Mobil berwarna pink itu melaju dengan mulus di jalanan yang sudah mulai menampakkan gejala kemacetan. Putri sedang serius memerhatikan jalanan di depannya, sedangkan di sebelahnya, Nayna sibuk menata rambut panjangnya yang masih tergerai. Tadi, Nayna merengek meminta Putri menjemputnya karena ia – lagi-lagi – bangun kesiangan. Nayna baru menyelesaikan urusannya dengan rambut saat Putri menghentikan mobil pink kesayangannya tepat di depan gedung kantor Nayna.
“Loh, udah nyampai ya?” Nayna memandang kiri dan kanan dengan bingung. Seolah ia baru saja menginjakkan kakinya di planet lain.
Putri memutar bola matanya. “Makanya, lain kali kalau mau minta anter, jangan dandan mulu! Sekali-kali bantuin cari jalan pintas kek, biar nggak kejebak macet kayak tadi. Dari tadi bisanya cuma dandan mulu, emangnya aku supir kamu apa?!” Teriak Putri yang kesal setengah mati.
Nayna nyengir, “iya, iya maaf… nggak lagi-lagi deh…”
“Itu sih harus!”
Nayna mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Malas bila harus menghadapi kekesalan Putri seperti ini. Pandangannya terkunci pada taksi biru yang baru saja berhenti tidak jauh dari mobil Putri. Senyuman sengit menghiasi wajah Nayna seketika saat melihat Yudhis baru saja keluar dari pintu taksi itu.
“Woah… disiplin banget ya tuh orang. Baru kerja seminggu, udah berani telat. Ckckck…” Nayna berdecak heran. Tidak menyadari dengan posisinya sendiri saat ini.
Putri menatap Nayna dengan heran, “berarti kamu juga disiplin banget ya, Na? udah jam sembilan loh…” ucap Putri menunjuk-nunjuk jam yang ada di dashboard mobilnya.
Sontak, Nayna menoleh pada Putri, lalu pada jam yang ditunjuk Putri. Detik berikutnya, wajahnya berubah jadi panik. “Gila! Bisa-bisa aku dicincang big bos nih!” Jeritnya, sebelum akhirnya membuka pintu mobil dan melesat bagai senapan angin menuju kantor.
Putri hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah temannya itu. Terkadang ia berpikir, bagaimana Nayna bisa tetap selamat bekerja di tempat ini dengan ‘kedisiplinan’nya yang kelewat batas itu?
Pandangan Putri terhenti pada sosok yang kini sedang berdiri tepat di depan mobilnya. Menatap Putri dalam diam. “Kenapa dia bisa ada di sini?” tanyanya dalam hati.
Akhirnya Putri pun keluar dari dalam mobilnya. “Kak Yudhis? Kakak ngapain di sini?” tanyanya hati-hati.
“Kenapa kamu ada di sini?” lagi-lagi Yudhis tidak menjawab pertanyaan Putri. Justru ia bertanya balik pada Putri dengan nada dingin, sedingin salju di Artik.
“E… aku baru saja habis nganterin Nayna. Kakak ingat Nayna? Teman yang dulu sering…”
“Jadi dia benar-benar Nayna ya?” Gumam Yudhis, memotong penjelasan Putri. Matanya memandangi gedung tinggi di hadapannya. Seolah dengan begitu, ia bisa melihat Nayna yang sekarang sedang berlarian menuju ruang rapat.
“Maksud Kakak…”
“Pergilah. Kamu pasti udah terlambat juga, ‘kan?” Ujar Yudhis, sebelum berjalan masuk ke kantor. Meninggalkan Putri yang kebingungan.
♫♥♫
Raka sedang menjelaskan tentang program kerjanya pada seluruh anggota rapat saat tiba-tiba Nayna masuk sambil ngos-ngosan. Sontak, seluruh mata beralih memandangi Nayna – yang menjadi penyebab buyarnya konsentrasi mereka – dengan ganas, termasuk Raka. Membuat Nayna berasa ingin menghilang saja dari ruangan itu.
Nayna hanya bisa menelan ludah sambil membungkukkan badannya berkali-kali, “Maaf, sepertinya saya terlambat.” Ucapnya, lantas duduk di salah satu kursi dengan canggung.
Raka tersenyum sinis, lantas menatap Nayna dengan tatapan yang – sekali lagi – membuat Nayna ingin lenyap dari pandangan semua orang. “Sepertinya ya?” ucap Raka dengan nada tenang. Ketenangan yang justru membuat resah pendengarnya. “Rapat dimulai tiga puluh menit yang lalu, dan kamu baru datang sekarang. Apa itu masih bisa dibilang ‘sepertinya’?” Nayna menunduk dengan wajah kusut sekusut-kusutnya.
“Maaf… saya tidak akan mengulanginya lagi.” Ucapnya.
“Setelah rapat, segera temui saya di ruangan saya.” Lanjut Raka, sebelum kembali melanjutnya penjelasannya yang tadi sempat tertunda.
♫♥♫
“Dasar bos gila. Bisa-bisanya dia marahin aku di depan banyak orang. Sialan!” Sejak rapat usai, Nayna terus mengumpati Raka tanpa henti. Bahkan sampai saat ia sudah berdiri di depan pintu ruangan Raka, ia masih sempat mengucapkan sumpah-serapah yang Nayna sendiri pun merasa heran dengan apa yang diucapkannya.
Nayna mengetuk pintu ruangan Raka tiga kali sebelum membuka pintunya dan masuk ke dalam ruang ‘penghakiman’. “Permisi… apa Bapak memanggil saya?” ucap Nayna setelah berhasil memasuki ruangan yang seluas kamar tidurnya itu.
Ternyata di dalam ruangan itu tidak hanya ada Raka, melainkan Yudhis juga ada di sana. Diam-diam Nayna tersenyum. Sepertinya si anak baru juga mendapatkan masalah yang sama dengannya.
Raka dan Yudhis memandangi Nayna dengan heran. Membuat Nayna jadi salah tingkah dibuatnya.
“Kenapa baru datang? Bukankah saya bilang, segera ke ruangan saya setelah rapat?” Raka berkata dengan sinis.
Nayna merengut. Sekali lagi, ia dibuat kesal setengah mati oleh Raka. “Tadi aku baru dari kamar mandi…”
“Aku?” Raka mengangkat satu alisnya.
Nayna menghela napas, “saya…” ucapnya. Mencoba menahan kekesalannya.
Raka tersenyum puas. Entah kenapa, ia selalu merasa senang setiap melihat Nayna kesal seperti saat ini.
Tanpa Raka dan Nayna sadari, Yudhis yang sedari tadi hanya diam, tersenyum melihat perdebatan mereka berdua. Perdebatan yang terkadang terasa sangat tidak masuk akal. Perdebatan-perdebatan yang justru membuat siapapun yang melihatnya akan menyadari betapa cocoknya mereka berdua.
“Aish… iya, iya aku ngaku salah. Puas?!” Jeritan kesal Nayna menyadarkan lamunan Yudhis. Membuatnya kembali serius menekuni berkas-berkas yang baru saja diberikan Raka padanya.
“Tadi kamu bilang apa? Kamu tahu kita sekarang ada di mana, ‘kan? Apa pantas kamu bicara seperti itu pada saya?” Raka terus mendebat Nayna. Begitu pun Nayna yang terus mendebat Raka. Yudhis geleng-geleng kepala. Sepertinya perdebatan di antara mereka tidak akan pernah berhenti.
♫♥♫Hai haiii... Nayna is back...💃💃💃
Jangan lupa baca, vote, dan comment yaaa 😚Salam rocker,
Idzanami19
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Disease (TAMAT)
RomanceReza, nama yang hampir tujuh tahun ini tidak pernah dilupakannya. Nama yang sudah terlalu dalam terpahat dalam hatinya. Sebuah nama yang selalu membuatnya terombang-ambing dalam pusaran laut yang dalam. Lalu menenggelamkannya tanpa bekas. Nayna meng...