"Marriage life ain't so bad like most people thought."
oOo
"Udah aku bilang berapa kali, tugas kamu itu cuma merhatiin aku, bukan di dapur. Sekarang liat! Berdarah 'kan jari kamu?"
Bi Sumi hanya bisa diam ketika majikannya datang dan mendapati istri dari majikannya itu berkutat dengan peralatan dapur. Terlebih lagi, sebelum majikannya itu tiba di dapur, Bi Sumi sudah lebih dulu melarang istri majikannya tersebut untuk tidak memegang alat dapur termasuk pisau. Bi Sumi selalu mengingat pesan tuannya untuk tidak membiarkan sang nyonya berada di dapur apalagi memegang pisau. Rasa bersalah pun muncul dihatinya.
"Bi, tolong ambilkan kotak obat di laci. Cepetan, Bi, takut darahnya makin keluar banyak."
"Baik, den."
Dengan tergopoh-gopoh, Bi Sumi keluar dari dapur untuk mengambil kotak obat yang majikannya maksud.
Air dari keran bak cucian masih mengalir membersihkan darah yang melumuri jari telunjuk sang istri. Cairan berwarna merah itu terus saja keluar tanpa henti membuatnya semakin panik. "Astaga, kenapa darahnya keluar banyak banget? Bi Sumi mana lagi, lama banget ngambilnya."
"Aku nggak papa, Iqbaal. Udah ah jangan marah-marah gitu. Bi Sumi nggak salah. Aku yang tadi ngotot mau bantuin Bi Sumi motongin daging."
"Coba kalo kamu nurut aku, (Namakamu), jari kamu nggak bakal berdarah banyak kaya gini." Iqbaal menarik jari (Namakamu) dari bawah air keran yang mengalir lalu mematikan keran dan mengambil beberapa lembar tisu untuk menahan darah yang terus mengucur keluar. "Ke rumah sakit aja ya? Takut kalo lukanya dalem." Pinta laki-laki itu dengan tatapan penuh kekhawatiran.
"Ih, lebay banget sampe ke rumah sakit." (Namakamu) justru menolak sambil di selipi tawa kecil.
"Tapi darahnya ngucur terus, (Namakamu). Ya Tuhan, seneng banget bikin khawatir orang." Meski terlihat kesal bercampur khawatir, Iqbaal memasukan jari telunjuk sang istri yang terluka itu ke dalam mulutnya. Berharap jika dengan mengemutnya sedikit bisa menghentikan pendarahan.
"Den Iqbaal, ini kotak obatnya."
Bi Sumi kemudian datang dan sayangnya datang di saat yang tidak tepat. Iqbaal nyaris saja ingin memarahi Bi Sumi jika tidak segera (Namakamu) tahan dengan tatapan lembutnya.
"Termakasih, Bi. Bibi lanjutin aja kerjanya, biar saya yang urus lukanya." Jawab (Namakamu) seraya menerima kotak obat dari tangan Bi Sumi dengan tangan kanannya-dan jarinya yang terluka adalah jari sebelah kiri.
"I-iya, non. Tapi non (Namakamu) nggak papa 'kan?" Tanya Bi Sumi penuh kekhawatiran.
"Saya nggak papa, Bi. Ini cuma luka kecil aja kok." (Namakamu) membalas lagi ketika Iqbaal hendak mengeluarkan jawaban penuh amarahnya pada Bi Sumi. Lagi-lagi digagalkan oleh (Namakamu).
"Bibi pergi aja. Nggak usah khawatirin saya." Lanjut wanita itu bersama senyuman baik-baik sajanya.
Setelah Bi Sumi pergi, tatapan penuh kesal dari seorang Iqbaal mengarah tepat padanya. (Namakamu) justru membalas tatapan itu dengan santai. Jika suaminya itu sedang marah, jangan berikan tatapan penuh amarah pula. Sebisa mungkin (Namakamu) bersikap tenang dengan harapan Iqbaal juga mampu berangsur mengurangi emosinya. Suaminya ini terkadang memang over protective. Tapi (Namakamu) memahami itu dan mulai terbiasa dengan semua sikapnya.
"Udah dong, Iqbaal. Kamu marah-marah terus dari tadi. Aku nggak suka liatnya."
"Kamu nggak ngerasain posisi aku, (Namakamu). Oke, jangan bahas ini lagi. Mana sini kotak obatnya. Biar aku obatin jari kamu." Tangan kanan Iqbaal bergerak mengambil kotak obat yang berada di genggaman (Namakamu). Laki-laki itu menuntun sang istri untuk duduk di meja makan supaya dapat lebih mudah mengobati jari (Namakamu) yang terluka.
"Jangan pake plaster tapi ya. Biarin dibuka aja, biar gampang ngobatinnya lagi." Karena luka irisan pisau seperti ini, harus di obati beberapa kali sampai akhirnya benar-benar dikatakan sembuh.
Iqbaal hanya berdehem pelan dengan kepala yang sedikit menunduk ketika hendak menetesi betadine pada luka karena teriris pisau tersebut. Botol betadine yang kecil sedikit di miringkan hingga di ujing botol yang mengerucut keluar cairan berwarna coklat yang tidak lain adalah betadine itu sendiri. (Namakamu) meringis pelan saat lukanya yang ditetesi betadine itu terasa sedikit perih. Sebagai gerak refleks, jari telunjuknya yang sedang di pegang oleh Iqbaal, bergerak sakit akibat tetesan dari betadine.
"Sakit?"
(Namakamu) mengangguk pelan. "Perih."
Setelah berhasil melumuri luka dengan betadine, Iqbaal mengambil selembar tipis kapas untuk membersihkan tetesan betadine yang meluncur turun dari puncak telunjuk (Namakamu). Laki-laki itu membersihkannya dengan perlahan ketika suara ringisan (Namakamu) terdengar jelas di telinganya.
"Masih perih?" Iqbaal menatap (Namakamu) sebentar. Istrinya yang cantik itu kemudian mengangguk dengan gigi yang terkatup kuat. Dia kembali menundukan kepalanya, meniup jari (Namakamu) yang sudah di obati untuk menghilangkan denyutan perih di sekitar luka. Meski sebenarnya Iqbaal sendiri tidak tahu, apakah itu berguna atau justru sama sekali tidak membantu.
"Masih nggak?"
"Udah enggak. Makasih." (Namakamu) menarik jari telunjuknya dan lebih meniup luka di jarinya itu oleh dirinya sendiri.
Iqbaal mengangguk ketika matanya sedang memerhatikan (Namakamu) yang tampak sekuat tenaga menahan rasa perih. Sampai sebegitunya tidak mau dirinya merasa khawatir. Karena tidak mau berdebat lagi, akhirnya Iqbaal memilih pura-pura tidak tahu meski rasanya sangat sulit untuk tidak bersikap protektif pada istrinya itu.
Laki-laki itupun merapikan kembali kotak obat dan mengumpulkan kapas bekas mengobati luka untuk nanti di buangnya. Sementara dia ingin berbicara pada (Namakamu) sekali lagi dengan sedikit serius.
"Nanti-nanti, kamu nggak usah bantuin Bi Sumi masak lagi di dapur. Apalagi untuk pegang pisau, aku bakal nyuruh Bi Sumi bawa jauh pisau-pisau itu supaya kamu nggak pegang satupun. Cukup hari ini aja kamu terluka, aku nggak mau jari-jari kamu yang lain terluka juga."
Ucapan manis itu disambut sikap manis lain lagi dari Iqbaal. Suaminya itu meraih tangan kanannya lalu menciumi satu persatu buku-buku jarinya dengan penuh rasa kasih sayang. (Namakamu) yang diam dalam duduknya, menikmati itu dengan penuh kebahagiaan. Ini kesekian kalinya dia mendapatkan perlakuan manis dari seorang Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan. Satu bulan pernikahan mereka, tidak pernah satu waktu pun Iqbaal membuatnya kecewa. Kalau kesal mungkin iya, tapi tidak pernah sampai membuat (Namakamu) menangis tersedu-sedu dan nyeri sampai ke ulu hati.
Iqbaal adalah sosok laki-laki yang penuh kelembutan. Sangat menghargai perempuan, apalagi (Namakamu) yang sudah menjadi istrinya. Mungkin awal pertemuan mereka bisa dikatakan sangat singkat, mereka dijodohkan karena urusan bisnis. Meski awalnya (Namakamu) merasa takut jika pernikahannya nanti tidak seindah yang dia bayangkan, tapi Iqbaal justru mematahkan pikiran buruknya itu dengan ucapannya yang sampai saat ini masih (Namakamu) ingat dengan jelas.
'Kita menikah karena di jodohkan, bukan berarti aku nggak menghargai kamu sebagai istri sahku sekarang. Jangan berpikiran dramatis, kita berpikir realistis saja dan mulai bangun rumah tangga ini dengan penuh kasih sayang. Bukan hal yang sulit belajar mencintai kamu yang jelas-jelas idaman semua para pria. Enggak enggak, kamu cuma jadi idaman aku aja sekarang, bukan semua pria lagi.'
Belum apa-apa Iqbaal sudah posesif bukan? Tapi (Namakamu) sama sekali tidak merasa risih dengan itu. Para laki-laki memang memiliki caranya masing-masing untuk mempertahankan orang-orang yang mereka cintai. Dan Iqbaal, memilih cara yang egois untuk membuat (Namakamu) selalu bertahan di sisinya.
Tapi percayalah, Iqbaal tidak seburuk yang kebanyakan orang pikirkan.
***
Ciee yg senyum2, seneng kan lo? wkwk
30/05/17
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Happiness
Fanfiction"Maybe I have so many flaws in my self, but can I hope I could have my own perfect happiness?" (Second Series of Happy Perfect Marriage Series)