Why?

621 33 0
                                    

Matahari siang tampak begitu terik. Suhu udara terasa naik ke permukaan. Panasnya seakan membakar hati Nayna saat ini. Ia sedang menikmati makan siangnya bersama Reza di tempat favorit mereka. Tapi tampaknya kali ini Reza sama sekali tidak bisa menikmati humburger favorinya. Bagaimana ia bisa menikmati makan siangnya jika Nayna terus menerus menghalangi tangannya untuk menyuapkan burger ke dalam mulutnya? Reza hanya bisa garuk-garuk kepala sambil berusaha menelan kembali air liurnya yang hampir menetes. Ia benar-benar kelaparan saat ini.

“Sumpah ya, kenapa sih dia itu sensitif banget sama aku? Emangnya aku salah apa coba?” Nayna terus mengeluarkan segala kekesalannya yang terus ia tahan sejak pagi. “Kak! Jangan diem aja dong, kasih pendapat kek.” Ucap Nayna saat ia melihat Reza sama sekali tidak mendengarkannya. “REZA!!!”

Reza yang sejak tadi terus memandangi hamburgernya hanya bisa menatap Nayna dengan bingung. “Apa?” ucapnya.

“Iihhh… kamu dengerin aku apa nggak sih?!”

“Iya… aku denger…” Reza mencoba mengambil burgernya, tapi lagi-lagi Nayna menghalanginya. Reza menghela napas. Lantas menatap Nayna dengan serius. “So, what?”

“My big boss, Raka. Dia itu…”

“Suka sama kamu?”

Nayna melongo, “Ha?”

“Apa kamu sama sekali nggak sadar? Bos kamu itu… dia suka sama kamu. Makanya dia selalu bersikap kayak gitu ke kamu.”

“Kak, kamu cemburu ya?” Nayna menatap Reza dengan pandangan menyelidik.
Reza tertegun, “cemburu? Siapa? Aku?” Nayna mengangguk. “Cih, buat apa juga aku cemburu sama orang kayak dia. Dibandingkan dengan aku, dia itu nggak ada apa-apanya, jadi buat apa aku cemburu?”

Nayna menggeleng-gelengkan kepalanya dengan ekspresi prihatin. “Reza Pandu Rizky, dilihat dari segi manapun, kamu itu cemburu. Jadi, nggak usah ngelak lagi deh.”

“Cih, yang bener aja.” Umpat Reza dengan sebal.

Nayna tersenyum mengejek, lalu detik berikutnya raut mukanya berubah serius. “Oh iya, kamu tahu nggak akhir-akhir ini Putri banyak berubah?”

“Berubah? Berubah jadi apa? Superman?” jawab Reza asal sambil memulai gigitan pertama pada burgernya. Reza menghela napas. Merasa lega karena akhirnya ia ‘bisa’ makan.

“Kak Reza! Yang serius dikit kenapa sih!” Nayna berteriak kesal karena Reza terus menerus bercanda.

“Na, kenapa kamu nggak coba nikmatin makanan kamu aja sih? Dari tadi cerewet banget. Emangnya kamu nggak lapar apa?” Reza mulai kesal. Nayna merengut, lantas berdiri. Membuat Reza bertanya-tanya. “Kamu mau ke mana?”

“Mau makan ke tempat orang yang mau dengerin orang lain ngomong!”

“Kamu marah?”

“Nggak tahu.” Jawab Nayna dengan cuek, lantas berjalan pergi.

Otomatis Reza pun berdiri dan memegang lengan Nayna. Mencoba menghentikannya. “Na.”

“Apa…?!!” Nayna tampak semakin kesal.

“Iya, iya aku janji nggak bakal kayak gitu lagi. Aku bakalan dengerin semua cerita kamu kok…” Nayna masih bergeming. Membuat Reza menghela napas kuat-kuat. Merasa gemas dengan tingkah kekasihnya itu. “SEMUANYA…” Reza memperjelas.

“Oke.” Ucap Nayna, lantas kembali duduk sambil tersenyum manis. Reza hanya bisa menghela napas lega. Dan ia pun kembali duduk.

“Jadi… tadi kamu mau bilang apa?” Reza mencoba memecah kekakuan.

“Putri… kenapa dia jadi banyak berubah?”

“Berubah kayak gimana?"

“Dia jadi banyak ngelamun. Aku jadi takut juga, kalau yang suka ngelamun itu orang lain mungkin aku nggak bakal seheran ini. Tapi ini Putri.” Nayna tampak khawatir.

