PART 33 - UNKNOWN

4.5K 724 137
                                    

Tanpa (Namakamu) disini, semuanya terasa berbeda. Hanya ada kehampaan yang menemani Iqbaal di setiap bangun tidurnya sampai lelap kembali menyergapnya di sepinya malam. Tidak ada lagi tawa yang mengisi rongga telinga. Senyum manis yang memanjakan mata kala mereka berbincang tentang bagaimana hidup ini berjalan. Iqbaal bagai sepasang kaki yang pincang sebelah. Hidupnya masih terus berjalan meski tidak sempurna, tanpa (Namakamu).

"Pak, maaf, ini ada titipan dari Bu Rike. Beliau minta agar bapak tidak melewatkan makan siang lagi seperti kemarin," Ardio datang membawa jinjingan yang berisi sepaket tempat makan. Isinya sudah pasti bekal makan siang. Sejak Rike tahu apa yang sebenarnya terjadi, wanita itu tidak membiarkan putra bungsunya semakin kacau sepeninggal (Namakamu). Meski Iqbaal masih tinggal di rumahnya, rumah yang ditinggali bersama (Namakamu), Rike tetap membuatkan bekal makan siang. Memastikan bahwa Iqbaal akan baik-baik saja.

"Pak,"

Iqbaal mengerjap begitu suara Ardio terdengar lebih lantang. "Simpan saja di meja. Makasih," Katanya. Lalu kembali termenung.

"Oh iya, pukul 2 siang nanti bapak ada pertemuan dengan Pak Subagya untuk membahas investasi yang beliau tanyakan dua minggu lalu," Ujar Ardio menambahkan.

"Ada lagi?"

Ardio menggeleng.

"Lo boleh pergi,"

Tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun lagi, Ardio berjalan keluar ruangan seperti yang Iqbaal perintahkan. Membiarkan laki-laki itu kembali dalam kesendiriannya, meratapi nasibnya yang kini hanya berjalan tanpa (Namakamu) di sisinya. Bagaimana? Bagaimana Iqbaal sanggup menjalani hidup jika sumber kehidupannya saja tidak ada disini?

"Kamu dimana, (Nam..)?" Spontan, pertanyaan itu meluncur dari bibir Iqbaal saat matanya tak sengaja melirik bingkai foto di sudut mejanya. Foto yang mengabadikan senyum terbaik istrinya, ketika awal pernikahan mereka dulu. "Kenapa kamu nggak pulang? Kamu seneng ya, lihat aku dibikinin makan siang terus sama Bunda? Andai kamu disini, pasti kamu bakal ketawa lihat kondisi aku sekarang. I miss your voice when you're laughing. Something I can't live without."

Dengan tangan gemetar, Iqbaal meraih bingkai foto itu. Mengusap kacanya yang nyaris berdebu dengan ibu jari, sambil memandangi wajah (Namakamu) yang teramat dia rindukan. Iqbaal ingin memeluk tubuh itu. Iqbaal ingin melihatnya, bukan diwakilkan dengan bingkai foto sang istri di meja kerjanya.

"Aku janji, kalo kamu pulang nanti, nggak akan ngelarang kamu ngapa-ngapain lagi. I'll be the best husband like you ever wanted. Please, come home soon! And bring me back your beautiful voice when you were laughing at me. I'm about to die," Lirihnya putus asa. Lalu menunduk, mengubur semua perasaan sedihnya dalam-dalam bersama bingkai foto istri tercinta dalam dekapan.

Adakah yang mampu mengakhiri semua rasa perih ini? Semakin hari, tubuhnya semakin tidak berdaya digerogoti oleh nyeri yang tiada berujung. Kehampaan ini begitu menyiksanya. Iqbaal tidak tahu lagi harus bagaimana menghentikan derita ini. Terasa begitu nyata dan menyayat.

Sampai kemudian suara ketukan pintu menyela kesedihannya. Berpikir bahwa itu adalah Ardio, Iqbaal segera mengusap wajahnya. Menghilangkan jejak sedih yang mungkin sempat mampir menghiasi wajah. Tidak boleh ada yang tahu atau melihatnya merana seperti ini. Maka setelah menyimpan kembali bingkai foto sang istri ke tepi meja, Iqbaal menengok ke arah pintu dan terdiam untuk beberapa saat.

"Baal, you okay?"

Hatinya berteriak menjawab tidak. Tapi lidahnya terasa kelu untuk digerakan.

"Can we talk for a moment?"

Kali ini Iqbaal menjawab dengan gerakan anggukan kepala. Setidaknya Iqbaal tahu kalau dirinya masih baik-baik saja untuk beberapa jam ke depan.

My Perfect HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang