Langit gelap telah berangsur menyingkir. Mempersilakan pagi untuk menyingsing dari ufuk timur. Berkas-berkas cahaya mentari turun menembus jendela, gorden, lalu menyilaukan mata teduh yang masih terpejam itu.
Lelaki itu penampilannya tampak sangat acak-acakan. Persis seorang gembel jika saja ia tidak tidur di kamar yang terbilang cukup mewah itu. Tampang baby face-nya tampak penuh memar di sana-sini. Beberapa bercak darah juga turut menghiasi kemeja putih yang ia pakai.
Wajah imut penuh memar itu mengernyit tatkala sinar mentari berhasil mengenai wajahnya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya. Mengumpulkan kesadaran yang masih berceceran entah ke mana. Seketika itu juga tubuhnya merasakan sakit yang luar biasa, terutama pada bagian wajahnya. Ia menyentuh sudut bibirnya, lalu mengaduh tertahan. Kenapa ia bisa sesakit ini?
Dengan susah payah, Reza bangkit dari tidurnya. Ia mengedarkan pandang ke seluruh ruang. Ini bukanlah kamarnya, ini adalah salah satu kamar tamu di rumah Irwan, temannya, sekaligus suami Marissa. Tapi bukan kamar ini yang membingungkannya, melainkan kenapa dan bagaimana caranya ia bisa berada di kamar ini.
Seingatnya, ia masih berada di kantor. Mengerjakan beberapa laporan dan proposal yang sudah dikejar deadline. Tapi kenapa sekarang ia berada di kamar tamu rumah Irwan? Dan kenapa saat ini tubuhnya sangat sakit seakan baru ditimpa besi berton-ton?
Reza mencoba merenggangkan otot-otot lengannya, tetapi baru bergerak sedikit saja rasanya seperti bagian tubuhnya dicopoti dengan paksa. Penasaran, ia pun berjalan mendekati cermin yang ada di meja rias di ujung ruangan. Dan betapa terkejutnya ia begitu melihat penampilannya yang persis seperti tahanan tentara Nazi yang akan dieksekusi. Mengenaskan!
Ia memandangi dirinya dan cermin bergantian dengan wajah kebingungan. Pakaian yang penuh noda tanah dan bercak darah, wajah yang babak belur, rambut yang seperti semak belukar, bahkan ia hanya memakai sebelah kaus kaki di kaki kanannya, sedang kaus kaki sebelahnya lenyap entah ke mana.
“What happen to me?!!” teriaknya spontan. Bersamaan dengan teriakannya, tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Irwan masuk sambil membawa sepiring nasi goreng, segelas susu, serta segelas air putih di atas nampan.
“Lo udah bangun, Za?” sapa Irwan sambil menaruh bawaannya di atas nakas di samping tempat tidur.
Reza menoleh, ia menatap Irwan dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Apa?” Irwan bertanya seakan ia tidak melihat bagaimana Reza saat ini.
“Lo bisa jelasin kenapa gue bisa ada di sini, dan dengan penampilan seperti ini ‘kan, Wan?”
Irwan menghela napas. Ia hanya menatap Reza dengan tatapan yang sangat dibenci Reza. Tatapan kasihan.
“Gue nggak butuh tatapan nyebelin itu, Wan. Gue butuh penjelasan dari mulut lo.”
“Makan dulu gih, terus mandi. Gue siapin pakaiannya dulu.” Jawab Irwan sambil berjalan menuju pintu. Mencoba melarikan diri dari rasa ingin tahu Reza.
Reza yang sudah hafal dengan gelagat Irwan, segera menghadangnya. Irwan pun berhenti. “Kenapa lo nggak mau jelasin, Wan?” sergah Reza dengan tatapan kesal.
“Gue nggak bilang nggak mau. Gue bilang, lo makan dulu terus mandi, setelah itu baru gue akan jelasin semua yang ingin lo tahu.”
“Wan!!” Reza hampir berteriak saking kesalnya.
Irwan diam. Ia kembali memandang Reza. Merasa ragu untuk mengatakannya. Ia bingung. Bagaimana ia bisa mengatakan sesuatu yang bahkan orang tua Reza sendiri tidak mampu untuk mengatakannya? Lalu tiba-tiba saja terdengar suara Melody menjerit memanggil papanya. Irwan menghela napas lega. Merasa terselamatkan untuk sementara.
“Makan, habis itu bersihin badan lo. Gue jelasin nanti setelah lo selesai semuanya. Lo dengar sendiri, ‘kan? Melody udah jerit-jerit manggil gue.” Ucap Irwan, lantas pergi ke luar kamar dan menutup pintu.
“Sh*t!!!” umpat Reza. Ia sama sekali tidak menyadari, di balik pintu itu, Irwan berdiri menyandar pada pintu dengan lemas. Rasanya sakit melihat keadaan sahabatnya seperti itu.
“Dari sekian banyak orang, kenapa harus lo, Za?” lirihnya. Tanpa terasa, satu tetes air mata mengalir dari sudut mata sipitnya.
♫♥♫
Setelah mengantarkan Melody ke sekolahnya dan Marissa ke tempat yoga, Irwan segera meluncur pulang ke rumahnya, tempat Reza menunggunya. Setiap mengingat bahwa ia harus menjelaskan apa yang terjadi pada Reza, ia menghela napas. Seakan itu adalah sebuah beban yang sangat berat.
Irwan turun dari mobil hitamnya dan berjalan masuk rumah setelah sebelumnya memarkirkan mobilnya di dalam garasi. Ia berjalan menghampiri Reza yang sedang merenung di meja makan.
“Gue lama ya?” Tanya Irwan. Pertanyaan yang sama sekali tidak memerlukan jawaban. Ia berjalan menuju dapur, membuka kulkas untuk mengambil jus jeruk. Lalu menuangkannya ke dalam dua buah gelas dan membawanya menuju meja makan.
Reza hanya memerhatikan tingkah Irwan dalam diam. Ia menghela napas. “Gue bener-bener bingung, Wan.” Keluhnya.
“Bingung? Bingung kenapa?” Tanya Irwan sambil meletakkan satu gelas berisi jus jeruk yang ia bawa di hadapan Reza, dan satu lagi di hadapannya. Kemudian ia duduk di hadapan Reza. Memerhatikan wajah lesu penuh memar sahabatnya itu.
“Lo tahu dengan jelas apa yang buat gue bingung, Irwan Santoso.” Reza menjawab dengan kesal.
Irwan hanya tersenyum miris, “iya, gue tahu.”
Reza hanya menatap Irwan. Menunggu penjelasan yang akan keluar dari bibir merah kehitaman milik Irwan. Bibir yang selalu membuat Reza bertanya-tanya, sudah berapa batang rokok yang habis dihisap temannya itu?
Irwan menghela napas sebelum akhirnya bercerita. “Mungkin lo akan terkejut dengan apa yang nanti gue jelasin. Tapi lo harus percaya sama gue. It’s real!”
“Tapi ada yang ingin gue tanyain ke lo, Wan.”
“Apa?”
“Apa semalam gue mabuk? Kenapa gue nggak ingat apapun yang buat gue jadi babak belur kayak begini?” Reza tampak kebingungan.
Irwan tertawa, “lo mabuk? Ngerokok aja lo nggak mau, apa lagi minum begituan, Za… Za…”
Reza merengut, “kalau gue nggak mabuk, kenapa gue nggak ingat apapun?” Tawa Irwan lenyap seketika.
“Lo tahu DID?” Irwan bertanya dengan ragu.
“DID? Apa yang lo maksud itu dissociative identity disorder? Kepribadian ganda? Tapi… apa hubungannya DID sama kejadian semalam?” Reza balik bertanya.
Lagi-lagi Irwan menghela napas. “Tentu aja itu sangat berhubungan. Lo itu…” Irwan terdiam sejenak. Seperti sulit untuk melanjutkan perkataannya.
“Gue kenapa? Ngomong yang bener dong…”
Irwan meneguk jus jeruknya. Menyegarkan kerongkongannya yang tiba-tiba terasa begitu kering. Sedangkan Reza hanya menatap Irwan dengan tatapan heran. Tidak biasanya sahabatnya yang ia kenal sejak kuliah itu tampak begitu gugup. Bahkan dulu saat Irwan mengatakan pada Reza kalau ia ingin dikenalkan dengan Marissa pun tidak segugup ini.
Irwan kembali menghela napas begitu jus jeruknya habis tanpa sisa. Ia menatap Reza, mengumpulkan keberanian untuk bicara. Bagaimanapun juga, kali ini ia tidak bisa lagi menghindar. Ia harus memberitahu Reza kebenarannya.
“Apa? Kenapa lo natap gue kayak gitu?” Reza merasa aneh.
“Maafin gue, Za.” Irwan menunduk. Tidak berani menatap mata Reza.
“Lo ini kenapa sih, Wan? Tinggal ngomong aja, apa susahnya sih?” Reza semakin keheranan.
“Lo punya kepribadian ganda, Za…” ujar Irwan dengan suara bergetar. Mata Reza melotot seketika. Ia benar-benar sangat terkejut.
“E-elo ngomong apaan sih, Wan? Nggak lucu tahu…” Reza tertawa getir. Membuat air mata Irwan meleleh seketika.
“Tapi itulah yang terjadi, Za. Kepribadian lo yang lain emang udah nggak pernah muncul lagi sejak lo masuk SMA, meskipun itu pernah muncul sekali tujuh tahun yang lalu di malam itu. Kepribadian lo yang lain pernah muncul di hadapan Marissa.”
“Lo kenal gue saat kuliah, Wan. Jadi mana mungkin lo tahu tentang hidup gue sebelum masuk SMA? Gue bahkan udah hampir lupa dengan masa kecil gue.” Reza mencoba mengelak.
“Orang tua lo yang cerita itu ke gue, Za. Dan gue yakin, lo pasti udah ngelupain kejadian di masa kecil lo itu.”
“Orang tua gue? Kejadian masa kecil?” Reza kebingungan. “Lo ngomong apaan sih, Wan!”
“Orang tua lo takut kalau Rio akan muncul lagi. Jadi mereka cerita itu ke gue biar gue bisa siap kalau sewaktu-waktu dia muncul. Tapi dia nggak pernah muncul sama sekali sampai semalam… dia tiba-tiba aja muncul lagi.”
“Muncul? Siapa? Apa maksud lo?”
“Rio. Kepribadian lo yang lain. Semalam dia muncul dan mengamuk. Itulah sebabnya lo nggak ingat apa yang semalam terjadi dan kenapa lo bisa bangun dalam keadaan seperti itu di rumah gue.” Irwan menghela napas sejenak. “Gue nggak tahu dia muncul sejak kapan, tapi semalam tiba-tiba aja polisi nelpon gue. Mereka bilang lo baru aja nabrak mobil orang dan berkelahi habis-habisan sama si pemilik mobil itu.”
Reza terkejut, “Mobil gue… gue tabrakin? Terus gimana keadaan Red sekarang?” Reza tampak cemas. Bagaimana ia bisa menabrakkan Red, mobil kesayangannya itu?
“Bukan Red yang sekarang harus lo cemasin, Reza, tapi lo!” Irwan berteriak dengan kesal. Ia mencemaskan Reza setengah mati, tapi bagaimana bisa Reza malah mencemaskan Red? Dasar gila!
Reza terdiam. Irwan menghela napas, lalu melanjutkan lagi penjelasannya. “Lo tahu, apa yang gue temuin saat gue sampai di kantor polisi, Za?” tanya Irwan dengan dramatis sambil menatap Reza. Sedang Reza hanya membalas tatapannya dengan tatapan penuh tanda tanya. “Kantor polisi berantakan. Dan yang ngelakuin itu adalah lo, Za! Lo! Rio mengamuk di kantor polisi.”
“Itu nggak mungkin.” Reza merasa tidak percaya. Kenapa itu bisa terjadi? Kenapa ia harus mengamuk di kantor polisi? DID? What the hell is it?
“Tapi itulah yang terjadi, Za. Mungkin sekarang lo masih ada di penjara kalau bukan karena papa lo yang merupakan orang penting di Kepolisian.”
“Papa gue tahu tentang semalam?” Irwan mengangguk, sedang Reza menunduk. Ia benar-benar merasa terpuruk.
“Gue berharap semalam lo hanya mengamuk di kantor polisi, Za.”
Reza mengangkat kepalanya dan menatap Irwan dengan penuh pertanyaan, “apa maksud lo, Wan?”
“Rio bisa muncul kapan aja, Za. Sekarang gue tanya sama lo, sebelum lo kehilangan kesadaran lo, apa yang sedang lo lakuin?” Irwan bertanya dengan serius.
“Gue… lagi di kantor. Ngelanjutin kerjaan gue yang udah deadline. Terus gue kepikiran Nayna, dan tiba-tiba aja kepala gue pusing banget…” Reza menghentikan ucapannya, lalu menatap Irwan dengan tatapan penuh keterkejutan.
Irwan juga tampak terkejut, “Nayna?!” mereka berdua tampak cemas.
“Apa yang harus gue lakuin, Wan? Gimana kalau Nayna yang jadi sasaran amukannya?” tiba-tiba saja Reza berdiri.
“Lo mau ke mana, Za?”
“Gue harus nemuin Nayna sekarang, Wan!” ucapnya, lalu melangkahkan kakinya dengan tergesa namun ditahan oleh Irwan.
Irwan memegangi lengan Reza dengan kuat. “Kalau lo ke sana, mungkin Nayna akan takut ngelihat lo, Za. Lagipula, papa lo udah pesen ke gue buat nahan lo di sini sampai lo dijemput.”
Reza menoleh dan menatap Irwan dengan tajam. “Maksud lo?”
“Karena papa lo nggak mau Rio muncul lagi di tempat-tempat yang nggak terduga. Mulai sekarang, lo akan diisolasi dari dunia luar, Za. Lo harus menjalani perawatan intensif sampai Rio bener-bener hilang dari diri lo.”
“Lo jangan bercanda, Wan!” Reza berteriak marah. Lalu ia teringat sesuatu, ponselnya. “HP gue mana?”
“HP lo dibawa papa lo. Gue udah bilang ‘kan kalau lo bakalan diisolasi dari dunia luar? Jadi… dia juga nahan HP lo.”
“Ini gila! Terus gimana caranya gue ngehubungi Nayna?!”
“Lupain dulu tentang Nayna, Za. Gue janji gue bakal bantuin lo sebisa gue.” Ujar Irwan dengan menyesal. “Sorry, Za. Cuma ini yang bisa gue lakuin sebagai sahabat lo.”
Reza terduduk dengan lemas. Ia bukanlah orang yang cengeng, tapi kali ini, Reza menangis. Membayangkan bahwa ia telah menyakiti Nayna sudah cukup membuatnya merasa sakit. Dan sekarang, demi kebaikannya, ia harus menjauh dari Nayna. Menjauh dari orang yang begitu dicintainya.
Penyakit gila ini benar-benar telah menjadi penyakit untuk hubungan percintaannya dengan Nayna. Bahkan, juga kehidupannya yang normal.Perlahan, Reza mengepalkan tangan.
♫♥♫Hai gaeesss... Aku kembali👻
Banyak yg bilang makin ke sini ceritanya jadi agak sedih...
Hmmm iya sih emang 🤔
Sebenernya cerita ini konfliknya cukup berat loh kalo diperhatikan dalam2... Hmmm nggak juga sih. Au ah lap. Yang penting jangan lupa tetep baca dan vote yaa... Kalo bisa sih comment juga... Hihihi 🙈Salam rocker,
Idzanami19
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Disease (TAMAT)
RomanceReza, nama yang hampir tujuh tahun ini tidak pernah dilupakannya. Nama yang sudah terlalu dalam terpahat dalam hatinya. Sebuah nama yang selalu membuatnya terombang-ambing dalam pusaran laut yang dalam. Lalu menenggelamkannya tanpa bekas. Nayna meng...