"Masa sih ada orang kayak gitu, Na? Nggak tahu diri banget tuh orang. Masa udah tahu salah, malah masih aja kayak gitu?" Komentar Putri saat Nayna selesai menceritakan betapa menyebalkan atasannya sekarang. Saat ini mereka sedang berada di dalam kamar Nayna. Hari ini adalah weekend, jadi Putri menginap di rumah Nayna demi mendengarkan 'sampah' perasaan sahabatnya itu.
"Aku juga nggak habis pikir, Put. Kok bisa ya ada orang kayak gitu? Parah banget tahu nggak. Kalau aja dia bukan atasanku, udah aku jadiin steak kali tuh orang." Nayna berapi-api.
"Eh, jangan gitu. Entar malah naksir loh. Tadi kamu juga bilang dia keren, 'kan?" Putri menggoda.
"What? Aku? Naksir dia? Nggak mungkin banget, tahu!" Nayna mengelak.
"Nggak inget kejadian terakhir, Neng?" Nayna terdiam dan menatap Putri. "Ups." Ucap Putri sambil menutup mulutnya dengan tangan. Ia keceplosan.
Nayna tersenyum getir. "Aku nggak akan ngulangi kesalahan yang sama, Put."
Putri menatap sahabatnya itu dengan iba. Sudah bertahun-tahun ia mengenal Nayna. Ia mengerti dengan baik bagaimana sifat Nayna. Terlebih sifat keras kepalanya itu. Tujuh tahun sudah kejadian itu berlalu. Tapi masih tercetak jelas di ingatan Nayna, juga Reza. Ia tahu apa yang terjadi di hari itu. Tapi ia terlalu egois hingga memutuskan untuk diam dan tidak mengatakan apapun. Dan sayangnya, hal itu justru membuat sahabatnya semakin terpuruk. Putri menghela napas berat. Ia menyesal.
"Sorry, Na." Ucapnya dalam hati.
♫♥♫
Malamnya, Nayna kembali bermimpi buruk. Entah sudah yang keberapa kali. Sepertinya semenjak ia pulang ke Indonesia, ia jadi sangat sering bermimpi buruk.
Malam semakin pekat. Udara dingin merasuk melalui celah-celah jendela Nayna. Nayna bangun. Ia melihat Putri yang tertidur di sampingnya. Tampaknya ia kedinginan. Nayna membenarkan posisi selimut Putri, lalu bangkit dan berjalan menuju jendela untuk merapatkannya.
Dinginnya malam menusuk-nusuk seperti jarum. Meskipun begitu, Nayna masih tetap berjalan-jalan dengan santainya. Sweeter hijau menjadi satu-satunya pelindung dari dinginnya malam itu. Setelah terbangun dari mimpi buruk tadi, Nayna memutuskan untuk jalan-jalan keliling kompleks perumahannya yang sepi.
Langkahnya terhenti di taman di salah satu sudut perumahan. Ia duduk di ayunan yang terletak di taman itu. Ia ingat, dulu ia dan Reza sering menghabiskan waktu sore di taman ini, dengan bermain ayunan atau sekedar duduk dan memerhatikan Reza yang bermain basket di lapangan basket. Pernah juga Nayna menantang Reza bermain basket di sini, meskipun ia tahu ia tidak akan menang melawan Reza. Ah, masa-masa itu. Kapankah ia akan melupakan semua masa-masa itu? Nayna menghela napas.
Ia mendongak menatap langit yang tak berbintang. Orang billang kalau langit tak berbintang itu berarti pertanda akan turunnya hujan. Ya, mungkin ia memang harus menunggu hujan untuk meluruhkan seluruh kenangannya dengan Reza.
Perlahan air mata turun membasahi pipinya. Lagi-lagi Nayna menangis. Ia terus menangis hingga tidak menyadari kehadiran seseorang yang duduk di ayunan sebelahnya bahkan sudah sejak tadi. Sebelum ia datang dan merusak lamunan orang itu.
"Gue pikir lo cuma nggak sopan dan nyebelin. Ternyata selain nggak sopan dan nyebelin, lo juga cengeng!" Ucap orang itu dengan kesalnya.
Nayna terkejut. Ia menoleh dan memicingkan matanya. Mencoba melihat siapa yang sedang bicara. Keadaan yang gelap dan juga matanya yang mengabur karena baru menangis membuatnya sulit untuk melihat dengan jelas.
Awan bergerak perlahan menjauhi bulan. Seketika cahaya bulan merebak menyinari taman. Dan akhirnya Nayna pun tahu siapa orang itu. Ia tampak terkejut. "Pak Raka?!" Mata Nayna terbelalak saking terkejutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Disease (TAMAT)
RomanceReza, nama yang hampir tujuh tahun ini tidak pernah dilupakannya. Nama yang sudah terlalu dalam terpahat dalam hatinya. Sebuah nama yang selalu membuatnya terombang-ambing dalam pusaran laut yang dalam. Lalu menenggelamkannya tanpa bekas. Nayna meng...