Aku berjalan memasuki ruangan belajarku. Kunyalakan lampu yang terletak di samping meja belajarku.
Aku mengambil beberapa buku yang harus kupelajari untuk ulangan harian esok hari, salah satu buku itu adalah buku diary milikku.
Aku membuka lembaran buku catatan mata pelajaran Bahasa Indonesia dan membacanya selama 15 menit. Setelah belajar aku membuka tiap lembar buku diaryku. Tanpa sadar, ada sebuah foto yang jatuh dari lembaran buku itu. Aku menunduk dan mengambilnya di atas lantai.
Foto itu adalah foto wisuda Kak Ara, aku melihat senyuman yang terukir pada wajah keluargaku. Senyuman hangat, senyuman yang membuatku semangat, senyuman bahagia kami. Tapi, sekarang?
Fokuslah Ay, kau harus belajar. Bukan saatnya untuk menangis.
Jika ditanya kapan air mataku akan habis, mungkin jawabannya adalah tidak tahu. Karena luka itu teramat mendalam di relung hatiku.
"Ayra."
Aku menoleh ke arah Ibu yang memasuki ruangan belajarku.
"Kau masih belajar?"
"Tidak Bu. Ada apa?"
Ibu duduk disamping meja belajarku, dia menghela napas sejenak dan berkata, "Ibu mohon agar kamu tidak memberitahukan kepada siapapun masalah ini. Terutama kepada keluarga besar Ibu." ucapnya pelan.
"Ke..kenapa? Kenapa keluarga besar tidak perlu tahu soal masalah ini?"
Ibu menggeleng, "Ibu hanya ingin memberi kesempatan kepada Ayahmu. Mungkin hatinya akan terbuka untuk pulang ke rumah. Ibu hanya kasihan dengan Nenek Ida yang semakin hari semakin tua, Ibu tidak mau beliau akan mengetahui masalah ini. Terlebih lagi anaknya yang telah berbuat seperti itu."
"Alasan Ibu juga kuat karena Allah, Allah sudah menutup aib kita. Maka kita pun harus menutup aib itu, walaupun Ibu tahu cepat atau lambat semuanya akan terbongkar."
Aku beranjak dari posisi dudukku, dan menekuk lutut di bawah Ibu, aku memegangi kedua tangannya.
"Aku akan melakukannya jika itu yang Ibu mau. Ay juga nggak mau lihat Nenek Ida terpuruk atas masalah ini nanti. Entah selamanya dia tidak akan tahu atau kapanpun dia akan tahu. Ay akan minta kepada Allah untuk menyelesaikan masalah ini. Dan soal keluarga Ibu, Insyaa Allah Ay bakal tutup mulut untuk masalah ini."
Ibu mengelus pipi kananku, "Terimakasih Sayang."
Aku mengangguk dan menyandarkan kepalaku di atas lututnya.
Dapatkah aku sabar seperti Ibu?
"Pergilah istirahat, besok Ay mau ulangan kan?"
Aku mendongakkan kepala.
"Eh iya Bu,""Ya sudah Ay mau beresin meja belajar dulu."
Ibu mengangguk dan meninggalkan aku sendiri dalam ruangan ini.
Aku duduk kembali, berpikir sejenak kenapa Ibu mengambil keputusan seperti itu. Bukankah seharusnya aku senang atas keinginan Ibu? Itu adalah pertanda bahwa keluargaku bisa utuh kembali seperti semula. Tapi mengapa rasanya aku tidak sanggup menahan sakit yang diderita Ibu? Adilkah yang selama ini mereka perbuat dengan Ibuku?
Aku keluar dari ruang belajarku dan membaringkan tubuh di ranjang.
Kulirik jam di handphoneku dan segera memejamkan mata untuk tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Kecil Ayah [SUDAH TERBIT]
Non-Fiction[Cerita diangkat dari kisah nyata] Mereka bilang cinta pertama mereka adalah Ayah. Mereka bilang laki-laki yang tidak pernah menyakiti adalah seorang Ayah. Tapi kenapa tidak denganku? Kenapa justru Ayah adalah patah hati pertama dalam hidupku? Satu...