Guanlin tampak berpikir. Namun akhirnya ia mengangguk. Ya, daripada tiketnya dibuang, lebih baik ia menonton dengan Eun Bi. "Baiklah, ayo."
Mereka akhirnya menonton film bersama. Tanpa menyadari, bahwa ada seseorang yang sedari tadi memperhatikan mereka.
.
.
.
🍁🍁🍁
Hyungseob tersenyum menatap luka yang ada dilututnya. Luka itu telah dibersihkan juga diobati. Bukan. Ia tersenyum bukan karena ia senang mendapatkan luka. Namun, bayangan seorang Park Woojin yang membuatnya tersenyum.
Masih teringat jelas bagaimana Woojin mengantarnya pulang. Menggendong Hyungseob untuk masuk ke dalam rumah. Dan karena dirumah memang tak ada seorangpun. Akhirnya Woojin juga yang mengobati luka dilutut Hyungseob. Ah, bahkan Woojin juga mengobati luka kucing yang diselamatkan oleh Hyungseob.
"Ternyata Park Woojin orang yang baik." Gumam Hyungseob. Namja Ahn itu pun merebahkan tubuhnya. Lelah. Itulah yang ia rasakan saat ini. Ia mulai menutup mata saat kantuk perlahan menyerangnya. Sampai yang terdengar sekarang hanyalah dengkuran halus dari bibir seorang Ahn Hyungseob.
.
Sementara Woojin memilih untuk pergi ke taman. Ia ingin menenangkan dirinya. Sungguh. Ia bingung dengan apa yang telah ia lakukan. Bukankah ia membenci Hyungseob? Orang yang telah merenggut nyawa kekasihnya. Ah, atau lebih tepatnya Hyungseob adalah penyebab dari meninggalnya Yewon, sang kekasih.
"Hah!" Namja Park itu menghela napas. Jika kalian penasaran apa yang dirasakan Woojin saat ini. Entahlah. Bahkan Woojin pun tak tahu. Ia seakan tergerak begitu saja untuk menolong saat Hyungseob terjatuh. Apa ia menyesal telah menolong Hyungseob? Sejujurnya, tidak. Namun hatinya merasa tak nyaman, saat ia berada berdekatan dengan namja Ahn itu. Karena setiap ia melihat Hyungseb, bayangan Yewon pasti juga akan muncul.
"Apa yang harus aku lakukan, Yewon? Aku bingung." Gumam Woojin. Berharap Yewon berada ada disana dan memeluknya. Seperti yang selalu Yewon lakukan saat Woojin tengah resah dan bingung.
Woojin menatap layar ponselnya. Lebih tepatnya foto yang selalu ia jadikan wallpaper. Foto dari sang kekasih, Kim Yewon. Sungguh. Woojin sangat merindukan kehadiran gadis cantik itu. Merindukan semua tutur lembut yang selalu keluar dari bibir manis gadis Kim itu. Merindukan pelukan hangat Yewon yang selalu menenangkan.
Deg!
Woojin terdiam. Ia teringat sesuatu. Pelukan hangat. Sungguh, ia baru saja merasakan sebuah pelukan hangat, bahkan lebih hangat dari pelukan Yewon. Dan itu adalah pelukan seorang Hyungseob. Ya, Woojin yakin dengan itu. Saat ia menggendong Hyungseob, Woojin dapat merasakan pelukan hangat dan nyaman itu. Pelukan yang sudah lama tak ia rasakan.
"Aish! Apa yang kau pikirkan, Park Woojin? Jangan berpikir yang tidak-tidak." Gerutu Woojin pada dirinya sendiri. Ya, walau ia sudah merasakannya. Namun ia tetap menolak. Ia tak mungkin merasakan pelukan hangat dari seseorang yang telah membuat Yewon meninggalkannya. Ya, tidak mungkin. Hah! Sampai kapan kau akan mengelaknya, tuan Park?
.
.
.
Seonho menatap ponsel yang ada digenggamannya. Ini sudah larut malam dan Guanlin belum juga pulang. Bahkan namja Lai itu tak mengangkat panggilan dari Seonho atau membalas pesan yang sedari tadi Seonho kirim. Ia sungguh khawatir pada kekasihnya itu.
Seonho menghela napas, lelah. Ia sudah sangat lelah dan mengantuk, namun ia tak bisa tidur jika Guanlin belum pulang.
Seonho kembali mencoba menghubungi Guanlin, untuk kesekian kalinya. Tersambung. Namun lagi dan lagi. Panggilannya tak terjawab. "Sebenarnya kau dimana, hyung? Kenapa kau belum pulang juga." Monolog Seonho. Ia mendudukkan tubuhnya di sofa yang ada diruang tamu. Menyalakan televisi untuk menemaninya menunggu sang kekasih.
Seonho bernapas lega, saat tak berapa lama pintu apartemen terbuka. Guanlin pulang. Ya, tentu saja. Karena memang hanya ia dan Guanlin yang mengetahui pasword apartemen mereka.
Seonho segera berjalan menghampiri Guanlin. "Astaga, hyung. Kenapa baru pulang?" Pertanyaan Seonho tak mendapat jawaban dari namja Lai itu. Bahkan namja tampan dengan tubuh tinggi menjulang itu lebih memilih melewati Seonho begitu saja. Melangkahkan kakinya menuju kamar.
Seonho mengernyit. Sungguh. Apa Guanlin baru saja mengabaikannya? Namja Yoo itu berjalan menuju kamar. Menatap Guanlin yang sudah mendudukkan tubuhnya diatas kasur.
"Apa hyung sudah makan?" Tanya Seonho, lembut. Sungguh. Ia ingin menanyakan sikap Guanlin yang acuh terhadapnya. Namun, Seonho memilih untuk diam. Ia tak ingin membuat suasana hati Guanlin yang sepertinya sedang buruk menjadi semakin buruk.
"Sudah." Jawab Guanlin, dingin. Bahkan namja Lai itu tak memandang Seonho sedikitpun. Seakan ponsel yang sekarang ia mainkan lebih menarik dari namja manis yang sekarang duduk disampingnya.
"Tapi aku belum makan, hyung. Apa kau mau menemaniku makan malam? Aku lapar." Seonho tak berbohong. Ia memang belum makan malam. Karena ia memang menunggu Guanlin. Ia ingin makan malam bersama Guanlin. Bahkan ia sudah memasak makanan kesukaan namja Lai itu.
"Makan saja sendiri. Kau bukan anak kecil yang harus ditemani saat makan." Jawaban Guanlin membuat Seonho mencelos. Sungguh. Guanlin tak pernah berkata kasar seperti ini.
"Ada apa denganmu, hyung? Apa aku membuatmu marah?" Seonho menatap Guanlin dengan pandangan memelas. Membuat Guanlin sedikit tak tega. Namun sepertinya rasa kesal yang ia rasakan jauh lebih beras. Terbukti dengan Guanlin yang seakan tak perduli dengan Seonho.
"Bukankah kau bertemu dengan temanmu yang dari Jepang itu? Kenapa kau tak makan malam bersamanya? Bukankah kau sudah mengorbankan kekasihmu ini demi temanmu itu?" Sungguh. Guanlin sangat kesal saat ini. Mungkin bagi orang lain itu adalah hal yang sangat sepele. Namun tidak bagi Guanlin. Ia bahkan sudah meluangkan waktunya yang sangat sibuk untuk memenuhi permintaan Seonho. Namun apa yang ia dapat? Hanya kekecewaan. Mungkin jika Seonho memberi tahu sebelum Guanlin menunggu lama, namja Lai itu masih bisa bersabar. Namun kenyataannya, tidak. Seonho baru memberitahunya setelah ia menunggu namja Yoo itu lama.
"Hyung, maafkan aku. Aku benar-benar harus menemui temanku itu." Ucap Seonho, membela diri.
Guanlin menatap Seonho dengan pandangan marah dan kecewa. Sepertinya Seonho tak mengetahui bahwa Guanlin benar-benar meluangkan waktunya. Bahkan namja Lai itu juga membatalkan acara dengan para sahabatnya hanya demi Seonho.
"Hyung, kita masih bisa pergi lain waktu." Guanlin tertegun mendengar ucapan Seonho. Sungguh. Apa yang ada dipikiran kekasihnya itu? Apa ia tak merasa bersalah sedikitpun?
"Pergi saja dengan temanmu itu. Aku lelah, ingin istirahat." Guanlin merebahkan tubuhnya. Memejamkan matanya, mencoba meredam amarah yang mulai menguasai.
"Hyung, jangan seperti anak kecil." Kesal, Seonho. Ucapan namja Yoo itu membuat Guanlin kembali membuka matanya.
"Ya, kau benar. Aku memang seperti anak kecil. Bagaimana bisa aku kecewa hanya karena menunggu kekasihku lebih dari satu jam. Dan berakhir dengan kekasihku yang memilih untuk menemui temannya dari pada diriku. Maafkan aku, Yoo Seonho." Ucapan Guanlin membuat Seonho terdiam. Bukan. Bukan hanya ucapannya. Namun juga tatapan Guanlin padanya. Tatapan penuh dengan luka.
"Jadi sekarang biarkan aku istirahat. Aku sungguh sangat lelah." Ucap Guanlin, nadanya melembut. Sungguh. Raga dan hatinya benar-benar lelah saat ini. Ia butuh istirahat.
Seonho keluar dari kamar yang ia tempati bersama Guanlin, saat namja Lai itu kembali menutup matanya. Ia berjalan menuju ruang tamu. Dimana terdengar suara televisi yang sedari tadi masih menyala.
Seonho mendudukkan tubuhnya. Memijit pepilisnya, ia tiba-tiba merasa pening. "Apa yang telah aku lakukan? Maafkan aku, hyung." Gumam Seonho, disertai air yang mulai mengalir dari kedua mata indahnya.
.
.
.
TBC
Huahahaha....
Gimana chapter ini???
Kemarin pasangan ini udah kebanyakan keju...
Jadi sekarang kasih angin dikit lah, ya...biar ada goyangannya wkwkwkwk....
Jangan lupa buat kasih kritik dan saran....Saranghae
❤❤❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
How Can I Love You (GuanHo)
RandomPerjodohan. Apa yang kalian pikirkan tentang perjodohan di jaman yang sangat modern ini? Tabu? Ya, mungkin beberapa orang akan menganggapnya seperti itu. Namun tentu saja tidak semua orang berpikiran sama. Masih saja ada orang yang memegang teguh k...