Angin dingin itu menusuk-nusuk. Menciptakan rasa sepi yang begitu menyiksa kalbu. Begitu menyiksanya sampai ia ingin berteriak. Meneriakkan seluruh rasa yang terpendam dalam dada. Semua rasa marah, kesal, dan kecewa pada dirinya sendiri. Tapi, apa yang bisa ia lakukan sekarang? Ia hanya seorang ‘sandera’.
Reza menatap ke luar jendela, lama sekali. Sesekali ia menghela napas. Terkadang ia menutup matanya. Merasakan perih yang terus menggerogotinya. Ia berpikir, apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus menyerah? Lalu ia berpikir lagi, ini hanyalah DID. Ia pasti bisa melakukannya. Lagipula bukankah selama ini ia baik-baik saja?
Terdengar suara pintu terbuka, Reza menghela napas. Ia bisa menebak siapa yang datang dan apa yang akan diucapkan orang itu.
“Za, kamu baik-baik saja, ‘kan?” Itu adalah mamanya.
Reza menoleh dengan senyum terbaiknya, ia mengangguk. “Seperti yang Mama lihat.”
Melihat anaknya tersenyum seperti itu, otomatis wanita setengah baya itu pun ikut tersenyum. Betapa bahagianya melihat seorang anak yang telah ia besarkan selama bertahun-tahun tersenyum seperti itu. Tetapi, di balik senyuman itu, ia tahu, anaknya tidak sebahagia itu. Meski begitu, ia tetap berusaha tersenyum untuk setidaknya membuat sang anak merasa lega.
“Mama suka dengan psikiater itu. Bagaimana menurut kamu, Za?” wanita itu duduk di samping Za, anaknya.
Za tersenyum simpul. Membayangkan tingkah-tingkah aneh Putri. Tetapi senyumnya lenyap begitu ia mengingat Nayna. Namun, ia tetap berusaha tersenyum. “Ya… Putri itu orang yang baik… dan juga berantakan.”
Mama Reza tertawa, “Kamu benar.” Ia memerhatikan Reza dengan tatapan menyelidik. “Tapi Mama masih penasaran, gimana caranya kamu bisa kenal sama dia?”
“Za pikir dulu Putri udah cerita deh. Dia itu adik kelas Za waktu SMA… dan karena Za cocok berteman sama dia, ya kami berteman sampai sekarang.” Jelas Reza. “Ah, dan juga, Mama jangan mikir macam-macam tentang hubungan kami berdua. Za tahu apa yang sedang Mama pikirin, jadi hentikan saja imajinasi tak berdasar Mama itu. Oke?” tambahnya saat ia melihat gelagat mamanya.
Wanita itu tersenyum. Senyum malu karena isi kepalanya ketahuan. “Iya-iya, Mama ngerti. Makanya cepat kenalin cewek kamu ke Mama. Oke?”
“Kembaliin HP Za dulu.” jawab Reza sambil menadahkan tangannya. Tapi bukan HP yang Reza dapat, melainkan high five. Reza merengut.
Terdengar bunyi bel rumah dipencet. “Sepertinya itu Putri, Mama bukain pintu dulu ya? Dagh…” Wanita itu pun berlalu meninggalkan kamar Reza. Begitu pula dengan senyuman Reza yang ikut lenyap.
♫♥♫
“Aku heran, kenapa Rio belum keluar juga ya?” Putri bertanya-tanya sambil memerhatikan Reza dengan tatapan kedokterannya.
“So, maksud lo, lo pengen Rio muncul lagi gitu?” Reza menjawab dengan sebal.
“Bukannya gitu… tapi aku pengen tahu aja kayak apa Rio itu. Kenapa dia bisa muncul dan apa alasan dia bisa ada. Meskipun sebenarnya pertanyaan ini seharusnya aku ajuin ke kamu, tapi karena Kak Reza lupa apa yang terjadi dulu, kita nggak punya pilihan lain selain nanya ke Rio. Iya, ‘kan?”
“Apa maksud lo… dia pasti tahu apa yang terjadi sama gue di masa lalu, gitu?”
“Aku nggak bilang itu pasti. Tapi mungkin aja kayak gitu.”
“Jadi itu cuma persepsi lo aja?”
“Bukan cuma persepsi…” Putri mulai sebal.
“So, what?”
“Udah ah. Aku males ngomong sama Kakak.”
Reza tersenyum dengan wajah menyebalkannya. “Gue baru lihat ada dokter yang ngambek sama pasiennya.”
Putri menoleh dengan kesal pada Reza. “Aku rasa ini adalah pengalaman terburukku karena punya pasien kayak Kak Reza yang sama sekali nggak bisa diatur plus nyebelin. Dengar ya Kak, selama aku jadi dokter, nggak pernah sekalipun aku ngerasa kesulitan merawat mereka. Yah… meskipun kadang aku harus lari-lari ke sana ke mari ngejar-ngejar pasien yang kabur, tapi aku merasa benar-benar enjoy ngerawat mereka. Nggak kayak sekarang. Mungkin sekarang aku memang cuma harus stay di sini tanpa harus ngejar pasien kabur atau kena jambak mereka, tapi tetap aja aku ngerasa ini yang terberat buat aku. Aku…” Tanpa sadar Putri mengatakan semuanya. Dan ia terdiam begitu menyadari ekspresi wajah Reza yang berubah kelam.
“Maaf…” lirih Reza. “Mungkin ini emang sulit, tapi, cuma lo satu-satunya harapan gue, Put. Jadi sorry banget, tapi gue nggak bisa ngelepasin lo sekarang. Sembuhin gue. Please.”
Putri gelagapan. Ia sudah salah bicara. Ia menepuk-nepuk mulutnya sendiri sambil mengumpati diri sendiri dengan suara pelan.
♫♥♫
Bulan menggantung di langit dengan indahnya. Bentuknya bagaikan senyuman seorang gadis. Manis sekali. Nayna mengamati bulan dengan hati tak menentu. Bingung akan apa yang kini sedang ia rasakan. Entah apakah itu senang, sedih, atau justru marah? Yang ia lakukan hanya menatap bulan. Tanpa kata.
Sesekali ia menyesap kopi pahit buatannya. Kopi… ah, ia benar-benar sangat merindukan si penggila kopi yang sangat dikenalnya. Tetapi, apakah saat ini ia bisa bilang bahwa ia mengenalnya?
Nayna menghela nafas. Haruskah semua berakhir seperti tujuh tahun lalu? Menunggu tanpa arti yang jelas. Padahal ia baru saja bahagia bisa kembali bersamanya, tapi kenapa semuanya harus menjadi rumit? Kenapa hubungannya dengan Reza tidak pernah lancar? Lagi-lagi Nayna menyalahkan jalan hidupnya. Menghujat takdirnya. Menghujat Tuhan.
♫♥♫
Hari-hari terus berlalu bagai kereta api yang terlihat di jalan. Ia terus melaju hingga sampai pada pemberhentiannya yang terakhir. Stasiun. Seperti juga kereta api, hati pun sama. Hati terus saja berkelana, mencoba hati satu dan yang lain. Meski begitu, pada akhirnya hati akan berhenti di pemberhentiannya. Hati yang dipenuhi cinta yang sesungguhnya. Cinta sejati? Mungkin.
Hati Nayna kini tampaknya sedang mengalami hal itu. Meski sejak awal ia yakin bahwa perasaan dan hatinya adalah milik Reza, tapi kini entah kenapa ia jadi ragu. Bukan karena ia tidak lagi mencintai Reza, tapi lebih karena kebimbangan yang terus menghantuinya. Ia bimbang akan cinta Reza. Terlebih setelah apa yang terjadi beberapa waktu lalu. Nayna selalu bertanya pada dirinya sendiri, sanggupkah ia dengan itu?
Lalu sekarang, muncul Raka dengan senyum manisnya. Lelaki itu menawarkan cintanya pada Nayna di saat ia sedang berada dalam kebimbangan hatinya sendiri. Apa yang akan ia lakukan jika seperti ini? Apa yang harus ia pilih?
“Na!”
Nayna tampak terkejut. “E, iya, Kak?”
“Kamu ngelamun lagi.”
Nayna menghela napas, “maaf ya, Kak. Padahal aku yang ngajak Kak Yudhis buat makan siang bareng, tapi malah aku ngelamun terus.”
Yudhis tersenyum. Ia tahu beberapa waktu ini Nayna sedang banyak pikiran. Itulah mengapa ia langsung menyetujui ajakan makan siang Nayna. Ia ingin – setidaknya – membantu menenangkan pikiran sahabat adiknya yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri ini.
“Kayaknya akhir-akhir ini kamu lagi banyak pikiran ya, Na?”
“Nggak kok, Kak.” Nayna tersenyum.
“Aku kenal kamu sejak kamu masih kecil, Na. Jadi, jangan kira kamu bisa ngebodohi aku dengan senyum palsumu itu. Aku tahu kamu lagi nggak baik-baik aja.”
Nayna menghela napas, “aku bingung, Kak.” Ia berhenti sejenak. “Aku bingung dengan apa yang harus kulakukan.”
“Apa ini tentang Reza?”
Nayna tampak terkejut. “Kakak tahu tentang Kak Reza?”
“Menurutmu?” Yudhis tersenyum. “Sudah aku bilang, kan? Aku punya banyak mata-mata di sini.”
“Kak Yudhis!”
“Putri udah cerita semuanya ke aku, Na. Tentang dia, termasuk tentangmu dan pacarmu itu.” Ia melirik Nayna sebentar sambil meminum jusnya. “Juga tentang Pak Raka.”
“Nyebelin. Padahal dia bilang nggak bakalan cerita ke siapa-siapa.” Nayna mengerucutkan bibirnya.
Yudhis tertawa. “Tapi, apa kamu tahu apa yang lucu di sini?”
“Apa?”
“Kalian semua sama-sama sulit mengungkapkan apa yang ingin kalian rasakan. Entah itu kamu atau Reza atau Pak Raka. Kalian semua sama.”
“Maksud Kakak?” Nayna tampak bingung. Otaknya masih saja sulit diajak berpikir.
“Katakan, Na. Bicara. Kamu itu hanya perlu bicara dengan mereka dan dengan dirimu sendiri. Cari tahu apa yang sebenarnya kamu rasakan? Siapa yang benar-benar kamu cintai dan perlu kamu cintai? Siapa yang benar-benar kamu inginkan dan butuhkan? Tanyakan hal itu pada hatimu.”
Nayna terdiam. Apa yang ia inginkan? Apa yang sebenarnya ia butuhkan? Siapa yang benar-benar ada di hatinya? Apa... yang bisa membuatnya bahagia? Tiba-tiba semuanya terasa begitu terang. Nayna tersenyum. Begitu pula dengan Yudhis."I love you, Kak." Nayna tersenyum senang.
"Aku tidak akan bilang 'I love you too' kalau album One Ok Rock yg kamu janjikan masih belum ada."
Nayna pun otomatis merengut.
♫♥♫Hai haiiii... Minal aidzin ya buat yg merayakan...🙏🤗
Mohon maaf jika author yg malas ini ada salah... (Kayaknya banyak yaa) 😟Tinggal menunggu waktu sampai cerita ini benar2 berakhir... But, aku masih punya cerita lain kok... Silakan kunjungi cerita2ku yg lain yaaa... 😘
Salam rocker,
Idzanami19
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Disease (TAMAT)
RomanceReza, nama yang hampir tujuh tahun ini tidak pernah dilupakannya. Nama yang sudah terlalu dalam terpahat dalam hatinya. Sebuah nama yang selalu membuatnya terombang-ambing dalam pusaran laut yang dalam. Lalu menenggelamkannya tanpa bekas. Nayna meng...