(3) Sadar

3.2K 375 9
                                    

"Kamu di UKS aja." ucap Hanbin menatap Jennie. Pipi Jennie merona terlebih karena mendengar kata, kamu.

Sontak kesembilan orang di sana langsung mengarahkan pandang ke arah dua orang yang masih belum melepaskan genggamannya itu.

"S-sorry." Hanbin melepas genggamannya lantas beranjak pergi menahan rasa malu yang kini membuat semburat merah di pipinya.

"Jen, ntar kalo udah jadian jangan lupa traktiran." ucap Chanu menepuk pundak Jennie sambil tertawa. Yang lain juga ikut tertawa. Tidak biasanya Hanbin seperti itu.

Ini kenapa deg-degan, gumam Jennie.

***

BRAKK!! PRAANG!!

Hanbin menoleh ke arah pintu kamarnya yang terkunci sejak pagi. Ia nampak berbaring di tempat tidur dengan posisi meringkuk.

Tatapannya beralih ke arah langit-langit kamar bercat putih itu. Tatapannya kosong, tidak dapat diartikan.

BRAKK!!
Terdengar suara dari balik pintu kamarnya,
"Papa nggak main cewe.."
"Mama tau semuanya.."
"Argh! Terserah mau bilang apa.."
"Mama cape, Pa.."
"Persetan!"
PLAAK!!

Hanbin tersenyum pedih. Ia menutup wajahnya dengan bantal. Tangannya mengepal.

"Gue mohon.." gumamnya.

Hanbin tak sadar, setetes air matanya jatuh mengenai pipi.

"Tolong berhenti.."

***

"Nanti kalo Binbin udah besar mau jadi apa?" Gadis berpita merah muda itu menatapnya penasaran tanpa menghilangkan senyum di wajah manisnya.

"Aku mau jadi orang sukses biar mama papa Binbin bangga dan nggak tengkar lagi tiap hari,"

Gadis di sampingnya mengerjap tak paham. Sedetik kemudian ia tersenyum manis. Ya, sangat manis.

"Kalo kamu?" Ia balas bertanya.

Gadis itu tidak langsung menjawab. Ia menatap langit merah kejinggaan di atas mereka. Tatapannya menerawang. Ia menghela nafas.

"Jeje nggak tau. Jeje cuma pengen sama Binbin. Selamanya. Sampai Jeje jadi nenek-nenek terus Binbin jadi kakek-kakek." jawabnya sambil terkekeh.

"Lo bohong, Je." Hanbin terbangun.

***
Jennie sedari tadi hanya berkutat pada buku sketsanya. Pikirannya sedang kacau sekarang. Ini salah satu cara Jennie menenangkan pikirannya.

Tangannya berhenti menggoreskan pensil di buku gambarnya.

"Argh! Lo kenapa sih, Jen."

Jennie menjambak rambutnya frustasi. Sudah 2 jam dia seperti ini. Menggambar sketsa namun saat sketsa miliknya sudah jadi, ia malah buru-buru merobeknya dan melemparnya ke tempat sampah.

Bagaimana tidak? Hampir semua sketsanya mirip dengan sesosok laki-laki. Tentu, Kim Hanbin.

"Jangan-jangan.."

Ia menepuk pipinya berulang kali karena pikirannya sedang melayang memikirkan kejadian di hari pertama ia menginjakkan kaki di kampus.

"Bodo amatlah." gerutunya kesal.

TING!

Pesan masuk mengalihkan perhatian Jennie dari buku sketsanya. Ia menatap ponselnya.

Chae added you as friend.

Lalissa added you as friend.

Jisooo added you as friend.

Jisooo added you to the group.

Jennie tersenyum. Setidaknya ada Rose, Lisa dan Jiso yang akan menemani hari-harinya di kampus. Mungkin besok ia bisa melupakan hari ini.

