The Best Day

640 33 0
                                    

Hawa begitu dingin menusuk. Rerumputan yang tadinya berwarna hijau, kini tertutupi sekumpulan es dari langit. Begitu pula dengan pepohonan dan atap-atap nun jauh di sana. Tampak seorang pemuda usia belasan tahun dengan lesung pipi yang menawan dan tatapan mata dingin yang menyejukkan sekaligus membekukan. Pemuda itu tampak begitu marah. Berbagai umpatan terus meluncur mulus dari bibir tipis merona itu.

Duukkkk!!!

Tiba-tiba sebuah bola salju mengenai wajahnya. “Hey! Who…” belum sempat ia selesai mengumpat, kembali bola salju menghantam wajah tampannya dengan cukup keras.

Ah! Hey!!” teriak pemuda itu marah.

“Apakah sakit?” sebuah suara muncul dari belakangnya.

Pemuda itu pun menoleh. Seorang wanita berambut hitam panjang dengan mantel bulu coklat sedang tersenyum ke arahnya sambil membuat sebuah bola salju. Senyuman itu… senyuman yang terasa begitu lepas.

Who… are you?

I’m Nayna.

Tunggu dulu. Bukankah seharusnya itu Marissa? Kenapa jadi Nayna? Pemuda itu mengucek-ngucek matanya. Memastikan apakah ia tidak salah lihat. Tapi tetap saja. Gadis di hadapannya masih Nayna. Dengan senyum dan gayanya yang kekanakan.

“Pak Raka?” Gadis itu kembali menunjukkan senyumannya. Raka kembali mengucek-ngucek matanya, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sampai tiba-tiba…

Dukkk!! Dukkk!! Dukkk!!

Bola-bola salju beterbangan menyerang Raka. Ia gelagapan. “Stop! Nayna, please, stop it!” teriaknya. Ia memejamkan matanya, dan saat ia membuka mata, ternyata bukan bola salju yang sejak tadi menyerangnya, melainkan bantal!

“Ah! Awh! Stop it, please!” Raka berteriak kesakitan karena Arika terus menggebukinya dengan bantal.

I’m not Nayna! Wake up, brother! Wake up!” Arika balas berteriak sambil terus ‘menyiksa’ Raka. Dan akhirnya mau tidak mau Raka pun bangun. Ia menatap Arika dengan sebal sesebal-sebalnya.

“Ada apaan sih?!”

“Ada apaan? Heh, kudanil aja nggak semalas lo, Kak. Cepat bangun atau mau gue pukul lagi? heh!” Arika memasang kuda-kuda, bersiap memukul.

“Aish… bawel banget sih lo!” Raka bangkit ke kamar mandi. Tidak lupa menjitak kepala Arika sebelum ke kamar mandi. Membuat Arika kembali naik pitam.

“Kakak, lo mau mati ya!” teriak Arika sambil mengelus-ngelus kepalanya yang malang. Sedangkan Raka langsung ngeloyor ke kamar mandi sambil cekikikan.

♫♥♫

Raka menuruni tangga sambil menguap lebar dan merenggangkan otot-ototnya dengan hikmat tanpa menyadari tatapan aneh dari dua pasang mata yang terus memerhatikannya dengan heran. Raka tampak sangat terkejut saat pandangannya akhirnya jatuh pada kedua sosok itu.

“Se-sedang apa kalian di sini?” ucapnya pada dua manusia berjenis kelamin perempuan yang terus memandanginya dengan aneh itu.

“HA?” Arika tampak kesal. “Hey Kudanil! Seharusnya ‘kan gue yang nanya ke lo. Dari tadi lo ngapain aja, kok baru turun sekarang? Heh! Kita hampir jamuran gara-gara nungguin lo, tahu nggak!”

“Emang… kita mau ke mana? Dan… kenapa dia bisa ada di sini?” Raka bertanya-tanya sambil menunjuk-nunjuk Nayna yang hanya bisa bengong melihat bosnya yang sekarang tampak sangat ‘mengenaskan’ itu.

Arika melirik sekilas pada Nayna, lalu memerhatikan kakaknya. Ia baru sadar kalau kakak tersayangnya itu sedang dalam keadaan ‘mengenaskan’. “Ya ampun, Kak! Lo malu-maluin aja sih? Lo belum mandi ya?! Lihat tuh, penampilan lo sekarang udah kayak gembel Amerika yang nggak pernah mandi berbulan-bulan! Cepet mandi nggak! Atau lo mau gue mandiin?! Hah!” dan Raka pun berlari terbirit-birit ke kamarnya. Kali ini bukan untuk tidur lagi. Melainkan untuk mandi, sekaligus untuk melenyapkan rasa malunya di hadapan Nayna.

♫♥♫

Setelah ‘menikmati’ penantian yang begitu panjang dan menguras emosi, akhirnya Arika, Nayna, dan Raka kini bisa jalan-jalan seperti yang telah direncanakan Arika. Entah mendapat ilham dari mana, tiba-tiba saja tadi pagi-pagi buta Arika sudah menggedor-gedor rumah Nayna dan merengek meminta jalan-jalan bertiga. Dan dengan mengatasnamakan ‘ngidam’, akhirnya Arika berhasil mengajak Raka dan Nayna jalan-jalan.

“Merepotkan!” umpat Raka.

“Lo ‘kan nggak pernah hamil, Kak. Jadi mana ngerti lo soal beginian. Coba deh lo gantiin gue. Lo yang hamil, gue yang jadi direktur. Gimana?” Jawab Arika sambil nyengir dan mengerling-ngerlingkan matanya. Membuat Raka jengah.

“Lo gila ya? Gue ‘kan cowok. Mana bisa hamil?” Raka tampak jengkel.

“Emang kamu cowok?” ucap Nayna tiba-tiba. Membuat Raka langsung menganga dibuatnya. Begitu juga dengan Arika. Pertanyaan yang sangat hebat, mungkin itulah yang ada di otak Arika sekarang.

“Apa? Kenapa? Kenapa kalian ngeliatin aku kayak gitu?” Nayna tampak bingung. Tidak menyadari betapa ‘berdosa’nya ia.

“L-lo bener-bener ya…” Raka tampak kesal. “Tentu aja gue cowok. Apa lo nggak bisa lihat?!”

“Nggak. Emang apa yang bisa aku lihat? Nggak ada yang menarik tuh.” Ujar Nayna dengan wajah innocent-nya, lantas berjalan mendahului Arika dan Raka. Membuat darah Raka seakan mendidih dibuatnya.

“Apa dia bilang nggak ada yang menarik?” Raka tampak tak percaya. Arika hanya menatap Kakaknya dengan pandangan prihatin dan menepuk-nepuk pelan bahu Raka. Seakan memberi kekuatan, kemudian berlalu mengikuti Nayna.

“Ha? Ya ampun… Oh, God. Kill me now, please. Oh… kepala gue…” Raka memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut melihat tingkah dua orang manusia yang sudah berjalan beberapa meter di depannya itu. Manusia? Apa jangan-jangan mereka iblis yang menyamar?

♫♥♫

Raka tidak pernah melihat Arika sebahagia ini sebelumnya. Caranya tersenyum, tertawa, bahkan berjalan, semua itu tampak berbeda di mata Raka. Mungkin benar perkataan Nayna dulu, bahwa ini memang sudah menjadi jalan hidup Arika. Bahkan meski Raka berusaha sekeras apapun untuk mencegah kejadian itu, Arika tetap saja akan terkena masalah yang berbeda. Dan percaya tidak percaya, setelah semua kejadian itu, Arika sudah mulai berubah. Ia menjadi lebih berpikiran dewasa. Ia menjadi perempuan yang bisa lebih menghargai dirinya dan juga hidupnya. Diam-diam, Raka tersenyum.

Brother! Anterin gue ke baby shop dulu dong…” Arika yang berjalan sedikit di depan Raka tiba-tiba berhenti dan menoleh padanya.

“Oke. Tapi biar Nayna nunggu di sini dulu aja, ya?”

“Apa aku nggak boleh ikut juga?” Nayna menjawab.

“Kita cuma bentar kok. Kamu bisa carikan tempat untuk kita makan, ‘kan?” ujar Raka dengan lembut. Membuat Nayna terpana sesaat.

“Baiklah… aku tunggu di café yang sebelah sana.” Ucap Nayna sambil menunjuk salah satu café.

Nayna masuk ke café yang tadi ditunjuknya. Ia langsung mencari-cari tempat duduk yang pas untuk mereka bertiga.

“Nayna?” sebuah suara memanggil Nayna. Ia pun menoleh, dan tampak sedikit terkejut saat melihat siapa yang baru saja memanggilnya. “Ah, ternyata benar kamu Nayna.”

“Marissa?” Nayna tampak masih terkejut, sekaligus takut. Ia ingat, setiap pertemuannya dengan Marissa selalu meninggalkan kesan yang buruk. Marissa adalah perempuan yang sudah membuatnya memilih jalan konyol untuk meninggalkan Indonesia tujuh tahun yang lalu. “Kamu… sedang apa di sini?” lanjutnya. Matanya tidak berhenti menatap perut buncit Marissa.

Marissa tersenyum, “seperti yang kamu lihat. Aku sedang makan dengan suami dan calon bayiku. Duduklah di sini…” ujar Marissa sambil menyiapkan tempat duduk untuk Nayna.

“Nggak usah, Sa. Aku nyari tempat lain aja…”

“Nggak apa-apa kok, Na. Aku juga pengen ngomong sesuatu sama kamu.” Lagi-lagi Marissa tersenyum. Senyumnya tampak sangat tulus. Tidak seperti senyumannya di setiap mimpi-mimpi buruk Nayna. Akhirnya Nayna pun duduk.

“Oh ya, Na. Kenalin, dia Irwan, suami aku.” Marissa memperkenalkan.

Nayna mengulurkan tangannya sambil tersenyum. “Nayna.” Ucapnya.

Irwan yang sejak tadi hanya memerhatikan perbincangan mereka berdua pun membalas uluran tangan Nayna dengan senyuman. “Irwan.” Balasnya. “Tunggu. Sepertinya aku pernah dengar nama kamu. Kamu itu…”

“Dia Nayna, pacarnya Reza.” Marissa menginformasikan.

“Ah, benar. Kamu ‘kan perempuan yang udah buat Reza hampir jomlo seumur hidup itu…”

“Jomlo seumur hidup?” Nayna kebingungan.

“Iya, jomlo seumur hidup. Kamu tahu nggak, setelah kamu tinggal, dia jadi hidup segan mati tak mau, kalau bisa di bilang… dia itu kayak mayat hidup.” Cerocos Irwan. Membuat Nayna kebingungan.

Marissa tertawa melihat kebingungan Nayna. “Dia itu sahabatnya Reza. Jadi, dia tahu semua tentang kamu dan cerita tujuh tahun yang lalu. Mereka sekarang juga bekerja di kantor yang sama.” Jelasnya.

“Oh… jadi kamu ya yang namanya Irwan? Yang seenaknya sendiri meminta Reza jadi ‘supir pribadi’nya Marissa. Yang nggak mau nemenin istri dan anaknya sendiri cuma karena alasan sibuk ngerjain proyek.” Ucap Nayna. Membalas perkataan Irwan tadi. Membuat Irwan hampir menganga dibuatnya.

“Ya ampun… gimana caranya Reza suka sama cewek cerewet kayak kamu?” ungkapnya dengan pandangan takjub.

“Cerewet?!” Nayna meninggikan suaranya. Tidak terima.

“Iya, cerewet. Kenapa? Apa aku salah? Sa, aku benar ‘kan kalau dia cerewet? Dia bahkan udah nuduh aku macam-macam saat pertama kali ketemu.” Irwan mencari pembelaan.

Marissa hanya bisa tertawa melihat mereka berdua bertengkar. Sekali lagi, suaminya bertemu ‘lawan’ yang pantas.

“Na, aku mau minta maaf sama kamu.” Ucapan Marissa dengan otomatis menghentikan pertengkaran konyol Nayna dan suaminya. Mereka bahkan sampai menoleh ke Marissa secara bersamaan.

“Minta… apa?” Nayna masih tidak bisa mencerna perkataan Marissa barusan.
Marissa menghela napas. “Minta maaf… aku mau minta maaf sama kamu.”

“Maaf… untuk apa?”

“Untuk semuanya. Karena aku sudah membuat hubungan kamu dan Reza jadi berantakan sampai kalian harus berpisah selama bertahun-tahun lamanya. Aku benar-benar minta maaf untuk itu.” Jelas Marissa. Irwan hanya menatap Marissa sambil tersenyum, mendukung apa yang dilakukan istrinya sekarang. Sesuatu yang selalu ingin istrinya lakukan sejak dulu. Minta maaf.

“Sejujurnya… aku ingin menanyakan ini ke kamu sejak dulu. Kenapa kamu ngelakuin itu?” ucap Nayna setelah otaknya mampu berpikir jernih.

“Ada banyak hal yang terjadi. Dulu… seperti yang kamu tahu, aku sangat populer di kalangan murid-murid. Begitu juga dengan Reza. Banyak sekali yang ingin mendekati kami berdua, tapi kami selalu menolak mereka.”

“Kamu bisa menghilangkan bagian itu ‘kan Sa? Aku tahu kok kalau kamu itu populer.” Nayna menyindir dengan tampang kesal yang dibuat-buat.

“Hehehe… baiklah, aku langsung ke topik. Dulu… kami selalu sekelas sejak kelas satu. Anak-anak selalu menjodoh-jodohkan kami berdua. Mereka bilang kami sangat cocok seumpama kami pacaran. Tapi seperti biasanya, Reza sama sekali nggak peduli dengan apa yang mereka omongkan. Beda dengan aku. Aku berpikir, mungkin anak-anak emang benar. Mungkin aku dan Reza emang cocok. Mungkin aku bisa bersama Reza. Lalu, semakin lama, aku jadi sangat terobsesi sama Reza. Aku selalu nunggu Reza jatuh hati sama aku, terus nembak aku. Tapi itu nggak pernah terjadi. Yang ada, Reza malah jatuh cinta sama adik kelas yang konyol kayak kamu.”

“Konyol?” Nayna tidak terima.

“Iya, itulah anggapan aku tentang kamu dulu. Konyol. Kamu bahkan berani bentak-bentak anak-anak basket yang terkenal nggak takut apapun itu. Kamu tahu, dulu kamu itu nakutin, Na.”

“Emang aku hantu?” Nayna menggerutu.

Marissa tersenyum, “aku dulu bener-bener suka sama Reza, Na. Tapi…” senyum Marissa tiba-tiba lenyap. “Aku takut.”

“Takut? Kenapa? Apa karena dia?” ucap Nayna sambil menunjuk Irwan tepat di depan hidungnya. Irwan hanya mendengus sambil menangkis telunjuk kurang ajar Nayna.

Marissa menggeleng, “Bukan karena Irwan. Waktu itu aku belum kenal sama dia.”

Nayna mencibir pada Irwan, “kasian…” membuat Irwan ingin menjitak kepala Nayna saat itu juga, tapi tidak dilakukannya.

“Itu karena… Reza sedikit… aneh.” Ujar Marissa.

Nayna mengernyit, “aneh? Aneh kayak gimana?”

“Kamu… belum tahu?” Marissa tampak heran. Nayna menggeleng. “Aku nggak terlalu ngerti, tapi… ada sesuatu dalam diri Reza. Sesuatu yang bukan dia.”

“Sesuatu yang bukan dia? Kamu ini ngomong apa sih? Aku jadi bingung…”

Irwan menghela napas, menyerah dengan ke’dangkal’an otak Nayna. “Reza itu…”

“Nayna!” belum sempat Irwan menyelesaikan kalimatnya, sebuah suara mengalihkan perhatian mereka. Suara Raka.

Raka dan Arika menghampiri Nayna. Mereka tampak terkejut begitu melihat Marissa, terlebih Raka. Begitu pula dengan Marissa.

“Loh… Raka? Kamu kenal Nayna?” Tanya Marissa yang kebingungan.

Nayna kebingungan, “kalian saling kenal?” Raka mengangguk. Ia tampak tidak tenang. Dan Arika menyadari hal itu.

Marissa memandangi Arika, “Apa itu kamu, Ri? Wah, kamu udah gede ya?” ujarnya sambil tersenyum.

“Ya iyalah. Gue ‘kan dikasih makan.” Arika menjawab dengan ketus. Pertanda ia tidak menyukai Marissa.

“Kenapa kalian berdiri aja? Ayo silakan duduk…” Irwan menawarkan tempat duduk.

Raka menatap Irwan dengan bingung. Siapa dia? Tanyanya dalam hati.

“Dia suamiku, Ka.” Ucap Marissa seakan menjawab pertanyaan Raka.

“Suami kamu? Lalu yang waktu itu…” Raka semakin kebingungan. Seingatnya, suami Marissa adalah orang yang sama yang menemui Nayna di kantor, yang mengantar Nayna, dan berani mencium kening Nayna tepat di depan matanya. Lalu siapa orang ini?

Marissa, Nayna, dan juga Irwan saling bertatapan. Dan detik berikutnya mereka tertawa. Raka kembali dilanda kebingungan.

“Kenapa kalian malah ketawa?” tanyanya.

“Kalau maksud kamu yang mengantarku ke mal waktu itu, itu bukan.” Ujar Marissa.

“Namanya Reza. Dia temanku. Ceritanya sangat panjang.” Irwan menambahkan. Dan memerahlah muka Raka karena malu.

♫♥♫

Sumpah rasanya kayak hopeless liat yg baca cuma segitu. But ya udahlah lanjut aja 🤣

Salam rocker,
Idzanami19

Love Disease (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang