“Reza!!!” Teriak Nayna yang langsung terbangun dari tidurnya. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Napasnya tersengal-sengal seperti baru berlari. Nayna mimpi buruk. Sudah tiga kali dalam seminggu ini Nayna memimpikan hal yang sama. Kejadian tujuh tahun lalu. Kejadian yang selalu membuat emosinya melambung tinggi.
Nayna menyandarkan punggungnya ke sandaran tempat tidurnya. Ia memeluk guling berbungkus sprei hijau toska bermotif kupu-kupu itu. Matanya menerawang jauh. Perlahan, air matanya mengalir. Ia menangis.
Ternyata, sangat sulit melupakan seseorang yang sangat kita cintai…
♫♥♫
Mentari masih malu-malu menampakkan diri. Setelah tenggelam bersama kegelapan malam, kini waktunya ia muncul kembali. Seperti bumi yang tidak pernah berhenti berputar, seperti itu pulalah kehidupan manusia. Harus terus berlanjut. Bahkan meski manusia itu telah lelah, ia harus terus berlari. Berkejaran dengan waktu yang juga terus bergulir.
Cahaya mentari masih berada di ufuk timur, tetapi lelaki itu sudah sibuk di mejanya. Tampaknya lelaki itu tidak pulang semalaman, terlihat dari gelas besar yang kini hanya berisi ampas kopi di ujung mejanya. Matanya tak henti-hentinya menatap layar komputer di hadapannya. Begitu pun dengan jemarinya yang terus menari-nari di atas keyboard hitam itu. Tampak lingkaran hitam menghiasi kedua mata teduh itu, pertanda sang pemilik terjaga semalaman. Rambutnya yang acak-acakan dan penampilannya yang kusut, sukses membuatnya terlihat seperti mayat hidup.
“Jadi, semalem lo nggak pulang? Gila! Betah banget lo mantengin tuh komputer.” Ucap Irwan yang baru saja masuk. Ia berusaha mengintip ke dalam kubikel temannya itu.
“Lo kan tahu sendiri laporan ini harus selesai pagi ini juga. Lo sih, pakai telat segala ngomongnya. Gue kan jadi telat juga nyelesaiinnya.” Jawab lelaki itu dongkol.
“Yeee… mana gue tahu? Lo sendiri yang kemarin tiba-tiba ngilang pas makan siang.” Irwan tidak mau disalahkan. “Emang ke mana lo kemarin?”
Sejenak lelaki itu menghentikan kegiatannya. Jemarinya menggantung di atas keyboard. Ia tersenyum tipis, lalu melanjutkan kembali kegiatannya. Tentu saja hal ini tidak lepas dari pantauan Irwan.
“Heh, malah senyam-senyum. Kesambet lo?” Ujar Irwan.
Lelaki itu mengalihkan perhatiannya dari monitor. Ia menatap Irwan dengan tatapan jenaka. “Lo pasti nggak mau tahu.” Jawab lelaki itu sambil tersenyum simpul.
“O, oh, lo pasti abis ngelakuin sesuatu yang nggak bener. Ngaku nggak?!” Tebak Irwan sambil menunjuk-nunjuk temannya itu. Otaknya mulai berimajinasi yang bukan-bukan.
“Enak aja, lo! Ya nggak lah!” lelaki itu sewot. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya tanpa memedulikan Irwan yang terus mencebik. Tetapi, ia sama sekali tidak fokus. Ia kembali teringat kejadian kemarin.
Ia sedang menikmati hamburger ukuran sedang yang baru ia pesan saat tiba-tiba telinganya menangkap suara yang sangat familiar. Suara tawa yang sangat ia kenal. Suara yang sangat dirindukannya.
Lelaki itu menoleh ke belakang. Bola matanya bergerak-gerak mencari sosok orang yang sangat dinantikannya. Di meja paling ujung yang hanya berjarak dua meja darinya, tampak dua orang wanita sedang tertawa-tawa. Lelaki itu tercengang. Mulutnya sedikit terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi entah kenapa ia mendadak menjadi bisu. Ia tidak bisa mengatakan apapun. Ia hanya bisa menelan hamburger yang masih berada di mulutnya dengan susah payah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Disease (TAMAT)
RomanceReza, nama yang hampir tujuh tahun ini tidak pernah dilupakannya. Nama yang sudah terlalu dalam terpahat dalam hatinya. Sebuah nama yang selalu membuatnya terombang-ambing dalam pusaran laut yang dalam. Lalu menenggelamkannya tanpa bekas. Nayna meng...