Dreaming Alone

880 50 0
                                    

Nayna berlari menuju suatu tempat. Kakinya terluka tapi ia tetap berlari. Ia begitu kelelahan saat tiba di tempat itu. Napasnya tersengal-sengal. Tapi saat ia akhirnya bisa mengatur napasnya, tiba-tiba saja ia merasa dicekik. Dan ketika ia menyadari siapa yang mencekiknya, ia terlihat sangat terkejut.

“Ma-Marissa?” ucapnya terbata-bata.
Ia tidak bisa bernapas. Dadanya terasa sesak. Tangannya berusaha menggapai-gapai, tapi tak ada apapun disana. Gelap. Semuanya tampak gelap.
Senyum Marissa tampak begitu memuakkan. Wanita berambut hitam itu tampak sangat menakutkan.

Nayna semakin kehabisan napas. Tangannya terus menggapai-gapai sampai tiba-tiba ia merasakan sebuah tangan menggenggam tangannya. Sebuah tangan yang hangat.

Sebuah cahaya tiba-tiba meluncur ke arahnya. Lalu, semuanya berubah menjadi terang. Marissa dan juga kegelapan tadi menghilang bagaikan asap. Dan tangan itu, tangan hangat itu terus menariknya. Membawa Nayna berlari bersamanya.
Tangan itu milik seorang laki-laki. Tapi, Nayna tidak tahu itu tangan milik siapa karena laki-laki itu berlari di depannya dan membelakanginya. Ia hanya bisa melihat punggung laki-laki itu.

Nayna terus berlari dan berlari. Napasnya semakin memburu. Ia memejamkan matanya. Dan saat ia membuka mata, tiba-tiba ia sudah berada di dalam kamarnya. Berbaring di atas ranjang. Menghadap langit-langit penuh bintang buatannya sendiri. Napasnya masih memburu.

“Hanya mimpi?” ia berkata dalam kebingungan.

♫♥♫

Nayna berjalan linglung menuju pintu gerbang. Setelah mimpi yang begitu panjang dan menguras tenaga tadi, ia butuh ketenangan. Mungkin dengan jalan-jalan ia bisa menenangkan pikirannya. Mungkin juga hatinya?

Nayna membuka pintu gerbang tepat saat Raka berjalan melewati rumahnya. Mereka pun saling terkejut dan saling tatap.
“Raka?” ucap Nayna.

Raka mendengus, “pagi ketemu, malam ketemu. Kenapa gue harus sesial ini?” gerutunya sebal sambil berjalan lurus menjauhi Nayna.

“E-apa? Hey, tunggu!” Nayna berlari dan menjejeri langkah Raka.

Raka tidak berhenti. Sebaliknya, ia malah berjalan lebih cepat. Membuat Nayna harus berusaha dengan susah payah untuk bisa kembali menjejerinya.

Lalu tiba-tiba Raka berhenti dan berbalik menghadap Nayna. Tentu saja Nayna yang tidak siap dengan gerakan tiba-tiba itu justru menabrak Raka. Refleks, Raka melingkarkan lengannya ke pinggang Nayna yang akan terjatuh. Dan tanpa sadar, mereka saling menatap.

Deg. Deg. Deg.

Entah jantung siapa yang berbunyi begitu kerasnya. Seperti bunyi genderang perang atau bunyi gendang dari musik yang paling dibenci Raka. Dangdut.

Raka membantu Nayna berdiri dengan tegak sebelum bunyi gendang itu semakin nyaring dan memekakkan kedua telinganya.

“Sorry…” ucapnya yang salah tingkah. Lalu kembali berjalan meninggalkan Nayna yang kebingungan.

Nayna hanya bisa mengangguk. Ia masih bingung dengan kejadian yang baru saja terjadi. Ia kembali mengikuti Raka. Tapi kali ini ia sedikit menjaga jarak. Takut kejadian serupa akan terjadi lagi.

Mereka duduk di ayunan taman seperti biasa. Menatap langit tak berbintang yang sama dalam diam. Memikirkan masalah masing-masing yang – tanpa mereka sadari – turut melibatkan orang-orang yang sama. Marissa dan Reza.

♫♥♫

Matahari tampak begitu pucat. Langit tak sebiru biasanya. Awan-awan hitam bergelantungan membentuk barisan-barisan. Menutupi sinar mentari yang berusaha dengan susah payah menembus tebalnya pertahanan sang awan. Tampaknya langit benar-benar sedang bersedih.

Nayna sedang menggarap pekerjaannya saat tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. “Masuk.” Ucap Nayna tanpa menghentikan pekerjaannya.

Pintu terbuka. Seorang pegawai masuk sambil membungkukkan badannya hormat.

“Ada apa?” ucap Nayna.

“Maaf Bu, tapi di luar ada yang sedang mencari Anda.”

Nayna menatap bawahannya dengan heran. “Siapa?” tanyanya.

“Saya juga tidak tahu. Tapi beliau bilang, Anda akan tahu begitu melihatnya.”

“Apa dia gila? Tentu saja aku akan tahu saat aku sudah melihatnya.” Nayna menggerutu “Oke, bilang sama dia untuk menunggu saya di lobi.”

“Baik.” Pegawai itu kembali membungkukkan badannya sebelum pergi keluar ruangan. Meninggalkan bau parfumnya yang membuat bulu kuduk Nayna berdiri. Bau melati.

Nayna berjalan menuju lobi, tempat tamunya menunggu. Ia melihat seorang lelaki duduk di salah satu sofa yang ada di sana. “Pasti itu orangnya.” Nayna menggumam sambil berjalan mendekati lelaki itu.

“Maaf, apakah Anda…” perkataan Nayna menggantung di udara begitu saja saat ia tahu siapa orang yang berdiri di hadapannya sekarang. Mulutnya mengatup rapat sebelum akhirnya ia menghela napas berat. “Ada apa?” ucapnya dengan mimik yang tidak bisa digambarkan.

Melihat mimik muka Nayna yang seperti itu, membuat Reza merasa terpukul untuk yang kesekian kalinya. Meski begitu, ia tetap berusaha tersenyum.

“Apa kabar, Na.” ucapnya.

“Aku rasa ini bukan saat yang tepat untuk saling menanyakan kabar. Iya, ‘kan?” tukas Nayna dengan ekspresi dingin. Sedingin hatinya saat ini.

Reza tersenyum pahit, “kamu benar.”

“Kalau begitu, bisa langsung to the point aja, ‘kan? Aku sedang sibuk sekarang.”

“Na, aku mau…” Reza mencoba memegang tangan Nayna, tapi langsung ditepisnya. “Minta maaf.” Lanjutnya dengan sedih.

Love Disease (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang