Bi Sumi sudah kembali. Kehadirannya di rumah ini disambut gembira oleh (Namakamu). Sekarang ia tidak akan merasa kesepian lagi. Di tinggal kerja Iqbaal sendirian di rumah dari pagi hingga sore cukup membuatnya suntuk meski ada ponsel dan televisi yang menemani setiap saat. Terkadang jika ada lembur, mau tidak mau (Namakamu) harus sendirian di rumah sampai Iqbaal pulang dan berbaring di sebelahnya. Kalau ada Bi Sumi, (Namakamu) jadi ada teman mengobrol di sela-sela kegiatan merapikan rumah dan seisinya. Bukan gadget yang sebenarnya tidak terlalu penting bagi (Namakamu) selain untuk alat komunikasi.
“Bibi,” Berjalan ke arah dapur, (Namakamu) menemukan Bi Sumi sedang memotong-motong sayuran. “itu...eh Bibi lagi masak apa?” Tanya (Namakamu) beralih pada sayuran yang sedang di potong oleh Bi Sumi.
“Mau masak capcay aja, Non. Sudah lama nggak bikin sayur. Enggak sehat kalo makan goreng-gorengan terus.” Katanya sambil terus memotong wortel dengan hati-hati.
“Dua jempol deh buat Bibi!” (Namakamu) mengangkat kedua jempolnya juga melempar senyuman lebar pada Bi Sumi. “Aku titip jemuran ya, Bi. Nanti kalo udah kering, tolong angkatin. Aku mau bersih-bersih kamar dulu soalnya. Takut ketiduran terus lupa nggak di angkat.” Pintanya dengan nada yang sopan.
“Iya, Non, siap. Nanti Bibi angkatin jemurannya.”
“Oke, makasih, Bi.” Baru saja badannya berbalik, (Namakamu) kembali lagi memutar tubuhnya untuk menanyakan satu hal yang kebetulan mampir di kepalanya. “Oh iya, Aninda apa kabar, Bi? Udah sehat ’kan?”
Bi Sumi meletakan pisau di atas meja bar. Di angkatnya talenan kayu lalu sedikit di miringkan untuk meletakan potongan-potongan wortel yang sudah di irisnya pada mangkok. “Alhamdulillah, udah sehat, Non. Habis ditengokin Non sama Aden, besoknya Aninda udah sembuh. Tapi Bibi belum berani masuk kerja takut demamnya naik lagi. Makannya Bibi teh baru bisa masuknya sekarang-sekarang.” Jelasnya.
Mendengar penuturan Bi Sumi membuat (Namakamu) bernapas lega seraya mengelus dadanya dan tersenyum. “Alhamdulillah. Ikut seneng aku, Bi, kalo Aninda udah sembuh. Pokoknya yang penting Aninda sehat aja dulu, Bi. Masalah mau masuk kerja kapan terserah Bibi. Aku ngertiin banget posisi Bi Sumi sebagai Ibu yang enggak tega ninggalin anaknya kalo lagi sakit.” Tanpa sadar (Namakamu) tersenyum kecil. Hatinya sedikit tercubit dengan kata-katanya sendiri.
“Iya, Non. Makasih udah baik banget sama Bibi. Pokoknya Bibi mah doain yang terbaik buat Non sama Aden. Baik pisan sama Bibi teh.” Katanya yang membuat (Namakamu) tersenyum lagi.
Percakapan dengan Bi Sumi tidak berlangsung lama karena (Namakamu) ingat harus membersihkan kamarnya yang berantakan oleh pakaian Iqbaal. Bagaimana tidak? Untuk pertama kalinya, (Namakamu) merasa kesal dengan suaminya itu. Hanya masalah kemeja saja bikin pusing tujuh keliling. Katanya mau ada rapat dengan pemilik saham baru dari Amerika, jadi suaminya itu menginginkan penampilan yang terbaik supaya tidak turun pamor. Di pagi itu juga, (Namakamu) baru tahu kalau Iqbaal adalah pria yang narsis. Membuatnya seketika mengerutkan hidung mengingat-ingat kejadian tadi pagi.
Alhasil, kemeja Iqbaal yang digantung rapi di dalam lemari harus berakhir tergeletak acak di atas kasur. (Namakamu) harus kerja dua kali kalau begini. Biasa hanya melipat selimut dan menyapu kamar, sekarang (Namakamu) harus merapikan isi lemari juga karena ulah Iqbaal yang mengeluarkan kemejanya satu persatu untuk dipilih yang paling bagus dan dipakai hari ini.
Satu persatu kemeja yang di dalamnya dipasang hanger (Namakamu) ambil untuk kemudian di gantung ke dalam lemari. (Namakamu) menekuk lengan kirinya. Menyelipkan kemeja-kemeja Iqbaal di lengannya hingga terkumpul semua dan barulah ia gantung kembali di dalam lemari. Iqbaal ini ada-ada saja. (Namakamu) masih dibuat heran sampai saat sekarang.
![](https://img.wattpad.com/cover/110937561-288-k39027.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Happiness
Fanfiction"Maybe I have so many flaws in my self, but can I hope I could have my own perfect happiness?" (Second Series of Happy Perfect Marriage Series)