Seekor kupu-kupu muda tampak berusaha keluar dari kepompong yang menjeratnya selama beberapa minggu. Dengan hati-hati ia menapaki sedikit demi sedikit ranting tempat kepompong itu berada. Ia ingin terbang, tapi terlihat masih ragu. Beberapa saat ia hanya mengamati sekeliling dengan matanya yang mungil. Lalu ketika ia sudah yakin, ia pun terbang. Menuju langit biru yang lepas tak berbatas. Menuju kebebasan.
Reza melihat semua itu sambil tersenyum. Dalam hati ia berdoa, berharap semoga kupu-kupu itu dapat bertahan dalam kebebasan yang telah ia dapat dengan susah payah. Tidak sepertinya yang masih harus bertahan dalam kepompong sedikit lebih lama lagi.
“Kak Reza...” Suara itu terdengar begitu lembut. Reza hampir saja mengira itu adalah suara Nayna sungguhan, bukan sekedar khayalannya. Namun, semua itu rasanya tidak mungkin. Nayna bahkan tidak tahu kalau ia ada di sini, di rumah orang tuanya.
“Kak Reza... ini aku.” Reza terbelalak. Ia pun segera menoleh.
“Nayna?”
Nayna tersenyum, lantas duduk di kursi yang ada di depan Reza.
“Gimana kabar Kakak? Baik, ‘kan?”
Reza mengangguk. Jujur, ia bingung harus bereaksi seperti apa terhadap kedatangan Nayna yang mendadak ini.
Hening. Baik Nayna maupun Reza tak bisa mengucapkan satu patah kata pun. Mereka membisu sedemikian rupa dengan pemikiran mereka masing-masing.
“Tahu dari mana kamu kalau aku di sini?”
“Dari bibi yang ada di rumah kamu. Kenapa? Apa aku nggak boleh tahu tempat ini?” Nayna terus memerhatikan Reza yang sejak tadi sama sekali tidak mau melihatnya. Reza memang berbicara dengannya, tapi pandangan matanya sama sekali tidak kepadanya. Reza seakan sedang bicara dengan tanaman mawar yang berada di sampingnya.
Reza menghela napas. Ia menatap Nayna dengan dingin. “Kalau sudah tahu, kenapa kamu masih ke sini?”
“Kak Reza...”
“Pergi.”
Nayna terkejut. Matanya membulat. “Apa kamu masih marah sama aku?”
Reza tidak menjawab. Ia malah mengalihkan pandangannya dari Nayna.
“Kak... jujur aku masih bingung sama kesalahanku. Aku ngerasa nggak seharusnya kamu kayak gini ke aku. Seharusnya aku yang marah sama kamu, Kak!” Nayna berkata dengan menggebu-gebu. Rasanya hari ini ia begitu emosional. Ia tidak tahu apa dan di mana letak kesalahannya. Ia merasa seharusnya ia yang saat ini marah kepada Reza karena telah berlaku kasar malam itu, tapi apa ini? Mengapa justru Reza memperlakukannya seperti ini?
“Kamu pengecut, Kak!” Nayna berkata dengan kesal, sedang Reza tetap saja diam membisu. Nayna berdiri dari tempat duduknya. Ia ingin segera pergi dari tempat ini ketika tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang sama sekali tidak asing baginya.
“Kak Rezaaa... kamu di mana?”
Nayna menoleh ke arah datangnya suara. Matanya membelalak tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Begitu pula dengan pemilik suara itu yang terdiam begitu melihat Nayna.
Nayna tersenyum masam. “Putri?”
“Na-Nayna? Ka-kamu kenapa bisa ada di sini?”
“Apa?” Nayna tersenyum sinis. “Jadi cuma kamu yang boleh di sini, sedang aku nggak? Pantas aja kamu tadi ngusir aku ya, Kak?” Nayna menatap Reza tajam.
Reza bergeming.
Nayna menghela napas kesal. “Sh*t!” Umpatnya. Lantas mengambil tasnya dan pergi begitu saja meninggalkan Reza yang masih diam. Nayna bahkan menabrak bahu Putri yang masih bingung dengan apa yang terjadi.
“Na-Nayna! Tunggu!” Putri mengejar Nayna yang terus berjalan dengan amarah yang sudah membumbung tinggi.
Reza menghela napas. Matanya memerah, lalu detik berikutnya, satu butir air mata lolos melewati pertahanan jiwanya. Ia menangis. Lagi.
♫♥♫
Putri menggedor-gedor rumah Nayna sudah sejak setengah jam yang lalu. Sebenarnya ia sudah tahu sandi pintu rumah Nayna, tapi ia tetap gagal membuka pintunya. Tampaknya Nayna baru saja mengganti kata sandi pintunya.
“Nayna! Buka pintunya!! Nayna!!” Putri berteriak frustasi. Lalu kembali menggedor pintu Nayna. “Nayna... buka pintunya... Nayna...” Putri terduduk di depan pintu rumah Nayna. Ia mengacak-acak rambutnya frustasi.
Putri merasa sangat bersalah. Sejak awal, ia seharusnya memang memberitahu Nayna tentang keadaan Reza sehingga kejadian seperti ini tidak akan pernah terjadi. Tapi ia tidak bisa karena Reza tidak memperbolehkannya. Putri menghela napas. Ia benar-benar berada di situasi yang membuatnya tidak bisa memilih.
“Oi, lu siapa?” Sebuah suara mengagetkan Putri. Ia menoleh, menatap raut yang tampak tak asing di depannya.
“Kamu sendiri siapa?” Putri membalas pertanyaan orang yang berdiri tak jauh di depannya dengan risih. Menurut Putri, sosok di hadapannya ini cukup unik. Penampilannya seperti berandalan, tapi ia cukup terawat. Rambutnya coklat muda, hampir seperti pirang – dan tampak seperti rambut aslinya. Lalu wajahnya... Putri sama sekali tak bisa berpaling dari mata itu.
Sosok tadi entah bagaimana sudah duduk di sampingnya begitu saja. Ia masih tidak bisa melepaskan diri dari mata itu. Tiba-tiba sebuah tangan terulur di hadapannya. Mata itu mengerling, menyadarkan Putri.
“Kenalin, gue Arika.”
Putri segera menyalami tangan itu dengan canggung. “Putri...”
“Ah... jadi lo Putri yang itu?” Putri tampak bingung. Arika menyadari itu. “Lo temennya sister, ‘kan?” Putri semakin bingung, sedang Arika hanya bisa menghela napas. “Nayna... lo temennya, ‘kan?”
Putri baru mengerti maksud perempuan yang dianggapnya sedikit aneh ini. “Kamu kenal Nayna?”
Arika mengangguk dengan antusias. “Tentu aja! Dia ‘kan kakak ipar gue!”
Putri melongo, sedang Arika tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Putri. Arika memerhatikan wajah Putri yang tampak kusut. Ia menjentikkan jarinya di depan wajah Putri. “Jangan ngelamun. Entar penunggu sini marah loh.”
Tiba-tiba Putri bergidik. “Jangan bercanda, ih.” Arika pun tertawa. Lagi.
“Ayo!” Arika berdiri secara tiba-tiba sambil menggamit tangan Putri.
“Ke mana?” Putri menatap Arika dengan bingung.
Arika menghela napas. “Bukannya lo mau ketemu sister?”
“Tapi sandinya...”
Klik.Belum sempat Putri menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba terdengar suara pintu yang terbuka. Putri menatap Arika dengan tidak percaya. Sedang yang ditatap malah mengerlingkan matanya sambil tersenyum lebar. Arika pun segera menarik Putri dan membawanya masuk ke dalam rumah Nayna. Putri yang masih kebingungan pun hanya bisa pasrah mengikuti ke mana perempuan gila ini membawanya. Dalam hati, ia terus bertanya-tanya, bagaimana caranya Nayna bisa mengenal perempuan gila ini?
♫♥♫
Mereka saling menatap dan memerhatikan dengan ekspresi masing-masing: Arika dengan kerlingan menyebalkannya dan Putri dengan wajah penasarannya. Mereka saling memerhatikan dalam waktu yang cukup lama.
“Kalian ngapain?” Mendengar suara itu, Arika dan Putri pun otomatis saling memalingkan muka dengan canggung.
Arika menoleh dan memancarkan senyuman lebarnya. “Brother!!”
Putri pun ikut menoleh dan terkejut begitu melihat Raka ada di depannya. Sesaat, ia merasa kagum dengan perawakan Raka. Tapi detik berikutnya, ia menyadarkan diri.
“Ada apa? Mana Nayna?” Raka bertanya sambil melihat sekelilingnya.
Arika menghela napas. “Itu yang dari tadi gue sama dia coba pikirin... Sister nggak ada di kamarnya atau di manapun di rumah ini.”
Raka menghela napas berat. “Sebenarnya ke mana orang itu? Dia juga nggak angkat telpon.” Ia terdiam sejenak, lalu memerhatikan Putri. “Kamu...?”
“Aku Putri, teman Nayna.” Jawab Putri sambil tersenyum.
Raka balas tersenyum, membuat Putri terdiam beberapa detik dengan muka memerah. Tentu saja, senyuman Raka memang sangat ampuh untuk membuat muka perempuan mana pun memerah. Nayna juga mengakui hal itu.
“Putri, apa... kebetulan kamu tahu Nayna ada di mana?”
Putri menggeleng dengan lemas. Ia menatap Raka. “Aku mau ngajak kamu ngobrol sebentar, boleh?”
Raka memerhatikan Putri dengan ekspresi yang tak bisa tergambarkan. Seakan ia tahu, ada hal besar yang akan diceritakan oleh Putri. Sesuatu yang sayangnya sama sekali tidak baik.
♫♥♫
Gelap. Dunia terasa begitu gelap dan pudar dalam pandangannya. Semua hal rasanya tidak pernah menjadi benar. Semuanya selalu salah, bahkan saat ia merasa semuanya akan baik-baik saja. Kenyataannya, tidak ada yang benar-benar baik-baik saja. Nayna sadar itu.
Nayna menangis tersedu. Sambil duduk di ayunan taman seperti biasa, ia memegangi dadanya yang terasa sesak. Ia menangis. Ia tersedu di hadapan bunga-bunga, bintang-bintang, bulan, dan malam. Ia merasa tenggelam lagi. Ia merasa terapung-apung di lautan yang dalam sekali lagi.
Raka melihat semua itu. Ia memandangi Nayna dengan perasaan tak menentu. Ia sudah tahu semua yang terjadi dari Putri. Semuanya.
Perlahan, Raka menghampiri Nayna. Ia berdiri tepat di hadapan Nayna. Ia ingin memeluknya. Ia ingin merengkuh Nayna, tapi ia hanya memerhatikan Nayna dengan mata sendunya.
Nayna mendongakkan kepala dan menatap Raka dengan matanya yang sembab. “Kenapa? Kenapa jadi begini? Kenapa? Bagian mananya yang salah? Kenapa jadi begini? Kenapa??!”
Raka tak tahan lagi. Ia pun merengkuh Nayna, membiarkannya menangis dalam pelukannya. “Nggak ada yang salah. Semuanya pasti bakal baik-baik aja. Nggak ada yang salah...” Ia mempererat pelukannya, sedang Nayna menangis semakin kencang dan menenggelamkan dirinya dalam pelukan Raka.
♫♥♫Akhirnya UASku kelar juga... 😫
Maaf kalian jadi nunggu lama (lagi) ☹️
Btw kalian ada yg tau nggak wattys 2019 itu kayak gimana maksudnya? Itu kayak award gitu nggak sih? Kalau ada yg tau, comment aja ya... Inbox juga nggak pa2 kok 😅Btw makasih ya buat kalian yg masih baca Love Disease, ngevote, bahkan sampai jadiin Reading List. Makasih banget... Aku terharu gitu novel pertama yg kutulis dari SMA ini ternyata ada yg suka :") percayalah itu semua selalu bikin aku semangat lagi. 😋
Love you gaeeesss... Tetep baca, vote, dan comment yaaa 😘
Salam rocker,
Idzanami19
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Disease (TAMAT)
RomanceReza, nama yang hampir tujuh tahun ini tidak pernah dilupakannya. Nama yang sudah terlalu dalam terpahat dalam hatinya. Sebuah nama yang selalu membuatnya terombang-ambing dalam pusaran laut yang dalam. Lalu menenggelamkannya tanpa bekas. Nayna meng...