Suasana café itu tampak lengang. Maklum, sekarang bukanlah jam makan siang. Reza duduk sambil meminum kopi di salah satu sudut café. Ia tampak sangat lelah. Matanya terus memandang ke luar kaca. Seperti dengan begitu, segala permasalahannya akan terangkat.
“Sorry, gue telat. Lagian kenapa lo tiba-tiba ngajak ketemuan kayak gini, sih? Untung aja tadi rapatnya udah kelar.” Cerocos Irwan begitu sampai, lalu duduk berhadapan dengan Reza. Ia menghela napas, “sumpah, capek banget. Apalagi si bos lagi kumat, sedikit-dikit marah. Kesel gue lama-lama.” Lanjutnya dengan nada kesal. Reza masih diam. “Za, lo kenapa?” tanyanya saat melihat temannya itu masih asyik melamun.
Reza menghela napas berat, “gue… mau berhenti, Wan.” Ucap Reza sambil mengalihkan perhatiannya pada Irwan.
Irwan mengernyit, “maksud lo? Lo mau berhenti kerja, gitu?” Irwan menatap Reza dengan bingung. Kenapa lagi ini anak? Pikirnya.
“Bukan gitu… maksud gue berhenti gantiin lo buat jadi ‘sopir’ pribadi Marissa.” Jawab Reza cepat.
“Kenapa begitu? Lo ‘kan tahu sendiri gue lagi sibuk banget sekarang. Bukannya elo sendiri yang nawarin diri? Bini gue lagi hamil, Za. Gue harus lebih jagain dia. Lo tahu sendiri ‘kan kalau kandungan Marissa itu lemah? Tapi gara-gara proyek sialan ini, gue harus ngerelain waktu gue buat kerja.”
“Gue tahu, tapi… gue tetap nggak bisa. Maafin gue, Wan. Gue janji gue bakal bantuin lo buat nyelesaiin proyek ini dan…” Reza tidak menyelesaikan kalimatnya karena Irwan sudah menyela.
“Gue nggak bisa ngebiarin elo ngambil proyek ini, Za. Lo sendiri yang udah nolak mentah-mentah proyek ini dan sekarang elo bilang lo mau ngambil proyek ini lagi? Lo jangan egois, Za!”
Reza lagi-lagi menghela napas, tampak menahan tangis. “Gue… nggak mau kehilangan dia lagi, Wan.” Ucapnya.
Irwan tertegun. “Dia? Maksud lo… cewek yang udah bikin lo jomblo seumur hidup itu?”
Reza mendesah, “dia berharga buat gue. Dia satu-satunya orang yang bisa buat gue ngerasa hidup. Itulah sebabnya, kali ini… gue nggak akan biarin dia pergi lagi.”
Irwan menghela napas, “Gue ngerti, tapi…”
“Gue yakin, elo pasti bisa bagi waktu lo, Wan.” Ujar Reza yakin. “Lagipula… Melody pasti bakalan marah besar kalau dia tahu papanya lebih mentingin pekerjaan dari pada dirinya.” Reza tersenyum menggoda. Mau tak mau, membuat Irwan tersenyum juga.
“Cih, sialan lo.” Umpat Irwan sambil tersenyum.
“Jadi… gimana? Lo mau ngelepasin gue dari hukuman ini, ‘kan? Gue bakal bantuin apapun yang lo minta, selain nemenin Marissa. Ya?” Reza menyatukan kedua tangannya di depan dada. Memohon layaknya anak-anak. “Please…” lanjutnya sedikit merengek. Tentunya itu dibuat-buat.
Irwan tertawa melihat tingkah sahabatnya itu, “gila lo!” desisnya. Membuat Reza tertawa dan menghentikan tingkah konyolnya. Sebelum ia benar-benar disangka gila oleh seluruh pengunjung café.
“Gue bakal beneran gila kalau Nayna sampai nggak mau maafin gue.” Lirihnya.
Irwan menatap Reza dengan prihatin. Sudah hampir tujuh tahun ia mengenal Reza. Dulu, ia bertemu Reza saat acara ospek di kampus. Ia benar-benar penasaran dengan sosok Reza yang dulu baru ia temui. Seseorang yang tampaknya baik-baik saja, tapi hanya dengan melihatnya, ia tahu bahwa Reza telah mengalami banyak luka. Luka yang cukup membuatnya tercengang. Reza pernah membunuh orang!
♫♥♫
Ruangan itu tampak gelap. Udaranya terasa pengap. Decitan tikus terdengar nyaring. Mungkin mereka menemukan sesuatu untuk dimakan. Tampak Reza kecil menangis sambil memeluk lutut.
“Ayah… maafin Reza… Ayah…” Reza menangis tersedu-sedu. Tubuhnya penuh dengan luka memar. Pelipis dan ujung bibirnya mengeluarkan darah.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. “Reza…” sebuah suara lembut menyapa bersamaan dengan suara langkah kaki yang mendekati Reza.
Reza mendongakkan kepalanya. Matanya berbinar, “Bunda…” lirihnya. Ia mencoba bangkit, tapi tidak bisa, kakinya terikat rantai.
Perempuan itu tampak menahan tangis melihat keadaan anaknya. Tapi, ia berusaha tersenyum. Meskipun pahit.
Ia jongkok dan memeluk putra kecilnya. “Maafin Bunda ya, sayang…” ucapnya lirih. Air mata sudah membanjiri pipinya. Ia tidak bisa lagi menahan tangis.
“Bunda… Ayah mana? Apa Ayah udah maafin Reza?” Reza berkata dengan penuh pengharapan.
Bunda Reza menatap anaknya dengan sendu, “Reza… gimana kalau kita pergi aja, Sayang?”
“Pergi ke mana, Bunda? Kaki Reza nggak bisa gerak…” jawab Reza dengan polos.
“Kita pergi ke tempat yang jauh. Tempat di mana kamu nggak akan dipukul lagi.”
Reza tersenyum, “ayo…”
♫♥♫
Perempuan itu terus berlari sambil menggendong putranya. Reza tidak bisa berjalan karena kakinya terluka berkat rantai yang mengikatnya. Di belakangnya, sang ayah berlari mengejar mereka berdua.
“Hei! Jangan lari kalian!” teriaknya.
Bunda Reza berlari dengan sekuat tenaga, tapi tiba-tiba ia terjatuh. “Bunda!” teriak Reza yang panik.
Bundanya tampak bersusah payah untuk bangkit. Tapi tidak bisa. Tubuhnya terlalu lemah. Wajahnya sudah sangat pucat, dan napasnya tersengal-sengal. “Reza, larilah, Nak…” ucapnya sambil mendorong-dorong Reza yang tampak ketakutan.
“Tapi Bunda…”
“Bunda nggak apa-apa. Kamu cepat lari…”
“Bunda…”
“Kalian…!!” tangan kekar lelaki itu menarik rambut panjang bunda Reza dengan kasar.
“Reza, lari…!!” teriak sang Bunda.
Reza menatap nanar kedua orang tuanya. Napasnya memburu.
“Reza, la…” suara sang Bunda tidak lagi terdengar saat benda tajam itu menusuk perutnya. Matanya terbelalak. “Mas, kamu… kenapa…” ia ambruk.
Lelaki itu tersenyum sinis, lalu menatap Reza dengan nyalang. Seperti orang kerasukan. “Mau lari ke mana kamu, heh?!” lelaki itu membentak.
Reza terdiam di tempatnya sambil memandangi tubuh bundanya yang mengeluarkan darah. Napasnya semakin memburu. Lalu detik berikutnya…
“AAAARRRRGGGGGHHHHH!!!!!!” ia berteriak dan menerjang ayahnya dengan marah. Bahkan kakinya yang tadinya sulit untuk berdiri, tiba-tiba saja mendapat kekuatan untuk melompat ke arah lelaki itu.
Tentu saja itu membuat ayahnya sangat terkejut. Ia berusaha melepaskan diri dari Reza yang kesetanan. Reza mencakarinya tanpa ampun. Lalu ia mengangkat tubuh Reza dan membantingnya. Namun, sebelum Reza berhasil ia jatuhkan, ia tidak menyadari bahwa Reza telah mengambil belati yang terselip di antara sabuknya.
Reza memegangi lengannya yang serasa patah. Ia menatap ayahnya dengan tatapan yang tidak bisa tergambarkan. Emosinya membumbung bagai api. Ia benar-benar lepas kendali.
Lelaki itu berjalan menghampiri Reza. Ia sedikit membungkuk untuk kembali memukul anak itu. Saat itulah ia melihat kilatan di mata Reza, ia tampak terkejut. Lalu detik berikutnya, darah sudah mengalir deras melalui sela-sela bajunya. Ia memegangi dadanya dan menatap Reza dengan sendu. “Re-za… ka-kamu… bu-nuh A-yah?” ucapnya terbata-bata sebelum akhirnya ambruk.
“AAAARRRRGGGGHHH!!!!!!” Reza kembali berteriak. Ia menaiki tubuh ayahnya yang sudah tak bernyawa dan menusukinya dengan belati yang ada di genggaman kecilnya. “Kamu jahat! Jahat! Jahat!!!!” teriaknya. Saat itulah orang-orang berdatangan dan menghentikannya.
“Hey Nak, apa yang kamu lakukan? Sudah hentikan.” Seorang polisi meraih belati itu dan melemparkannya. Menjauhkan benda berbahaya itu dari tangan Reza yang masih berteriak, menyebut ayahnya jahat. Polisi itu memegangi tubuh mungil Reza erat, sebelum akhirnya Reza ambruk karena kelelahan.
♫♥♫
“Ayah jahat… jahat…” Reza menggumam dalam tidurnya. Polisi – yang tadi memegangi Reza – memperhatikannya dengan sorot mata prihatin. Ia tidak mengerti bagaimana seorang ayah bisa memukuli anak sekecil ini. Lelaki itu sudah mati di tangan anaknya sendiri. Benar-benar tragis. Tapi, menurut polisi itu, kematiaannya adalah hukuman yang setimpal untuknya. Ia mengulurkan tangannya untuk membelai kepala anak itu – yang kini terbungkus perban – dengan sayang. “Bagaimana nasibmu nanti, Nak?” gumamnya.
“Komandan!” suara seseorang mengagetkannya. Ia pun menoleh.
“Ada apa?”
“Dokter baru saja mengatakan, ibu anak ini…” kalimatnya terhenti, ia menunduk.
“Begitu ya?” polisi itu kembali menatap anak kecil malang itu. “Kalau begitu, biarkan aku yang menjadi walinya.” Putusnya kemudian.
Sejak saat itu, Reza tinggal bersama keluarga barunya. Ia mendapatkan kasih sayang dalam keluarga itu. Kasih sayang yang tidak pernah ia dapatkan dari keluarga lamanya. Ibu angkatnya tidak bisa melahirkan seorang anak. Itulah sebabnya begitu Reza sampai di rumah polisi itu, ia mendapatkan sambutan yang sangat baik. Ia sangat bahagia. Tetapi, kebahagiaan itu terasa begitu palsu untuk Reza. Reza memang selalu tampak baik-baik saja dari luarnya. Tapi sebenarnya mungkin ialah yang paling bermasalah di antara teman-teman sebayanya waktu itu. Bahkan, mungkin sampai sekarang.
Hampir setiap minggu orang tua baru Reza membawanya ke psikolog karena keanehan yang sering dilakukan Reza sejak mereka mengadopsinya. Reza sering berubah-ubah sifat. Di satu sisi ia akan menjadi anak yang periang dan penurut. Tapi di sisi lain, ia akan menjadi anak yang muram, pendiam, dan kasar. Ia bahkan tidak mengingat apa yang terjadi pada dirinya sebelum ia diadopsi. Setelah sekian banyak dokter dan psikolog orang tua Reza datangi, akhirnya mereka menerima kenyataan bahwa putra angkat mereka, Reza, mengalami dissociative identity disorder, atau yang biasa disebut dengan kepribadian ganda.
Ada dua kepribadian yang ada pada diri Reza. Kepribadian yang pertama adalah Reza yang baik, penurut, dan penuh kasih sayang. Sedangkan kepribadiannya yang lain bernama Rio. Rio adalah kepribadian yang kasar, muram, dan kejam. Kepribadian yang telah membunuh ayah kandungnya sendiri.
Reza seolah-olah membuat pertahanan tebal pada dirinya melalui kepribadiannya yang lain. Melindungi dirinya yang asli dari rasa terancam dan sakit. Bahkan Reza sendiri tidak tahu dengan apa yang terjadi pada dirinya.
♫♥♫
Reza menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Ia menghela napas. Masalah konyolnya dengan Irwan akhirnya telah usai. Reza akan memejamkan mata saat tiba-tiba smartphone-nya berbunyi. Putri’s calling. Reza kembali menghela napas sebelum akhirnya mengangkat telepon Putri. “Halo…” sapanya dengan malas.
“Kak, kamu ada di rumah nggak?” tanya Putri langsung, tanpa membalas pertanyaan Reza.
“Gue baru aja pulang, kenapa?”
“Aku udah di perjalanan ke rumah kamu, bentar lagi nyampai. Ada sesuatu yang perlu aku omongin. Ini tentang Nayna.” jelas Putri.
“Oke, gue tunggu. Langsung ke kamar aja kalau udah nyampai. Gue mau mandi dulu. Gerah.” Jawab Reza sambil melonggarkan dasinya.
“Oke.” Putri langsung menutup teleponnya.
Reza menghela napas, “semoga ini kabar baik.” Ucapnya.
Putri sudah duduk di sofa yang ada di sudut kamar Reza, saat Reza keluar dari pintu kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Ia hanya mengenakan handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya.
“Lo udah dateng, Put.” Ucapnya sambil mencari baju di dalam lemari.
Putri tampak terkejut, karena sejak tadi ia asyik bermain game di ponselnya. “E-iya.” Jawabnya. Matanya terbelalak saat melihat Reza. Ia menahan napas saking kagetnya. Membuat wajahnya memerah. Ini memang bukan pertama kalinya ia melihat Reza bertelanjang dada, tapi melihatnya yang baru selesai mandi dengan rambut basah dan hanya memakai handuk, ini adalah yang pertama. Dan itu cukup untuk membuatnya kembali berkhayal tentang Reza. Tiba-tiba saja ia tersenyum.
Reza yang sudah memakai kaos, hanya menatapnya dengan heran. “Lo kesambet ya?” tanyanya sebelum kembali masuk ke kamar mandi sambil menenteng celana.
“Aish…” Putri mendesis kesal. Khayalannya hancur seketika.
♫♥♫
“Jadi… apa yang tadi mau lo omongin?” tanya Reza sambil memberikan gelas berisi kopi pada Putri.
Putri mengernyit melihat isi gelas itu. lagi-lagi kopi. Pikirnya. Meski begitu ia tetap menerimanya. “Apa kamu tahu tentang acara reuni itu?”
“Reuni?” Reza duduk di hadapan Putri sambil menyesap kopinya. Saat ini, mereka sedang berada di teras belakang rumah Reza. Menikmati suara angin yang menabraki pepohonan di kebun kecil itu.
Putri mengangguk, “sekolah kita ngadain reuni 3 angkatan sekaligus. Angkatanku, di bawahku, dan… angkatan Kakak.” Jelasnya.
“Angkatan gue juga? Kenapa nggak ada yang ngabarin ya?” Reza menggumam.
“Mungkin besok undangannya nyampai di tangan kamu. Mungkin teman-temanku terlalu bersemangat sampai membagikan undangannya terlalu awal.” Putri nyengir.
“Aish… sombongnya…” umpat Reza.
Putri tertawa kecil. “Aku berencana mempertemukan Nayna sama kamu di acara itu.” ungkap Putri sambil menatap Reza.
Reza membalas tatapan Putri dengan kagum, “gue bahkan nggak kepikiran buat datang. Tapi… kalau kayak gitu, gue harus datang, ‘kan?”
Putri mengangguk, yang dibalas senyuman oleh Reza. “Akhirnya…” desis Reza. Sejenak, ia merasa lega.
♫♥♫Update lagi gara2 ditodong sama adik onlen 🤣 Hyun, nih gw update 🙈
Buat readers, selamat membaca yaa... Jangan lupa votenya 🌚🐣Salam rocker,
Idzanami19
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Disease (TAMAT)
RomanceReza, nama yang hampir tujuh tahun ini tidak pernah dilupakannya. Nama yang sudah terlalu dalam terpahat dalam hatinya. Sebuah nama yang selalu membuatnya terombang-ambing dalam pusaran laut yang dalam. Lalu menenggelamkannya tanpa bekas. Nayna meng...