“Tujuh tahun, Na. Apa kamu lupa itu? Kamu sama Putri baru bertemu setelah tujuh tahun. Apa kamu nggak pernah berpikir kalau semuanya bisa berubah?”

Nayna menggeleng. “Tapi kamu nggak berubah. Jadi, kenapa Putri harus berubah? Aku nggak pernah mikirin hal-hal kayak gitu…”

“Kamu ini… apa kamu benar-benar Nayna yang udah dewasa? Yang aku lihat, kamu tetap sama kayak Nayna yang masih SMA!”

“Kak Reza!” Nayna berteriak kesal. Bagaimana mungkin ia masih disamakan dengan dirinya yang masih SMA? Menyebalkan.

“Banyak hal yang udah terjadi selama kamu pergi, Na. Bukan hanya pada Putri, tapi bahkan juga aku. Putri… kamu nggak akan percaya dengan apa yang udah dia lalui selama tujuh tahun ini.”

“Apa?”

Reza hanya diam sambil menatap Nayna. Menimbang apakah ia harus cerita atau tidak tentang semua yang terjadi sejak Nayna pergi ke Amerika tujuh tahun yang lalu.

“Kak Reza!”

“Oke, aku akan cerita.” Putus Reza akhirnya.

♫♥♫

Nayna berjalan dengan tergesa-gesa menuju rumah Putri. Ia ingin memperjelas semuanya. Ia ingin mendengar cerita yang sebenarnya dari Putri. Bukan karena ia tidak memercayai kata-kata Reza, hanya saja ini terlalu rumit untuk ia bisa percaya. Putri dan dunia gelap seperti itu? Apakah mungkin? Ia ingin mendengar semuanya dari mulut Putri sendiri.

Begitu sampai di depan gerbang, Nayna menghela napas sejenak, lantas memencet bel dengan ragu. Dulu sewaktu kecil, ia sering sekali datang ke rumah ini. Bermain bersama Putri dan Kakak Putri yang bernama Yudhis. Yudhis. Kenapa rasanya Nayna sering sekali mendengar nama itu?

Gerbang itu akhirnya terbuka. Dan betapa terkejutnya Nayna saat ia melihat siapa yang membukakan pintu gerbangnya.

“Pa-Pak Yudhis? Ngapain Bapak di sini?” Nayna kebingungan. “Ya ampun, apa jangan-jangan… Anda kakaknya Putri?”

Yudhis yang sesaat sempat kebingungan, akhirnya bisa berekspresi. Ia pun tersenyum. “Kamu baru sadar? Ah… betapa mengecewakannya…”

“B-bukan gitu…” Nayna salah tingkah. “Tapi, salah sendiri Kakak jadi beda banget. Dulu ‘kan Kakak kecil banget. Kenapa sekarang jadi…” Nayna mendongak, “setinggi ini?”

“Hehehe… kenapa? Kaget ya? Salah sendiri kamu nggak pernah main ke sini lagi.”

“Aku sering ke sini kok. Kak Yudhis aja yang nggak pernah ada di rumah!” Nayna tidak mau kalah.

“Hehe… iya deh iya… aku kalah. Kamu menang.”

Nayna nyengir. “Eh… Putri… ada nggak, Kak?”

“Kayaknya sih gitu. Kamu lihat sendiri aja. Ayo masuk.” Nayna pun tanpa ragu masuk ke dalam rumah yang sudah lama tidak pernah ia kunjungi itu.

“Kenapa Kak Yudhis nggak bilang dari awal kalau Kakak itu kakaknya Putri?” Tanya Nayna pada Yudhis yang berjalan di depannya.

“Karena kamu nggak nanya.”

“Tapi ‘kan setidaknya Kakak bisa kasih tahu…”

Yudhis membalikkan tubuhnya menghadap Nayna sambil tersenyum, “emangnya kapan aku bisa kasih tahu kamu kalau kamu selalu sibuk pacaran sama Pak Raka?”

Nayna tertegun, dan detik berikutnya ia tertawa terbahak-bahak. “Kak Yudhis ngomong apaan sih? Aku? Sama Pak Raka? Yang bener aja… kami itu lebih cocok jadi musuh bebuyutan tahu nggak.”

“Mau taruhan nggak?”

Nayna menghentikan tawanya, “Taruhan apa?”

“Taruhan kalau kamu bakalan jadi sama Pak Raka.”

“E-apa?”

“Kalau aku menang, kamu harus beliin aku album terbarunya One Ok Rock. Gimana?”

“Hmm…" Nanya berpikir sejenak. "Oke. Tapi sorry ya, Kak. Karena itu nggak akan pernah terjadi. Jadi, Kak Yudhis harus siap-siap beliin aku album terbarunya Super Junior setelah mereka pulang dari wajib militer. Setuju?”

Yudhis mengedikkan bahu, “siapa takut?”

“Hehehe…”

“Nayna?” Putri yang baru turun dari tangga tampak terkejut saat melihat Nayna ada di rumahnya dan sedang bercanda dengan Yudhis. Bahkan Yudhis tertawa... entah kenapa, ia merasa sangat iri.

“Putri! Ternyata Kak Yudhis satu tempat kerja sama aku!” ucap Nayna, masih dengan senyum yang mengembang. Tidak menyadari raut Yudhis yang langsung berubah begitu melihat Putri.

“O-oh ya?” Putri berusaha tersenyum.

“Na, aku ke kamar dulu ya? Kamu lanjutin urusan kamu sama Putri aja sana.” Ucap Yudhis sambil mengacak rambut Nayna. Otomatis Nayna menghentikan tangan Yudhis dengan ekspresi sebal.

“Jangan berani-beraninya ngerusak rambutku ya!”

Yudhis tampak menahan tawa. “Iya, iya… dasar pacar big boss!” ledek Yudhis, lantas berlari menjauhi Nayna yang kesal setengah mati.

“Kak Yudhis! Aku bukan pacar orang gila itu!” teriaknya.

♫♥♫

“Aku nggak nyangka kalau Kak Yudhis bisa setinggi itu. Dia makan apaan sih? Bagi-bagi dong… siapa tahu aku masih bisa nambah tingginya.” Cerocos Nayna begitu sampai di kamar Putri.

“Please stop, Na!” ucap Putri dengan ekspresi kesal. Membuat Nayna langsung diam seketika.

“Kamu ini… kenapa sih, Put? Ada masalah ya?”

“Kenapa kamu tiba-tiba ke sini? Seharusnya kamu kasih tahu aku dulu dong kalau mau ke sini.”

“Bukannya dari dulu aku nggak pernah ngomong dulu ya? Kamu ini kenapa sih? Kenapa dari kemarin marah-marah mulu’? Kalau ada masalah itu bilang, jangan marah-marah nggak jelas kayak gini dong!” Nayna jadi ikut emosi.

Sorry. Tapi aku nggak suka aja kalau kamu ke sini tanpa kasih tahu aku dulu.” Jawab Putri dengan nada melembut. “Jadi… ada apa kamu ke sini?”

Nayna membanting tubuhnya ke atas ranjang sambil menghela napas. “Huh… capeknya…”

“Na…” Putri mulai tidak sabaran.

“Aish… iya, iya.” Nayna bangkit duduk, “Kenapa kamu jadi nggak sabaran kayak aku gitu sih? Cukup aku aja yang nggak sabaran, oke? Kamu nggak perlu ikut-ikutan. Ngeri, tahu.”

“Nayna!”

“Tadi aku ketemu Reza.”

“Terus? Masalahnya apa?”

“Masalahnya adalah kamu.”

“Aku?”

“Iya, kamu.”

“Emangnya aku kenapa?”

Nayna menatap Putri dengan pandangan tidak percaya. Apa benar Putri seperti yang Reza bilang? Hatinya terus menceracau.

“Put, kamu mau jujur ke aku, ‘kan?”

“Aku selalu jujur ke kamu kok. Emangnya ada apa sih?” Putri semakin penasaran. Sebenarnya apa yang ingin Nayna katakan?

“Apa yang terjadi sama kamu selama tujuh tahun ini?”

Putri terdiam. Ia tidak bisa menjawab. Tidak. Lebih tepatnya, Putri tidak tahu harus menjawab apa. Ia bahkan sama sekali tidak mengerti apa yang Nayna pertanyakan. Apa yang terjadi padanya tujuh tahun ini? Ada apa dengan pertanyaan itu? Kenapa ia tidak bisa menjawab?

“Apa mungkin kamu emang pernah nge-drug? Bukan. Apa benar kamu dulu senakal itu? Kenapa?”

“Apa Kak Reza yang cerita semuanya?”

Nayna menahan napas saking terkejutnya. “Jadi… itu semua benar ya? Tentang perceraian orang tua kamu sampai kamu…”

“Jadi perempuan malam?” Putri tersenyum sinis. “Kalau iya, emangnya kamu mau apa? Kalau itu semua emang benar, emangnya kamu bisa apa? Apa kamu bisa ngembaliin semuanya? Apa orang tuaku akan kembali kayak dulu? Apa Kak Yudhis akan berubah kayak dulu lagi? Apa aku… apa aku bisa kembali seperti sebelum aku ngelakuin itu semua? Apapun jawabanku, nggak akan pernah bisa ngubah semuanya! Jadi stop cari tahu tentang apa yang terjadi sama aku, Na!”

Nayna tertegun. “Putri! Bagaimana kamu bisa ngomong kayak gitu sama aku? Oke, aku minta maaf karena udah nanya-nanya tentang masa lalu kamu. Tapi apa aku salah kalau aku ingin tahu tentang sahabatku sendiri? Setelah dengar cerita itu dari Kak Reza aku terus-terusan ngerasa berdosa tahu nggak, Put! Aku yang merupakan sahabat kamu dari kecil, sama sekali nggak tahu betapa sulitnya kamu selama ini. Dan saat aku tahu, bukannya dari kamu, aku harus tahu dari Kak Reza. Aku bener-bener kesal setengah mati. Kenapa? Kenapa aku harus tahu dari Kak Reza, bukan dari mulut kamu sendiri?!”

“Gimana caranya aku cerita kalau kamu nggak ada di sini, Na?” jawab Putri dengan nada dingin. Membuat Nayna lagi-lagi tertegun dengan ucapan Putri. “Kasih tahu aku bagaimana caranya. Kamu pergi gitu aja bahkan sebelum kamu tahu apapun. Lalu sekarang, saat kamu kembali, kamu nyalahin aku karena aku nggak cerita sama kamu? Di mana? Di mana kamu saat aku butuh kamu, Na? Di mana kamu saat aku butuh kamu buat jadi sandaran aku?!”

“Putri, aku…”

“Apa kamu benar-benar sahabat aku, Na?”

“Putri…” Nayna berdiri dan menatap Putri tidak percaya. Bagaimana bisa Putri mengatakan hal semacam ini padanya? Perlahan, air mata menjatuhi pipinya. Nayna menangis.

“Coba lihat, sekarang kamu bahkan nggak bisa bilang apa-apa, ‘kan? Kamu munafik, Na! Aku benci sama kamu!”

“Putri, aku… aku nggak bermaksud kayak gitu. Aku…”

“Pergi! Jangan pernah datang ke sini lagi, pergi!” Putri memekik sambil menunjuk ke arah pintu. Menyuruh Nayna pergi.

“Putri… aku mohon… jangan kayak gini, Put…”

“Aku bilang pergi!” Putri mendorong-dorong Nayna hingga ke luar kamar, lalu menutup pintu dengan keras. Membuat Nayna tersentak. Ia benar-benar sangat terkejut. Bagaimana bisa? Kenapa? Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Berbagai tanya terus bermunculan di kepala Nayna. Membuat dadanya semakin terasa sesak. Tapi ia sama sekali tidak bisa melakukan apapun. Semua yang dikatakan Putri memang benar. Pergi ke mana ia saat Putri sedang dalam masalah? Yang ia lakukan hanya pergi dan melarikan diri dari masalah. Nayna semakin terisak. Kenapa ia selalu menjadi seorang pengecut yang tidak berguna?

Putri terduduk di balik pintunya. Air mata turut mendampingi kegalauannya. Apa yang harus ia lakukan? Ia sudah mengusir pergi sahabatnya sendiri. Bagaimana kalau Nayna benar-benar pergi? Bukankah ia akan kembali merasakan kesepian itu? Kesepian yang dulu sempat membunuh jiwanya satu kali. Apakah kali ini jiwanya akan kembali mati? Putri tidak tahu. Ia hanya bisa menjerit menahan tangis kesedihannya.

♫♥♫

Sahabat bagaikan bagian dari tubuh. Saat salah satu bagian dari tubuh merasakan sakit, maka seluruh tubuh juga akan merasakan sakit. Begitu pun dengan persahabatan. Tapi saat rasa sakit itu muncul karena ulah diri sendiri, apa yang harus dilakukan?

Nayna berjalan pulang dengan lunglai. Tidak peduli dengan malam yang akan menjelang. Tidak peduli dengan apa yang ada di hadapannya. Bahkan ia sampai menabrak pintu gerbang rumahnya sendiri karena terlalu asyik melamun.

Welcome home, sister!” terdengar suara seseorang yang rasanya tidak asing di telinga Nayna. Suara ini… suara yang begitu menyebalkan ini…

“Arika!” Nayna tampak terkejut saat melihat kedatangan Arika.

“Ckckck… sambutan macam apa itu? Seharusnya lo langsung meluk gue kayak di film-film. Tapi kenapa lo malah melotot kayak gitu?” Arika menjawab dengan sedikit nyolot seperti biasanya. Membuat Nayna tanpa sadar tersenyum.

“Nah, gitu dong… setidaknya lo kelihatan sedikit manis kalau lagi senyum kayak gitu.” Ucap Arika, lantas menghampiri dan merangkul bahu Nayna. “Ayo masuk. Buatin gue coklat panas ya!”

“Apa?” Nayna memandang Arika tidak percaya. Arika tetap saja Arika. Biar dalam kondisi seperti apapun, ia tetap menyebalkan.

“Aish… ayo…!” Arika yang tidak sabaran segera menyeret Nayna agar segera masuk ke dalam rumah. Nayna pun tidak ada pilihan lain selain mengikuti perempuan gila satu ini.

♫♥♫

Nayna meletakkan coklat panas pesanan Arika di atas meja, lalu duduk di hadapan Arika sambil tersenyum. Arika hanya bisa menatap bingung tingkah aneh Nayna. Sejak kapan Nayna jadi sangat menyukainya sampai terus menunjukkan senyum seperti itu?

“Lo nggak apa-apa, ‘kan, sister?” Arika bertanya dengan ekspresi heran.

Nayna menggelengkan kepalanya sambil tetap tersenyum. Sepertinya kepala Nayna benar-benar berantakan setelah bertengkar dengan Putri tadi. Coba lihat, bagaimana ia bisa tersenyum pada Arika yang notabene-nya selalu membuat dirinya kesal?

“Terus ngapain lo senyam-senyum kayak gitu? Merinding nih.” Lanjut Arika sambil menggosok-sosok punggung tangannya dengan ekspresi takut. Tentu saja itu dibuat-buat. Memangnya apa yang bisa membuat Arika takut di dunia ini selain Tuhan dan Kakaknya, Raka?

“Nggak apa-apa kok. Cuma seneng aja lihat kamu yang baik-baik aja kayak gini. Aku pikir kamu akan terpuruk lebih lama lagi.”

“Cih, lo doain gue biar tetap terpuruk, gitu?”

“Bukan gitu… aku cuma khawatir kalau kamu nggak bisa move on dari permasalahan kamu.”

Arika tersenyum, “Thanks.” Ucapnya dengan tulus.

“Jadi, kapan kamu datang?”

“Tadi siang.”

“Ooh…” Nayna terus memerhatikan Arika yang sedang meminum coklat panasnya. Sepertinya, ia mulai menyukai perempuan gila ini. Meskipun Arika masih tetap sama menyebalkannya seperti dulu. “Gimana keadaan kamu sekarang? Dan… apa rencana kamu selanjutnya?”

“Apa lo sedang wawancarain gue?” Arika bertanya dengan ekspresi sebal yang hanya dibalas senyuman oleh Nayna. “Gue akan tinggal di sini sama Kak Raka dan mencoba buat membesarkan anak gue sendiri. Mungkin gue bakalan sedikit… maksud gue, mungkin gue bakalan banyak nyusahin Kakak gue, tapi gue yakin semuanya akan baik-baik aja. Iya, ‘kan?”

“Apa nggak akan jadi masalah kalau anak kamu besar tanpa seorang ayah? Mungkin… dia akan ngerasa…”

“Nggak apa-apa. Dari pada dia tumbuh dengan seorang ayah yang bisanya cuma menyiksa dan membunuh orang kayak Justin, lebih baik dia tumbuh hanya dengan ibunya, gue, dan juga pamannya. Ah… Kak Raka pasti bakalan sangat marah kalau tahu gue akan tinggal di sini dan nyusahin dia.”

“Dia nggak akan marah… kamu ‘kan adik kesayangannya.”

“Adik kesayangan? Oh, sh*t!” Arika mengumpat. Umpatan yang justru membuat Nayna tertawa terbahak-bahak. Oh, dunia ini pasti benar-benar sudah gila.

♫♥♫

How how? Ada yg nungguin nggak? 😅
Komen lah... 😚

Salam rocker,
Idzanami19

Love Disease (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang