-Dua Puluh Satu

25 9 4
                                    


"Gimana? Mbak Dira seneng kah tinggal di asrama sama Ayah?"Ayah menghampiriku yang sedang duduk dikursi teras rumah.

"Seneng lah Ayah. Dira seneng banget bisa kumpul lagi. Pokoknya Dira bersyukur banget."

"Jadi? Kamu mau lanjut S2 dimana nak?"

"Belum kepikiran, Yah. Dira sih pengen buka usaha gitu. Pengen coba-coba."

"Looooh? Kok coba-coba? Yang serius dong. Maju atau mundur. Jangan ditengah-tengah nanti ditabrak."

"Hehe. Maaf Ayah. Dira niatnya pengen buka usaha pakaian syar'i."

"Kayak gamis gitu? Atau khimar?"

"Dua-duanya Ayah. Dira punya tabungan sekitar 6 jutaan. Apa cukup ya, Yah?"

"In syaa Allah cukup. Dimulai dari yang kecil dulu."

"Dari yang kecil? Ya iyalah...Uang Dira aja cuma 6 juta gimana mau buka yang besar."aku tertawa agak keras sambil menatap wajah Ayah.

"Maksud Ayah dimulai dari berjualan sambil sedekah nak."

"Kalo sedekah mah beda lagi, Yah. Dira punya uang sendiri yang dikumpulkan buat sedekah."

"Bukan..bukan..maksud Ayah berniaga dengan Allah. Buatlah beberapa pakaian lalu kamu berikan gratis bagi yang membutuhkan. Memang sih, resikonya adalah rugi. Tapi jika kamu yakin in syaa Allah keikhlasan kamu akan membuahkan hasil yang lebih dari apa yang kamu beri. Itulah rumus Matematika sedekah yang Ayah maksud."

"Maa Syaa Allah. Ayah bener. Dira harus coba saran Ayah. In syaa Allah segera persiapkan ya Ayah."

"Nahhh gitu dong! Masuk yuk, diluar sepi. Sudah malam sebaiknya kita tidur."

"Hmm..kenapa sepi disini? Kenapa gak kayak dirumah kita?"

"Disini lingkungannya terjaga. Jam 10 malam pintu gerbang asrama sudah ditutup rapat tidak ada satupun orang yang boleh keluar. Apalagi orang jualan, udah gak ada. Jadi kalo Mbak Dira mau beli makanan ya..harus dibawah jam 10 malam."

"Oh begitu."ujarku sambil masuk kedalam dan mengunci pintu rumah.

****

Hujan sudah reda dan semburat jingga kemerahan mulai menampakkan sinarnya. Sore ini Ayah menyuruhku membeli pecel Ayam yang katanya terletak disebrang pasar pagi. Ayah mengarahkan agar aku keluar dari pintu asrama lalu berjalan menyusuri pasar pagi dan keluar menyebrang ke arah kiri jalan.

"Kamu gak apa-apa kan sendirian? Berani kan? Pake sepeda saja nak."

"Gak usah Ayah. Sekalian jalan sore, biar sehat!"jawabku bersemangat.

"Okedeh. Nanti kamu tanya orang saja kalo sudah keluar dari pintu gerbang pasar pagi."

"Siap Ayah. Dira berangkat dulu ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam. Hati-hati nak."

Setelah dua hari tinggal di kota Bandung, aku merasa cukup nyaman dengan udara yang senantiasa sejuk. Disini kebanyakan orang-orang menggunakan Bahasa Sunda. Dan mereka semua orang yang ramah-ramah.

"Hmm..Maa Syaa Allah."batinku sambil terus berjalan menuju pintu gerbang pasar pagi.

Setelah sampai didepan pintu gerbang pasar pagi aku agak kebingungan menemukan warung pecel ayam. Karena dari kejauhan aku tidak melihat ada tanda-tanda warung makan.

Mataku menoleh kekanan jalan dan melihat seseorang yang sepertinya juga ingin menyebrang. Segera aku melangkahkan kaki menghampirinya."Permisi, kak."

Kembali untuk Pergi...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang