"It's always been you."
oOo
Pukul lima sore, (Namakamu) dan Iqbaal tiba di rumah mereka. Sepertinya tidak ada hal lain lagi yang kedua pasangan suami istri itu lakukan sehingga langsung pulang ke rumah setelah mampir ke rumah keluarga besar Iqbaal.
Seperti biasa, Bi Sumi akan menyambut dengan senyuman hangat sambil bertanya pada majikannya kalau-kalau ada sesuatu yang di perlukan. "Selamat sore, Non. Akhirnya Nona sama Aden pulang juga. Ada yang bisa Bibi bantu?"
"Nggak ada, Bi. Bibi istirahat aja nggak papa. Saya sama Iqbaal mau langsung ke atas aja." Jawab (Namakamu) sambil melepas kedua stiletto broken whitenya. Lalu menyimpannya di rak sepatu tanpa lupa menatanya dengan rapi.
"Ah, saya dari tadi pagi sudah istirahat terus, Non. Bibi cuma nyapu sama ngepel aja. Masak juga cuma buat bibi doang. Den Iqbaal sama Non (Namakamu) nggak di rumah jadi Bibi nggak terlalu sibuk." Bi Sumi menjawab lagi. (Namakamu) tersenyum dengan badan yang masih setengah membungkuk. "Non, sudah makan? Kalo belum biar Bibi siapin makan malem ya?"
(Namakamu) menegakan tubuhnya lagi. Saat yang bersamaan ketika wanita itu menyadari bahwa Iqbaal sudah lebih dulu naik ke atas sebelum (Namakamu) selesai melepas sepatunya. Ah, sudah biasa.
"Boleh deh, Bi. Tadi saya nggak sempet makan disana. Tolong Bibi siapin ya. Saya mau mandi dulu, gerah." (Namakamu) mengibaskan tangannya di dekat leher seolah-olah kata gerah yang di ucapkannya memanglah kebenaran.
"Siap, Non."
Sementara Bi Sumi pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam, (Namakamu) menyusul Iqbaal untuk naik ke atas, ke kamar mereka berdua. Sepertinya (Namakamu) memang butuh air dingin untuk menyegarkan badannya yang terasa gerah dan begitu lengket. Meski dia bepergian menggunakan mobil dengan fasilitas air conditioner di dalamnya, tetep saja (Namakamu) akan merasa gerah setelah keluar dari mobil.
Pintu berhasil dibuka. Siluet tubuh Iqbaal yang sedang membuka kemeja adalah hal pertama yang (Namakamu) lihat. Tanpa sadar dia menahan napas. Walau sudah hampir satu bulan lebih (Namakamu) menikah dengan Iqbaal, kalau melihat suaminya itu shirtless tanpa di sengaja, (Namakamu) selalu saja merasa malu dan tak jarang salah tingkah sendiri.
Alhasil, (Namakamu) membelokan langkahnya menuju meja rias untuk sejenak menghindari Iqbaal yang sudah shirtless.
"Mau kamu dulu atau aku dulu? Aku duluan aja ya. Atau kamu mau bareng sama aku mandinya?" Iqbaal bertanya. Tubuhnya berputar menatap wajah (Namakamu) yang terpantul pada cermin meja rias. Kedua alis Iqbaal terangkat bersama senyuman menggodanya.
(Namakamu) berusaha menghindari ekspresi menyebalkan itu dan beralih menyibukan diri melepas anting-anting di telinganya. "No. You first. Aku belakangan aja nggak papa."
"Kamu nolak tawaran aku? Seriously?" Tanya Iqbaal. Selanjutnya suara resleting terbuka yang (Namakamu) yakini adalah bersumber dari celana bahan milik Iqbaal.
Pria itu, benar-benar...
"Bisa nggak sih kalo mau naked di kamar mandi aja? Don't try to tempted me, Mr. Dhiafakhri!" (Namakamu) lagi-lagi menahan napas meski sesekali mencuri-curi pandang apa yang Iqbaal lakukan melalui cermin di hadapannya.
"Kata siapa aku godain kamu?" Iqbaal melempar celananya sembarang hingga menyisakan bokser hitamnya saja. Lalu berjalan mendekati (Namakamu) yang tampak mulai was-was. "Aku cuma nawarin kamu, Baby. Kenapa jadi salting gitu?"
(Namakamu) mengerutkan bibir bawahnya. Menyimpan anting-antingnya pada laci khusus menyimpan aksesoris koleksinya dengan kasar.
"Are you mad hmm?" Tiba-tiba saja Iqbaal sudah di belakangnya. Memeluk pinggang rampingnya lalu mencium pelan pundak (Namakamu) yang tertutupi sifon krem.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Happiness
Fiksi Penggemar"Maybe I have so many flaws in my self, but can I hope I could have my own perfect happiness?" (Second Series of Happy Perfect Marriage Series)