(28) Rencana

2.1K 276 37
                                    

"Kalo misal suatu hari Jeje balik ke kehidupan lo, gimana?"

Ciitt..

Jantung Jennie berpacu bersamaan dengan berhentinya mobil hitam itu secara mendadak. Sang pengemudi menatap lurus ke depan masih dengan nafas terengah-engah. Sengatan yang menimbulkan rasa sakit itu muncul setelah indra pendengarannya menangkap nama itu. Nasib baik kondisi jalan sedang sepi sehingga tipis kemungkinan mobil lain menabrak dari belakang.

"S-sorry, Jen." Hanbin menghela nafas panjang.

Degup jantung Jennie berangsur-angsur pulih. Kini ia sedang menatap Hanbin yang meletakkan kepalanya di kemudi.

"Kak,"

"Gue minta maaf, gue nggak maksud bikin lo celaka. G-gue.. gue.."

"Sstt.. udah, Kak. Gue nggak apa-apa kok, gue yang harusnya minta maaf." ucap Jennie menenangkan kakak seniornya itu. Tangan kanannya bergerak memegang pundak Hanbin lalu mengusapnya perlahan.

Hanbin menegakkan kepalanya lagi. Pikirannya sudah cukup kacau karena kejadian ibu Rian tadi, ia terlalu iri dan merindukan ibunya. Dan beberapa menit lalu pertanyaan Jennie yang sangat mustahil untuk terjadi berhasil memecah konsentrasi mengemudinya.

Hanbin menggeleng memastikan pikiran tadi sudah sedikit demi sedikit menghilang. Ia benar-benar tidak ingin gadis di sampingnya ini terluka. Apalagi jika gadis ini pergi. Hanbin tak ingin kehilangan seseorang yang ia sayangi lagi.

Tunggu,

Hanbin mengernyit menyadari pikirannya. Apa ia sudah mulai tidak waras? Kini ia berpikir bahwa ia menyayangi Jennie. Dalam benaknya Hanbin tertawa kecil.

"Kak?" Suara dan lambaian tangan Jennie menyadarkan lamunannya.

"Kenapa?"

"Di sini bahaya, ayo jalan." Jennie tertawa canggung.

Hanbin mengecek situasi, ya benar saja. Mobilnya berhenti di tengah jalan raya sekitar 5 menit dan ia malah melamunkan hal-hal tidak jelas.

Laki-laki itu mengusap wajahnya gusar lalu kembali tancap gas ke rumah Jennie.

***

"Jun!"

June reflek menoleh, merespon tepukan di bahunya yang sedikit mengejutkannya.

"Ngapain lo di sini sendirian? Dicariin anak-anak noh." ujar Bobby. Dia tertawa kecil melihat June mendengus. Lelaki bergigi kelinci itu duduk di samping June. Nampaknya ada sesuatu yang mengganggu pikiran sahabatnya itu.

"Kenapa?"

"Kaga."

June dan Bobby duduk di sofa ruang tamu Chanu. Terlalu malas dan terlalu kesal karena godaan sahabat-sahabatnya tadi tentang Rose, June memutuskan untuk keluar dari kamar Chanu dan duduk sendirian di sini. Sampai tak lama Bobby menepuk pundaknya, sepertinya ia juga sudah tidak tahan dengan orang-orang di kamar Chanu.

"Kaga usah boong, ned. Gue juga risih sama omongan anak-anak."

Tak biasanya mereka sepemikiran, padahal mungkin hampir setiap bertemu mereka akan bertengkar lalu diam satu sama lain. 

Ada yang mengganjal di benak dua orang itu setelah mendengar ocehan-ocehan Jinan, Yoyo, DK, dan Chanu. Aneh, padahal sebelumnya June dan Bobby tidak pernah menanggapi serius ocehan teman-temannya. Hanya saja kali ini rasanya berbeda.

"Ned," panggil Bobby.

"Hm?" June masih menyangga kepalanya sambil memejamkan mata. Pikiran itu terus mengganggunya.

Found You [ Jenbin ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang