The Beginning

757 31 3
                                    

Beberapa bulan kemudian...

Mereka berdua tampak sangat tegang. Beberapa bintik keringat mulai menghiasi dahi keduanya. Sesekali mereka menghela napas.

“Apa masih belum keluar juga?” Raka bertanya dengan tidak sabar.

“Bersabarlah. Sebentar lagi juga pasti keluar.” Nayna menimpali.

Raka menghela napas. Ia berdiri, lalu seperti beberapa waktu sebelumnya, ia kembali berjalan mondar-mandir. Nayna yang sudah pusing melihat tingkah Raka, sebisa mungkin tidak melihatnya. Ia hanya diam, sambil sesekali mengintip ruangan itu dari balik kaca pintu. Tapi percuma, ia tidak bisa melihat apapun.

Tiba-tiba terdengar suara melengking yang menyita pendengaran keduanya. Raka dan Nayna otomatis mendekati pintu pemisah itu. Mereka mengintip melalui kaca pintu, tetapi tidak ada tanda siapa pun akan keluar sampai akhirnya keduanya menjauhi pintu begitu melihat sosok berbaju hijau mendekati pintu. Seseorang akhirnya keluar dari ruangan itu.

Raka dan Nayna kembali tegang menanti kata demi kata yang akan diucapkan sosok tadi. Tanpa sadar mereka berdiri berdekatan, memasang kuping dengan benar supaya segera bisa menangkap beberapa petuah dari sosok berpakaian hijau meja operasi itu.

Sosok itu tersenyum melihat tingkah kedua manusia di hadapannya. “Dia laki-laki.” Ucapnya sambil melepas handscoon yang masih membungkus tangannya.

Nayna dan Raka saling menatap satu sama lain. Senyum keduanya merekah dengan indah, lalu tanpa sadar keduanya saling berpelukan. Mereka merayakan euforia kelahiran seorang manusia. Dokter itu hanya menggelengkan kepala, lalu pergi begitu saja. Membiarkan kedua manusia itu saling merayakan kelahiran makhluk mungil yang masih terbungkus kesucian.

♫♥♫

Angin berhembus seakan menggoda siapapun untuk memejamkan mata dan menikmati aliran udara yang berputar-putar. Tempat itu terlihat cukup ramai. Beberapa pasien berlalu lalang bersama keluarga ataupun perawat mereka. Di salah satu sudut tempat itu, terlihat Raka sedang duduk. Ia menatap senja yang mulai bersiap memberi pertunjukan pada alam semesta.

“Kamu ngapain di sini? Aku pikir tadi udah pulang.” Raka menoleh. Nayna. Ia pun duduk di samping Raka.

Raka kembali mengalihkan pandangannya pada langit. Ia menunjuk senja di ujung cakrawala. Senyum merekah di wajahnya.
Mau tidak mau Nayna pun mengikuti arah telunjuk Raka. Ia tersenyum. “Wahh... cantik...”

Raka tertawa kecil saat melihat ekspresi Nayna. “Ngapain kamu di sini? Arika lagi tidur ya?”

Nayna mengangguk. “Iya. Kayaknya dia bener-bener kecapekan deh.” Ia meringis saat membayangkan bagaimana jika saat ini ialah yang sedang berada di posisi Arika. “Kamu udah lihat bayinya, kan?”

“Kenapa? Dia keren kan? Iya lah jelas... siapa dulu pamannya.” Raka berkata dengan penuh percaya diri.

Nayna memutar bola matanya jengah. “Padahal nggak mirip kamu sama sekali.”

“Aishhh...” Raka memasang wajah kesalnya. Ia kembali memandang langit di kejauhan. “Na, ada yang mau aku omongin sama kamu.”

“Apa?”

“Beberapa bulan lalu, aku ketemu dan ngobrol sama Reza.” Nayna diam. Raka memerhatikan ekspresi Nayna. “Aku pikir... dia bener-bener orang yang baik. Rasanya sekarang aku paham kenapa kamu suka sama dia... bahkan sampai sekarang.” Nayna otomatis menoleh. Ia menatap Raka sebentar, lalu kembali mengalihkan pandangannya.

“Na, apa kamu menyesal?” Raka kembali bertanya. Ia terus memerhatikan Nayna.

Nayna tersenyum dengan canggung. “Enggak. Aku nggak akan pernah menyesal pernah bersama dengannya. Bagiku... dia tetap permulaanku. Dia sangat penting. Sangat.”

“Jadi... kamu akan kembali padanya?”
Kali ini Nayna tidak menjawab, ia hanya tersenyum sambil menatap Raka.

Raka menghela napas. Ia kembali menatap langit. “Sepertinya aku nggak akan pernah dapat kesempatan ya...” Raka berdiri, ia merenggangkan kedua tangannya. “Hei, Na. Kamu tahu kan kalau aku suka kamu?”

Nayna mengangguk. “Lalu?”

Raka mengacak rambutnya frustasi. Ia menoleh menghadap Nayna. “Sumpah, apa kamu nggak terlalu kejam? Hei, setidaknya beri aku kesempatan... hm?”

“Oke.”

“Apa?” Raka terkejut. Telinganya seakan masih tidak bisa memproses getaran suara yang tadi diucapkan Nayna. “Kamu bilang apa?”

Nayna tersenyum. “Iya. Oke... tapi kamu harus banyak usaha. Oke?” Ia berdiri, lalu pergi begitu saja setelah berhasil membuat Raka tersenyum lebar sendirian.

♫♥♫

Nayna berjalan di antara lorong rumah sakit sambil sesekali memerhatikan orang-orang yang berlalu-lalang melewatinya silih berganti. Ia pun berpikir tentang waktu yang berlalu begitu saja, seperti orang-orang yang ada di sini. Mereka seperti arus yang harus terus dilewati untuk mencapai tempat tujuan. Seperti jalanan yang harus ditapaki agar bisa sampai di tempat peraduan. Nayna tersenyum. Sesungguhnya, ia ingin menertawai diri dan keadaannya sendiri. Tapi, ia sekali lagi berpikir, “apa ia pantas untuk melakukannya?”

Ia masih saja berjalan ketika tiba-tiba langkahnya terhenti. Wajahnya pias. Ia tak bisa berkata-kata. Lalu perlahan, ia mulai melangkah lagi, tapi kali ini dengan tergesa-gesa. Ia berlari menghampiri beberapa orang berpakaian putih yang sedang mendorong tempat tidur pasien dengan tergesa-gesa. Tanpa sadar ia ikut mendorong. Air matanya menetes tanpa perintah. Ia kalut.

“Kak Reza...” Lirihnya.

♫♥♫

Jeng jeng jeng jengggg~~~

Akhirnya aku dapat sinyal buat update part ini. 😌
Seperti biasa, maafkan keterlambatan yg sangat lambat ini 😞

Kurang dikit lagiiii... Semangaaattt~~ 😋

Salam rocker,
Idzanami19

Love Disease (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang