Hari-hari berikutnya, Nayna melewati waktu dengan seluruh kesibukannya di dunia kerja. Ia bersama Raka baru saja sampai di Batam untuk melakukan beberapa kunjungan kerja dan juga mencari tempat yang pas untuk pembangunan cabang hotel perusahaan mereka.
Nayna menghempaskan tubuh lelahnya ke atas ranjang kamar hotel. Ia memejamkan matanya sejenak. Menikmati lelah dan ngilu di setiap tubuhnya. Maklum saja, sejak baru tiba sampai malam hampir menjelang sekarang, Raka sama sekali tidak memberi kesempatan bagi Nayna untuk sekadar menikmati pantai atau melepas penat. Kini, Nayna benar-benar menyadari betapa bosnya itu sangat gila pada pekerjaannya.
Drrrttt… drrrrrtttt…
Ponsel Nayna bergetar, tampaknya sebuah panggilan. Seketika Nayna membuka matanya. Ia menghela napas sebal. Bahkan di saat ia harus istirahat, bosnya itu tetap saja mengganggunya.
Nayna bangkit. Ia meraih ponselnya. Ternyata itu memang dari Big Boss. Nayna kembali menghela napas, lalu mengangkat telepon Raka. “Apa?”
“Apa maksud kamu dengan ‘apa’?” jawab Raka yang ada di seberang. Nayna bahkan bisa membayangkan satu alis Raka terangkat sekarang.
“Iya, iya maaf…”
“Pergi ke pantai sekarang. Aku tunggu.”
Nayna mengernyit, “ngapa…” belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Raka sudah menutup teleponnya. Membuat segala bentuk umpatan kasar seketika keluar dari mulut Nayna. Meski begitu, ia tetap menuruti permintaan Raka. Ia tidak akan mengambil resiko dengan tidak menuruti permintaan bosnya. Yah, meskipun ia tahu, Raka bukanlah orang yang bisa dengan seenaknya memecat karyawannya. Buktinya, sampai sekarang ia masih bisa selamat dengan segala ‘kedisiplinan’ yang ia miliki.
Nayna meraih cardigan-nya, lantas berjalan menuju pantai. Kebetulan, hotel yang ia tempati sangat dekat dengan pantai. Jadi, ia tidak perlu repot-repot memanggil taksi hanya untuk sekedar pergi ke pantai.
Sesampainya di pantai, senja segera menyambutnya dengan jingga di antara birunya langit. Menyapanya. Nayna nengedarkan pandang ke seluruh pantai. Tampak Raka sedang duduk di atas pasir pantai sambil menatap senja. Nayna pun menghampiri Raka.
“Ada apa kamu nyuruh aku ke sini?” tanya Nayna saat ia telah berdiri di samping Raka.
Raka mendongak. Mata indah itu menatap Nayna. Ia tersenyum sinis, “nggak apa-apa. Cuma pengen ngajak kamu ke sini aja.” Jawabnya.
“What?!” Nayna hampir saja memekik. Ia duduk bersimpuh di samping Raka sambil menatapnya dengan tatapan tidak percaya. “Kamu tega banget sih, Ka? Aku capek tahuuuu… pengen tiduuurrr…”
Raka tersenyum mengejek Nayna. “Karena itulah aku nyuruh kamu ke sini. Nggak baik tahu, tidur pas mau maghrib kayak gini.”
“Cih!” desis Nayna. Lantas menata duduknya dan ikut menatap senja yang kian memudar menjadi gelap.
“Kamu tahu nggak, kenapa aku ngajak kamu ke pantai?” tanya Raka.
“Karena kamu pengen gangguin orang yang lagi istirahat,’kan?!” jawab Nayna dengan sinis. Raka hanya tertawa kecil, sedang Nayna mendengus melihat tawa Raka yang sangat hemat.
“Tapi sebenarnya itu cuma alasan kedua.” Ujar Raka dengan serius setelah tawanya reda.
Nayna mengernyit, “alasan kedua? Emang alasan utamanya apa?”
Seketika Raka menoleh dan menatap Nayna dengan tajam. Nayna yang ditatap seperti itu hanya mengedip-ngedipkan matanya. Merasa terpukau. Bagaimana bisa Tuhan menciptakan sepasang mata yang begitu indah?
Raka tersenyum melihat ekspresi Nayna, “kamu kenapa?” tanyanya.
Nayna gelagapan, “uh? E… hehe… nggak, nggak apa-apa kok.” Nayna nyengir.
“Dasar!” Raka kembali menatap senja. “Kamu percaya nggak, kalau aku bilang aku pengen jadi seorang pelukis?”
“Ha?” Nayna melongo. Orang se-perfectionis Raka ingin menjadi pelukis? Nayna menggelengkan kepalanya. “Nggak. Kamu nggak cocok jadi pelukis. Aku lebih percaya kalau kamu pengen jadi dokter atau astronot. Itu lebih pantas buat kamu yang… terlalu kaku.”
Raka seketika kembali menatap Nayna sambil menaikkan satu alisnya. “Kaku?”
Nayna mengangguk. “Apa kamu nggak sadar kalau kamu itu orang yang kaku? Bahkan Arika sendiri juga bilang kayak gitu ke aku.”
“Cih! Yang bener aja.” Gumam Raka. Nayna merengut sambil menggembungkan pipinya. “Tapi itulah kenyataannya, Na. Pelukis adalah cita-citaku sejak kecil. Tapi sayang… aku nggak bisa mewujudkan cita-cita itu. Bahkan sekarang, aku udah berhenti melukis.”
“Kenapa?” tanya Nayna yang mulai penasaran.
“Karena papaku. Dia nggak pernah suka sama cita-citaku itu.” Sekilas, Nayna bisa melihat mata indah itu terlihat sedih. Seperti menyesali sesuatu.
“Papa kamu pasti punya alasan yang kuat untuk itu.”
Raka mengangguk. “Karena dia nggak mau aku jadi kayak Mama. Dulu, mamaku juga seorang pelukis. Dan karena pekerjaannya itu, dia kenal dengan laki-laki itu. Dan karena itu, mereka pisah. Tepat di hari ulang tahunku yang ke tiga.”
Nayna menatap Raka dengan tatapan yang tidak bisa terjelaskan. Entah iba, atau bingung. “Kalau kamu umur tiga tahun orang tua kamu udah pisah, gimana dengan Arika?”
Raka tersenyum, “dia lahir setahun setelah itu. Dari ibu yang lain.”
“Maksud kamu?”
“Papa nikah lagi. Dia nggak akan mau terlihat seperti orang merana di depan teman-teman atau bahkan pesaingnya. Harga diri orang itu sangat tinggi.”
“Kayak kamu?” Nayna tersenyum mengejek.
“Iya. Kayak aku. Puas?” ujar Raka dengan kesal.
“Tapi kelihatannya kamu sayang banget sama Arika meskipun dia bukan adik kandung kamu.”
Raka mengangguk, “karena dia selalu bisa buat aku ketawa di tengah segala tuntutan Papaku. Sama seperti seseorang…” mata indah itu menerawang menembus langit yang mulai gelap.
“Marissa.”
Raka tampak terkejut. “Kamu tahu?”
“Dari Arika.” Ucap Nayna, seakan menjawab pertanyaan Raka yang belum terucap.
“Kayaknya gue harus ngasih anak kecil itu pelajaran deh!” gumamnya dengan kesal. Membuat Nayna tertawa.
“Jangan gitu… dia ‘kan lagi hamil.” Nayna menahan tawa.
“Apa aja yang udah dia ceritain ke kamu?”
“Apa aja. Banyak sih… dan kebanyakan tentang kamu.” Nayna menerawang. Mengingat-ngingat apa saja yang pernah Arika ceritakan padanya. “Tentang kepribadian kamu yang menyebalkan tapi juga baik, prestasi kamu, masa lalu kamu dengan Marissa, semuanya.”
Raka tidak menanggapi. Yang ia lakukan hanya menatap Nayna yang sedang menatap langit berbintang. Tiba-tiba saja ia merasakan desiran yang begitu mengusiknya. Perasaan yang sempat ia kubur dalam-dalam. Suara musik itu muncul lagi. Suara gendang itu. Suara yang pernah muncul beberapa waktu yang lalu. Kini ia tahu suara itu berasal dari detak jantung siapa. Miliknya.
“You’re my good love, Nayna.” Bisiknya sangat pelan. Sangat-sangat pelan. Meski begitu, telinga Nayna masih bisa menangkap suara itu. Seketika Nayna menoleh dan menatap Raka dengan penuh pertanyaan. Raka sendiri tampak sangat terkejut dengan apa yang baru saja ia ucapkan. Ia tidak bisa berkata apapun.
Angin berhembus dengan tenangnya. Seakan menanti apa yang akan terjadi dengan dua manusia berbeda jenis itu. Bahkan ombak pun dengan malu-malu menghampiri pantai. Seakan ikut penasaran dengan apa yang akan Nayna lakukan setelah mendengar pengakuan tidak langsung itu.
“Raka… tadi itu apa?” Nayna bertanya dengan bingung.
Raka menghela napas. “Kenapa kamu tanyakan sesuatu yang udah jelas? I love you, and it’s real. Don’t ask me again.” Tiba-tiba Raka berdiri. “Aku balik dulu.” Ucapnya sambil tersenyum. “Nggak usah bingung kayak gitu. Aku tahu kamu masih milik psikopat itu. Aku nggak akan maksa kamu buat jadi milikku.” Lanjutnya saat melihat Nayna yang masih kebingungan. Ia menatap langit sejenak. Merasa lega. Setidaknya, ia sudah mengatakannya. Kemudian ia pergi kembali ke hotel. Meninggalkan Nayna yang termenung sendirian menatap malam.♫♥♫
Haiiii... Selamat membaca kisah Nayna dkk lagiiii 🤗
Vote dan comment yaaa~~Salam rocker,
Idzanami19
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Disease (TAMAT)
RomanceReza, nama yang hampir tujuh tahun ini tidak pernah dilupakannya. Nama yang sudah terlalu dalam terpahat dalam hatinya. Sebuah nama yang selalu membuatnya terombang-ambing dalam pusaran laut yang dalam. Lalu menenggelamkannya tanpa bekas. Nayna meng...