Jennie melihat ke arah jendela. Suasana sore itu sangat tenang. Ia memutuskan untuk keluar rumah dan berjalan-jalan. Mungkin dengan begitu ia bisa menjernihkan pikiran.

"Mumpung masih punya free time jalan-jalan ah, lagian barusan pindah masa di rumah mulu." gumamnya.

***

Hanbin berlari-lari kecil dan memulai pemanasan. Ia meregangkan otot-otot tubuhnya yang kaku. Mungkin ia butuh refreshing agar pikirannya tidak terfokus pada masalah keluarganya.

Hanbin mengambil bola basket di pinggir lapangan. Bola warna oranye yang sedikit kusam itu telah menemani sore-sore Hanbin di lapangan ini selama 5 tahun.

Ia mengambil ancang-ancang. Dan akan menembak dari garis three-point.

"Sial."

Tembakannya meleset beberapa kali. Tak jarang bolanya hanya terlempar jauh sama sekali tidak menyentuh ring.

Hanbin menyerah. Tak biasanya skill mantan kapten basket semasa SMA dulu jadi seperti  ini.

Hanbin terduduk di tengah lapangan basket sambil memejamkan mata dengan kedua tangan menyangga tubuhnya.

"Kak makasih ya,"

Senyum Jennie bersarang di kepalanya sejak kejadian hari itu. Hanbin bingung, apa yang membuat otaknya terus menerus memikirkan Jennie.

"Sekalinya lo jatuh, bakal susah keluar, Bin. Sadar.."

Hanbin bergumam. Ia terus memejamkan mata hingga sekelebat ingatan tentang Jennie muncul lagi dalam benaknya.

"Arghh!" Hanbin mengacak rambutnya gusar.

"Kak Hanbin?"

Hanbin menoleh ke belakang.

"Kok kakak di sini?"

Hanbin terdiam, tempo detak jantungnya mulai berubah. "Bukan urusan lo." balas Hanbin sambil mengusap keringat di dahinya. Berusaha menutupi rasa gugup.

Jennie hanya melongo. Ia menatap punggung Hanbin yang hendak beranjak pergi. Laki-laki itu berdiri dan mengambil botol air minumnya. Baru saja hendak mengambil bola basket yang tergeletak di pinggir lapangan, tangan Jennie lebih dulu menyahut bola itu.

"One-on-one?" ucap Jennie seraya tersenyum miring.

"Gak." Hanbin berusaha merebut bola namun usahanya gagal.

"Takut ?" Jennie terkekeh sambil mendribble bola lalu melakukan three-point shoot. Tatapan Hanbin mengikuti arah gerak bola, pasti meleset pikirnya.

Masuk!

"Gimana? Atau mau pake taruhan biar lebih seru?" ucap Jennie. Ia meletakkan jari telunjuknya di dagu menampilkan gaya seperti sedang berpikir.

Hanbin memutar bola matanya malas. Ia menyilangkan kedua tangannya di dada sambil mengamati tingkah gadis di depannya itu. Tatapannya datar.

"Kalo Kak Hanbin menang, lo boleh pulang. Kalo gue yang menang, turutin permintaan gue. Kalo nggak mau ikut, bolanya  nggak gue kembaliin. Deal?" Jennie akhirnya berbicara setelah lama berpikir.

"Kalo gue menang, jangan ganggu gue lagi." jawab Hanbin dingin. Ia berjalan mendekat ke arah Jennie, menatapnya tajam lalu merebut bola basket miliknya.

Jennie tersenyum. Ia menatap Hanbin yang kini kembali melemaskan pergelangan tangannya.

Hanbin sudah bersiap. Jennie berjalan santai ke arah tengah lapangan. Sebentar lagi ia akan melakukan jump ball.

1..
.
.
.
2..
.
.
.
3..
.
.
.

***

To be continued guys:v Please give me a support lewat vote ya^^ follow & comment juga. See u in "One-on-One" Chapter^^

Found You [ Jenbin ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang