Oh, Please!

575 33 3
                                    

Mata teduh itu tak henti-hentinya menatap pantulan dirinya di cermin. Mencari keberadaan pribadi lain dalam dirinya. Mata teduh itu tampak sangat kebingungan, sekaligus sedih. Bagaimana tidak? Selama bertahun-tahun, ia baru menyadari ada pribadi lain dalam dirinya. Pribadi pemberontak yang sangat jauh dari dirinya. Pribadi yang mungkin sangat menderita hingga bisa melakukan hal-hal semacam itu.

Reza memegangi kepalanya yang terasa seperti akan pecah. Matanya yang teduh kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Pandangannya berputar-putar. Lalu sejenak, ia seperti bisa melihat pantulan dirinya yang sedang tersenyum sinis padanya.

"Apa itu lo? Rio? Apa yang tadi itu lo?" Reza bicara pada pantulan dirinya di cermin. Seakan sedang bicara dengan Rio yang ada dalam dirinya.

"Kenapa lo bisa ada? Apa mau lo sebenarnya, hah?!!" lanjut Reza sambil tangannya terus menjambaki rambutnya sendiri. Menahan rasa sakit yang terus saja berputar di kepalanya. Ia terus bertanya. Tapi sama sekali tidak ada jawaban yang keluar. Ia kembali menatap bayangannya. Bayangan itu masih tersenyum sinis padanya. Ah, rasanya ia akan benar-benar gila jika terus seperti ini.

Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Reza menghela napas, lantas bangkit dari duduknya menuju arah pintu. Dan saat ia membuka pintu, matanya membulat begitu saja. Ia benar-benar sangat terkejut dengan apa yang ada di hadapannya.

"L-lo ngapain di sini?" tanya Reza pada orang yang kini sedang berdiri di hadapannya sambil menutupi mulutnya dengan tangan. Menahan rasa keterkejutan yang sama.

Orang itu menatap Reza dengan mata berkaca-kaca. "Jadi, Za itu nama Kakak? Kenapa? Kenapa bisa begini, Kak?" Reza terdiam. Ia tidak bisa menjawab. Ia bahkan tidak mengerti dengan apa yang saat ini sedang ia alami.

"Putri, kenapa lo bisa ada di sini?" Reza bertanya dalam kebingungannya.

Putri terdiam. Tiba-tiba saja air matanya meleleh. "Za itu bukan Kakak, 'kan? Bilang sama aku kalau itu bukan Kakak...!!!" Putri terisak.

Kini, giliran Reza yang terdiam. Tanpa kata, ia hanya menatap Putri dengan tatapan penuh penyesalan. Seolah tatapannya sudah menjawab semua pertanyaan Putri bahwa Za itu adalah ia. Nama yang biasa dipakai orang tuanya untuk memanggil dirinya.

Melihat tatapan Reza yang seperti itu, Putri kembali terisak. "Gimana caranya Kakak bisa jadi pasienku? Apa yang harus aku lakuin sekarang? Apa yang... sebenarnya apa yang sedang terjadi, Kak?" ucapnya di tengah isaknya.

Reza menghela napas. Mencoba mengendalikan seluruh emosinya. "Maafin gue, Put. Gue bahkan baru tahu beberapa waktu yang lalu. Gue... benar-benar minta maaf."

"Jadi... ini sebabnya Kakak nggak ngehubungi aku dan Nayna beberapa hari ini?" Reza mengangguk dengan wajah menyesal. Putri menghela napas. "Apa Nayna udah tahu tentang ini?"

Reza menggeleng, "nggak. Jangan kasih tahu dia dulu, Put. Please..."

"Kak Reza!"

"Gue yang bakal kasih tahu Nayna sendiri. Tapi nggak sekarang, Put. Gue mohon... gue nggak mau dia terluka lagi." Tatapan Reza melemah. Ia benar-benar merasa sangat lelah.

Putri menatap Reza dengan bingung, "tapi..."

Reza meraih kedua tangan Putri dan menggenggamnya. "Gue mohon, Put. Bantu gue. Tolongin gue. Cuma lo yang bisa bantuin gue sekarang. Hm?"

Putri memandangi kedua tangannya yang sedang digenggam oleh Reza. Ini adalah pertama kalinya Reza menggenggam tangannya seperti ini. Dan Reza melakukannya hanya untuk memohon bantuan darinya. Entah kenapa, Putri merasa kecewa. Kenapa ia hanya menjadi jembatan penghubung antara Reza dan Nayna? Kenapa ia tidak bisa menjadi sebuah pulau yang ingin Reza tempati seperti Nayna?

Love Disease (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang