The Way Back

592 30 0
                                    

Bagai luka yang ditaburi garam. Seperti itulah perasaan Nayna saat ini. Belum selesai permasalahannya dengan Putri, belum selesai rasa sakitnya karena permasalahannya dengan Putri, sekarang ia harus bermasalah dengan Reza. Dan ia harus merasakan rasa sakit sekali lagi. Membuatnya merasa lelah.

Seperti saran Raka semalam, Nayna tidak masuk kerja. Tubuh dan jiwanya terlalu lelah untuk bisa diajak meeting atau membaca laporan-laporan penuh grafik dan perhitungan yang rumit.

Seharian ini hanya ia habiskan dengan mendekam di dalam kamarnya. Memikirkan apa yang harus ia lakukan dengan masalahnya. Apakah ia harus kabur lagi seperti tujuh tahun yang lalu? Ataukah ia harus tetap berdiri dan mencoba mencairkan konflik yang kian membeku?

Setelah lama ia berpikir, akhirnya Nayna sampai pada satu keputusan. Ia akan tetap berdiri dan menghadapi masalah yang ia buat sendiri. Bisa saja ia memilih untuk pergi seperti tujuh tahun yang lalu, tapi ia tidak bisa. Lebih tepatnya, ia tidak mau. Ia tidak mau lagi menjadi seorang pengecut yang terus lari dari masalah. Ia ingin menjadi Nayna yang kuat. Nayna yang tidak takut apapun. Nayna yang bahkan berani membentak para pemain basket yang bahkan tidak ada yang berani membentak mereka. Nayna ingin kembali menjadi si Lidah Belati. Si Lidah Belati yang telah dewasa.

Nayna meraih smartphone-nya yang dari tadi teronggok tak bernyawa di ujung ranjang. Ia menelepon seseorang dan mengajak orang itu untuk bertemu. Setelah menutup telpon, seketika wajah Nayna tampak berbinar. Sebuah keyakinan muncul dalam dirinya. Everything will be okay.

♫♥♫

Nayna memasuki sebuah restoran yang terletak di pusat kota. Ia mengedarkan pandang ke seluruh ruang. Mencari seseorang yang tadi ia telepon. Pandangnya terhenti di sebuah sudut. Tempat seorang lelaki yang masih memakai pakaian kerja duduk sambil memainkan smartphone-nya.
Nayna tersenyum, lantas menghampiri lelaki itu. “Udah nunggu lama ya, Kak?” sapanya.

Lelaki itu menoleh, lalu tersenyum. Ia adalah Yudhis. “Nggak juga kok. Aku juga baru aja datang.”

Nayna duduk di hadapan Yudhis, “Maaf ya, Kak. Kakak jadi repot-repot nemuin aku di sini. Soalnya ini penting banget sih…” Nayna berkata dengan nada penuh penyesalan.

“Nggak apa-apa kok, Na. Nyantai aja lagi.” Ucap Yudhis. “Oh ya, kamu mau minum apa?” tanyanya sambil melambaikan tangannya pada seorang pelayan. Memanggilnya.

“Jus stroberi aja deh.”

“Jus stroberi dua, sama tiramisunya dua ya mbak. Oh ya, Na, kamu suka tiramisu, ‘kan?” Nayna mengangguk. “Udah mbak, itu aja. Tolong cepat ya.”

“Baik.” Ucap pelayan berwajah oriental itu. Lalu pergi meninggalkan meja Yudhis dan Nayna menuju dapur.

“Jadi… kamu mau ngomongin apa, Na? Kok kayaknya penting banget?” tanya Yudhis begitu pelayan itu pergi.

“Ini…tentang Putri, Kak.” Seketika dahi Yudhis berkerut. “Beberapa hari yang lalu, waktu aku ke rumah Kakak, aku bertengkar sama Putri. Yah… sebenarnya itu salah aku juga sih, karena aku iseng nanya-nanya ke dia tentang masa lalunya. Tapi aku nggak nyangka kalau dia bakalan semarah itu sama aku.” Jelas Nayna panjang lebar.

“Terus hubungannya sama aku apa?”

“Karena Kakak kakaknya Putri.” Dahi Yudhis kembali berkerut. Membuat dua alisnya seakan menyatu menjadi satu garis.

“Kalau kamu ingin aku ngomong ke Putri biar kalian baikan lagi, itu sama sekali nggak mungkin, Na. Meskipun aku adalah kakaknya Putri, bukan berarti aku bisa ikut campur masalah dia, ‘kan?”

“Tapi Putri kayak gitu juga karena Kakak, tahu!”

“Karena aku?” Yudhis bingung. Kenapa permasalahan Nayna dan Putri bisa dikait-kaitkan dengannya?

“Iya. Itu karena Kak Yudhis. Kakak tahu, waktu itu Putri bilang kalau dia ingin kakaknya seperti dulu lagi. Aku… udah tahu semuanya, Kak. Tentang masa lalu Putri. Tentang Kakak yang tiba-tiba membenci Putri.” Jelas Nayna.

“Aku nggak membenci Putri, Na…” ia menghentikan ucapannya karena pelayan tadi datang dan menaruh pesanan mereka di atas meja. Yudhis dan Nayna saling mengucapkan terima kasih padanya. “Aku nggak benci Putri. Aku hanya benci sama sifat-sifatnya dulu. Aku hanya kecewa sama dia.” Lanjut Yudhis setelah pelayan tadi pergi.

“Tapi ‘kan sekarang Putri udah nggak kayak gitu lagi, Kak. Bahkan sekarang dia udah sukses sama karirnya sebagai dokter kejiwaan.”

Yudhis tersenyum sinis, “emang kamu tahu dari mana, Na? Bukannya kamu masih baru beberapa minggu ada di sini?” Nayna terdiam. Ia merengut. “Aku juga baru balik dari Amerika, sama seperti kamu. Tapi selama di sana, aku udah nyuruh teman-temanku di sini buat ngecek keadaan Putri dan kegiatan apa aja yang dia lakuin. Dan kamu tahu apa yang aku dapat? Dia sama sekali nggak berubah, Na. Meskipun dia adalah dokter jiwa, tapi aku rasa, dialah yang butuh dokter kejiwaan.”

“Kakak nggak percaya sama Putri?”

“Apa menurut kamu aku bisa percaya sama dia setelah dia mempermainkan kepercayaanku itu?” Yudhis menggelengkan kepalanya. “Aku bukan keledai yang bisa dua kali masuk ke lubang yang sama, Na.”

“Kakak tahu nggak, Putri bisa aja berubah jika Kakak mau berdamai sama dia. Aku kenal Putri sejak kecil, Kak. Dan Putri bukanlah orang yang mau mengubah sesuatu tanpa ada yang mendorongnya. Dia hanya butuh sedikit dorongan dari orang terdekatnya, Kak.” Nayna menatap Yudhis sambil tersenyum. “Selama ini Kakak hanya memandang Putri seakan Putri adalah orang yang sangat kotor, yang nggak akan mungkin bisa berubah. Tapi kenyataannya, Kakaklah yang membuat Putri jadi seperti itu. Karena pandangan Kakak padanya yang seperti itu, Putri seakan ingin mewujudkan apa yang menjadi pandangan Kakak.”

“Jadi kamu nyalahin aku, gitu?”

“Aku nggak nyalahin Kakak. Karena dalam hal ini, Putri juga salah. Yang aku ingin katakan adalah… berdamailah, Kak. Cobalah untuk berdamai sama Putri. Cobalah untuk menerima Putri. Dengan begitu, Kakak juga akan berdamai dengan rasa bersalah Kakak.”

Yudhis tertegun. Berdamai dengan rasa bersalahnya? Benar, selama ini ia memang selalu merasa bersalah setiap kali melihat Putri. Ia merasa bersalah karena ia tidak bisa menjadi sandaran Putri saat adiknya itu sedang merasa kesepian. Ia tidak bisa berada di dekat Putri setiap Putri mendapat masalah. Yang ia lakukan hanya menyalahkan semua yang dilakukan Putri. Karena Putri telah membuatnya tampak seperti seorang kakak yang jahat. Yang tidak tahu tentang penderitaan adiknya.

Nayna memerhatikan Yudhis yang tiba-tiba saja terdiam. “Maaf kalau perkataanku tadi seperti menyudutkan Kakak. Tapi, itulah yang aku lihat dari semua yang terjadi sama Putri selama ini, Kak. Tentu aku juga bersalah dalam hal ini. Karena aku, yang merupakan sahabat Putri, yang seharusnya merangkul dia saat dia sedang sedih, malah pergi. Itulah sebabnya, Kak, aku ingin memperbaiki semuanya. Tapi untuk itu, aku butuh bantuan Kakak.”

Yudhis menghela napas. “Aku nggak pernah memikirkan tentang ini sebelumnya, Na. Maaf, karena aku udah buat kamu bertengkar sama Putri.”

Nayna tersenyum, “tapi aku nggak mau maafin Kakak.”

Yudhis tergagap, “ke-kenapa gitu?”

“Kakak harus bantuin aku dulu, baru aku terima permintaan maaf Kakak.” Nayna nyengir.

Yudhis tersenyum, “dasar!” ia tertawa kecil. “Oke, apa yang bisa aku bantu?”

“Seperti yang tadi aku bilang, Kakak harus berdamai sama Putri. Terus Kakak baik-baikin aku di depan Putri biar dia sadar, kalau aku terlalu berharga untuk dibuang.” Ujar Nayna dengan cengiran yang semakin lebar. Membuat Yudhis sampai mencubit kedua pipi Nayna dengan gemas.

“Kamu itu ya…!” ucap Yudhis yang gemas.

“Ah, ah! Kak Yudhis! Lepasin… sakit tahu!” pekik Nayna kesakitan. Yudhis pun menghentikan cubitannya dan memeletkan lidahnya. Mengejek Nayna. Nayna mendengus sambil mengelus-ngelus kedua pipinya yang malang.

♫♥♫

Yudhis pulang dengan perasaan tidak keruan. Antara bingung, kesal, malu, dan juga bahagia. Entah apa yang ia rasakan kini. Ia benar-benar bingung. Apa yang nanti harus ia katakan pada Putri?

Begitu sampai rumah, ia segera menuju ke kamar seperti biasanya. Lalu mandi dan ganti baju. Setelah itu keluar menuju meja makan untuk makan malam. Ia sedikit terkejut saat melihat Putri yang sudah duduk di meja makan, tapi keterkejutan itu tidak berlangsung lama. Dengan tenang Yudhis mengambil nasi dan lauk-pauknya, lalu duduk tepat di hadapan Putri. Membuat Putri sampai menatap Yudhis dengan tatapan heran. Sejak kapan kakaknya itu mau duduk di hadapannya?

Putri menunduk begitu Yudhis membalas tatapannya. Tidak ingin membuat Yudhis merasa tidak nyaman, ia pun berdiri. Ingin pindah tempat makan.

“Mau ke mana?” tanya Yudhis sambil menatap Putri dengan tajam.

“E… aku makan di kamar aja. Aku nggak mau selera makan Kakak jadi berkurang karena aku duduk di sini.” Ujar Putri dengan nada bergetar. Merasa takut.

Yudhis tertegun. Ia baru menyadari betapa Putri sangat takut pada dirinya. “Duduk aja. Aku nggak apa-apa kok. Lagipula… ada sesuatu yang ingin aku bicarain sama kamu.”

“Eh?” Putri merasa heran. Tapi pada akhirnya ia pun menuruti perkataan kakaknya untuk kembali duduk. Dan Putri pun kembali makan dengan canggung.

“Maaf.” Ucap Yudhis. Ucapan yang otomatis membuat Putri berhenti makan dan menatap Kakaknya dengan mulut sedikit ternganga. Yudhis menghela napas. “Karena udah buat kamu kayak gini, aku minta maaf.”

Susah payah Putri menelan makanan yang masih bersarang di dalam mulutnya. “Aku… nggak ngerti apa maksud Kakak. Kenapa tiba-tiba Kakak minta maaf?” Putri merasa bingung. Apakah kakaknya ini baru saja salah minum obat? Atau jangan-jangan ia mengidap DID juga seperti pasien yang akan ia rawat itu?

Yudhis menatap Putri dengan tatapan yang lembut. Tatapan yang telah lama Putri rindukan. “Aku baru menyadari ini. Selama ini kamu pasti sangat menderita karena sikap aku ke kamu. Iya, ‘kan?” Putri hanya menunduk. Seolah dengan begitu, ia sudah menjawab pertanyaan kakaknya. “Sejujurnya, aku cuma kecewa sama kamu yang udah melanggar janji kamu sendiri, Put. Karena sebelumnya aku udah dibuat kecewa sama orang tua kita, itulah sebabnya aku nggak bisa maafin kamu waktu itu. Tapi kamu tahu? Selama ini, Kakak selalu dihantui perasaan bersalah ke kamu, Put. Perasaan bersalah karena aku nggak bisa jadi kakak yang baik buat kamu. Karena Kakak udah biarin kamu masuk dalam dunia seperti itu.”

“Kak Yudhis…” Putri tampak menahan haru.

“Kamu mau ‘kan maafin Kakak, Put?” Yudhis berkata dengan sungguh-sungguh. Membuat Putri tanpa terasa meneteskan air mata. Yudhis mengulurkan tangannya untuk menghapus air mata Putri. Sambil tersenyum, jemarinya menghapus air mata yang mengalir di pipi adik tersayangnya itu.

“Seharusnya Putri yang minta maaf, Kak… Putri yang udah bodoh karena mau terjerumus ke dunia seperti itu. Putri benar-benar bingung, Kak. Putri nggak tahu harus cerita ke siapa. Putri… Putri benar-benar menyesal, Kak…” ucap Putri di tengah isak tangisnya.

Yudhis berdiri, lalu menghampiri Putri dan memeluknya. Memberikan kehangatan seorang kakak yang seharusnya sudah sejak dulu ia lakukan. Putri hanya bisa menangis di pelukan sang kakak. Merasa bersyukur karena akhirnya sang kakak telah kembali.

Seperti hujan yang tak pernah benar-benar pergi. Ia akan datang meski waktu harus rela menghitung jarak antara hujan dan kemarau.

♫♥♫

Tetap baca ya gaeesss... Vote-nya juga jangan lupaaa... 😊

Salam rocker,
Idzanami19

Love Disease (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang