terakhir kali dan memelukku, mengatakan minta maaf kepadaku jika Ayah hanya khilaf dan segera pulang rumah. Aku ingin Ayah pulang! Permintaan yang selalu terucap dalam hati ketika ingin meminta apapun dari pilihan yang ada.
Aku juga ingin Ibu mengelus kepalaku, mengecup pipiku dan mengatakan kalau Ibu dan Ayah baik-baik saja dan masih bisa bersama.
Aku ingin mereka datang dan melakukannya. Aku ingin takdir itu Allah.
Aku tahu jika itu mustahil. Tapi bisakah aku ingin kembali berkumpul seperti dulu lagi?
Aku melipat kertas itu sehingga membentuk perahu lalu menjatuhkannya lewat jendela kelas. Tapi, ketakutan karena akan ditemukan oleh murid di sekolahku hilang. Perahu kertas itu keluar dari pagar sekolah yang memiliki celah sehingga dia mengalir hingga pergi entah kemana.
Aku mengembuskan napas panjang lalu beralih menatap teman kelasku yang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.
Lalu menatap jam dinding lagi, yang sudah menunjukkan pukul sebelas lewat empat puluh lima.
"Hey, Ayra." aku terkejut mendengar teriakan yang baru saja memanggil namaku.
"Ada apa?" tanyaku pada Asna, yang menghampiriku sambil memakan cemilannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Kecil Ayah [SUDAH TERBIT]
No Ficción[Cerita diangkat dari kisah nyata] Mereka bilang cinta pertama mereka adalah Ayah. Mereka bilang laki-laki yang tidak pernah menyakiti adalah seorang Ayah. Tapi kenapa tidak denganku? Kenapa justru Ayah adalah patah hati pertama dalam hidupku? Satu...